Masyarakat antusias untuk beralih menyaksikan siaran televisi digital. Namun, antusiasme itu tak tercapai karena meski separuh bagian publik mengetahui siaran televisi digital, tetapi belum bisa menangkap siaran digital.
Oleh
Topan Yuniarto
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Bendera Merah Putih berukuran 1.000 meter persegi berkibar di Menara TVRI, Jakarta, Kamis (27/8/2020). TVRI telah bersiaran digital pada empat kanal, yakni TVRI nasional, TVRI daerah, TVRI World, dan TVRI Sport dengan kualitas gambar high-definition atau HD.
Digitalisasi siaran televisi merupakan hal yang tidak terhindarkan karena hampir semua negara telah bermigrasi dari sistem penyiaran analog frekuensi VHF dan UHF menuju frekuensi digital terrestrial. Proses peralihan siaran ini disebut sebagai migrasi atau analog switch off (ASO).
Sistem terrestrial yang dimaksud adalah sistem pemancaran gelombang dari menara pemancar televisi ke antena penerima yang diteruskan ke pesawat televisi seperti selama ini. Sistem ini masih menggunakan pancaran gelombang yang merambat melalui udara, bukan melalui jaringan internet ataupun kabel fiber optik.
Bagi masyarakat sebagai konsumen media, perbedaan dengan sistem analog terletak pada kualitas gambar dan suara yang diterima secara prima serta jumlah saluran televisi yang jauh lebih banyak sehingga konten program siaran lebih variatif.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Puluhan antena penangkap siaran televisi menjulang di antara permukiman padat penduduk di Empang, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/12/2020). Warga menggunakan antena luar dengan tiang cukup tinggi dan mengarahkannya ke pemancar televisi agar mendapatkan gambar jernih.
Migrasi ke sistem penyiaran digital Indonesia merupakan amanat dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja menambahkan Pasal 60A dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang di dalamnya mengatur bahwa penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi penyiaran dari teknologi analog ke digital. Proses migrasi ini paling lambat dilaksanakan dalam jangka waktu dua tahun setelah UU ini disahkan.
Terlepas dari UU Cipta Kerja yang kembali menjadi pembicaraan publik saat ini, proses digitalisasi penyiaran dan sosialisasinya terus dilakukan yang ditargetkan pada 2 November 2022 semua siaran televisi di Indonesia sudah bermigrasi ke penyiaran digital.
Respons publik
Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah melakukan sosialisasi digitalisasi penyiaran melalui iklan layanan masyarakat di televisi, media cetak, media daring, dan seminar-seminar, baik secara virtual maupun langsung. Beragam kegiatan kampanye digitalisasi penyiaran juga dilakukan di tempat-tempat umum yang tujuannya agar masyarakat bersiap pada saat era penyiaran digital resmi diberlakukan.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 23-26 November 2021 yang melibatkan 509 responden berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi di Indonesia mencatat separuh responden menyatakan pernah mendengar jika pada November 2022 atau tahun depan Indonesia akan menerapkan sistem penerimaan siaran televisi secara digital. Namun, proporsi besar responden lainnya menyatakan belum mendengar program tersebut. Hal ini mengindikasikan proses sosialisasi belum merata dan menyeluruh kepada masyarakat. Masyarakat yang sudah mendengar pada umumnya berasal dari golongan pendidikan menengah dan tinggi yang memperkuat hipotesis bahwa sosialisasi masih elitis di kalangan masyarakat yang mapan.
Jika menilik dari sisi generasi atau kelompok usia, kalangan usia kerja produktif seperti gen Y (24-39 tahun) dan gen X (40-55 tahun) telah mengetahui informasi soal digitalisasi penyiaran. Kondisi ini juga terjadi pada generasi Baby Boomers (56-74 tahun). Namun, sebaliknya, gen Z (kurang dari 24 tahun) relatif belum mendengar.
Meski sudah mendengar atau mengetahui, sebagian besar masyarakat dari beragam kategori usia menyatakan belum bisa menerima atau memutar siaran digital, baik secara langsung melalui pesawat televisi maupun alat tambahan set top box. Hanya sekitar seperempat responden saja yang menyatakan pesawat televisinya telah bisa menyaksikan siaran televisi digital.
Sebagian masyarakat belum bisa menerima siaran televisi secara digital,tetapi mereka antusias dan berminat beralih menyaksikan siaran televisi digital. Antusiasme ini bisa jadi karena pengalaman responden selama ini yang sudah sering mengakses konten digital melalui internet. Lebih dari 70 persen responden di lintas generasi menyatakan minatnya beralih menyaksikan siaran televisi digital.
Poin inilah yang seharusnya ditangkap para pemangku kepentingan, salah satunya Kemenkominfo, untuk mempermudah akses masyarakat, seperti membagikan secara gratis set top box penerima siaran televisi digital kepada masyarakat atau membantu masyarakat melakukan pencarian kanal saluran digital dengan mendatangi ke rumah-rumah warga. Upaya penetrasi langsung ke masyarakat akan lebih efektif daripada iklan layanan masyarakat dan diskusi seminar. Masyarakat secara mandiri juga akan memberitahukan informasi ke tetangga dari mulut ke mulut.
Tantangan digital
Digitalisasi penyiaran menghadapi tantangan media sebelumnya yang telah sukses mencuri perhatian dan pengakses. Youtube dan layanan konten over the top (OTT) sebelumnya telah akrab dengan masyarakat serta mengubah pola menonton dan mencari hiburan selama ini.
Hal ini menjadi tantangan bagi penyelenggara siaran televisi untuk menghadirkan konten berkualitas agar tetap mendapatkan tempat bagi pemirsa. Siaran televisi digital secara gratis versus platform digital gratis atau berbayar merupakan ekosistem konten yang memperebutkan audiens sebanyak mungkin. Meskipun secara transmisi konten berada di jalur frekuensi yang berbeda, digitalisasi penyiaran menggunakan spektrum frekuensi digital yang merambat di udara sementara konten digital dan multimedia didistribusikan melalui jaringan internet, pada dasarnya antarmedia bersaing memperebutkan audiens atau pangsa pasar penonton.
Jajak pendapat periode ini juga mengungkap bahwa secara umum televisi masih menjadi media yang paling dipercaya sebagai sumber informasi di era digital saat ini ditinjau dari kelompok usia, pendidikan responden, status ekonomi, dan wilayah responden.
Perbedaan penyikapan terjadi pada responden dengan latar pendidikan tinggi yang menyatakan informasi dari media sosial dan internet sebagai sumber informasi yang dipercaya (54,5 persen) dibandingkan dengan televisi (24,3 persen). Hal senada juga terjadi dengan responden dengan latar belakang status ekonomi sosial (SES) kategori atas yang menilai media sosial dan internet sebagai media yang paling dipercaya (44,7 persen) sedikit lebih tinggi dari media televisi (42,1 persen). Tingginya angka ini disinyalir kelompok responden latar belakang pendidikan tinggi dan SES kategori atas lebih intensif mengonsumsi sosial media dan internet.
Digitalisasi penyiaran menghadapi tantangan sosialisasi yang tidak mudah terkait masih minimnya perangkat pesawat televisi yang secara langsung bisa menangkap sinyal digital televisi dan belum meratanya set top box terutama di daerah. Sosialisasi sudah masif dilakukan di televisi dan beragam media massa, tetapi dampak belum efektif. Perlu terobosan yang lebih merakyat dalam menjangkau rumah-rumah warga yang menjadi target peralihan siaran digital. (Litbang Kompas)