Kata-kata kasar yang diucapkan pejabat publik, tak jarang berpendidikan tinggi, tidak hanya berdampak buruk bagi orang lain, tetapi juga bagi yang bersangkutan, yaitu meruntuhkan kredibilitas.
Oleh
MUHAMMAD EDY SUSILO
·4 menit baca
Kenyamanan telinga kita akhir-akhir ini sering terganggu dengan kata-kata kasar yang diucapkan pejabat publik. Seorang pejabat mengagetkan masyarakat saat mengucapkan ”bodoh sekali” di depan khalayak yang kemudian diamplifikasi oleh media. Saat lain, seorang pejabat berteriak ”tak tembak kamu”. Berbagai perilaku nonverbal negatif tak jarang juga mengiringinya seperti menggebrak meja, membanting sesuatu, dan menendang obyek di dekatnya.
Praktik-praktik di atas masuk dalam serangan verbal (verbal aggression), yaitu penggunaan kata-kata dalam upaya untuk menyakiti orang lain secara emosional, bukan secara fisik. Bentuknya bisa berupa serangan karakter, serangan kompetensi, hinaan, makian, ejekan, dan penggunaan pesan nonverbal. Umumnya serangan verbal muncul dalam kondisi marah yang tidak terkontrol. Bukan hanya pejabat publik, para akademisi yang dianggap sebagai penjaga nalar terakhir juga kerap mempertontonkan perilaku ini.
Serangan verbal merupakan salah satu kajian dalam penelitian Ilmu Komunikasi. Dominick Infante, seorang pakar komunikasi, sudah menekuni topik ini sejak tahun 1980-an. Serangan verbal adalah salah satu bagian dalam tajuk ”Agresi dalam Komunikasi”. Agresi diartikan sebagai penggunaan tekanan saat berkomunikasi dengan orang lain.
Serangan verbal dapat dikontraskan dengan jenis agresi lain yang bersifat konstruktif, yaitu argumentativeness. Jenis agresi ini adalah kecenderungan pembicara untuk terlibat dalam percakapan mengenai topik yang kontroversial. Bukan hanya di ruang diskusi, kita juga sering menjumpai orang-orang yang menyampaikan argumentasi dalam percakapan sehari-hari, katakanlah dalam pembicaraan di angkringan atau warung kopi.
Sayangnya, orang kadang tidak bisa membedakan jenis-jenis agresi sehingga mereka mencampuradukkan agresi destruktif dan konstruktif. Sebuah diskusi seharusnya berisi adu argumentasi, tetapi yang ada justru sebaliknya. Hal yang diserang adalah konsep diri lawan.
Sebuah diskusi seharusnya berisi adu argumentasi, tetapi yang ada justru sebaliknya. Hal yang diserang adalah konsep diri lawan.
Mirisnya, hal tersebut dipertunjukkan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi. Kata-kata seperti dungu, bego, atau sumbu pendek sering dilontarkan kepada pihak lawan dalam sebuah forum diskusi. Bukannya mengurai persoalan yang sedang didiskusikan, serangan verbal justru menggempur ego pihak lain.
Serangan verbal tidak hanya berupa kata-kata kotor, tetapi bisa berwujud penghinaan dan ledakan emosi. Ada seorang pembicara diskusi yang membuka sesinya dengan ujaran seperti ini, ”Saya seorang profesor. Saya tidak tahu apakah Anda lulus S-1 atau tidak.” Apa relevansi ucapan itu dengan materi diskusi? Ucapan itu lebih merupakan psywar untuk menjatuhkan harga diri lawan dan dapat pula diartikan sebagai bentuk keminderan menghadapi lawan diskusi.
Komunikasi itu ”irreversible”
Verbal aggression yang dipraktikkan terus-menerus oleh para elite memiliki beberapa dampak buruk bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain. Pertama, kredibilitas pembicara di benak khalayak bisa anjlok. Khalayak mempersepsikan seluruh karakter pembicara berdasarkan pesan dan cara penyampaiannya.
Menurut Aristoteles, penggagas teori retorika, kredibilitas pembicara dapat dilihat dalam tiga kualitas, yaitu kecerdasan yang dirasakan, karakter pembicara yang berbudi luhur, dan niat baik pembicara. Serangan verbal bisa meruntuhkan kredibilitas yang telah terbangun sebelumnya.
Serangan verbal bisa meruntuhkan kredibilitas yang telah terbangun sebelumnya.
Khalayak juga berhak bertanya, mengapa para elite dan kaum cerdik pandai harus berbicara penuh amarah? Jawaban dari pertanyaan ini bisa dipetik dari pemikiran ”frustrasi-agresi” Freud yang memiliki tesis bahwa kemarahan berasal dari kegagalan manusia dalam usahanya memenuhi suatu kebutuhan. Jangan-jangan, mereka yang melakukan serangan verbal itu sedang mengafirmasi kegagalannya sendiri.
Kedua, apa yang didemonstrasikan di tingkat elite akan segera ditangkap sebagai model bagi masyarakat di bawah. Masyarakat melihat para pemimpin sebagai figur panutan. Mereka dengan sukacita akan meniru ide, ucapan, dan perilaku para pejabat. Fakta menunjukkan bahwa cara memberi salam atau cara berpakaian para pejabat pun akan ditiru oleh masyarakat dengan cepat.
Ketiga, serangan verbal menyebabkan dampak buruk bagi pihak yang menjadi sasaran. Efek yang bersifat sementara dan jangka pendek adalah perasaan terluka, marah, jengkel, malu, putus asa, terhina, putus asa, dan depresi. Efek jangka panjang dapat berupa perasaan dendam dan bisa terakumulasi menjadi kekerasan fisik. Alih-alih menyelesaikan persoalan, serangan verbal bisa menumbuhkan masalah baru.
Kemarahan sering kali diikuti dengan penyesalan di kemudian hari. Sayangnya, penyesalan itu tidak akan menghilangkan dampak serangan verbal yang telah dilakukan, sebab satu prinsip komunikasi adalah irreversible atau tidak dapat dibalik. Efek komunikasi tidak bisa ditiadakan sama sekali. Ketika pelaku kemudian menyesal dan meminta maaf, maka hal itu tidak dapat dianggap bahwa ia tidak pernah melakukan serangan verbal sebelumnya.
Serangan verbal dapat diumpamakan seperti orang yang sedang menancapkan paku di atas permukaan kayu. Semakin banyak serangan verbal yang dilakukan, semakin banyak pula paku yang tertancap. Ketika kita menyesal dan meminta maaf, kita diibaratkan sedang melepaskan paku-paku itu. Paku bisa terlepas dari kayu, tetapi tidak dengan luka-luka yang telanjur menganga.
Muhammad Edy Susilo, Dosen Ilmu Komunikasi UPN Veteran Yogyakarta