
Persoalan pelik terkait kenaikan pangkat menjadi guru besar/profesor kembali mencuat. Sejak Sri Mardiyati, dosen Universitas Indonesia, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, urusan kenaikan pangkat guru besar/profesor menjadi diskusi hangat di kalangan insan akademik. Mengajukan kenaikan pangkat ke guru besar di injury time usia akan pensiun sangat riskan sarat masalah.
Masalah lainnya adalah guru besar dalam jebakan lingkaran jurnal predator. Terkait ini, menarik dipertanyakan, kenapa sering mencuat jebakan predator ini? Apa kaitannya dengan urusan kenaikan pangkat guru besar? Apa embrio dari masalah tersebut?
Publikasi mutlak
Sebagai jabatan fungsional tertinggi, tangga untuk ke profesor harus melalui karya ilmiah yang dipublikasi di jurnal yang memiliki jaminan kualitas terstandar. Hal ini secara eksplisit dapat dibaca pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.
Setiap profesor harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional, atau paling sedikit satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi, paten, atau karya seni monumental/desain monumental, dalam kurun waktu tiga tahun.
Sebagai jabatan fungsional tertinggi, tangga untuk ke profesor harus melalui karya ilmiah yang dipublikasi di jurnal yang memiliki jaminan kualitas terstandar.
Begitu juga dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No 12/E/KPT/2021 tentang Pedoman Operasional Beban Kerja Dosen. Dinyatakan bahwa profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.
Selain itu, menurut Pedoman Operasional Penetapan Angka Kredit Dosen Tahun 2019 ditetapkan untuk kenaikan pangkat ke guru besar, pengusul harus memenuhi jumlah minimum bagian penelitian atau karya ilmiah sebanyak 45 persen dari KUM yang disyaratkan. Publikasi menjadi krusial bagi calon atau seorang profesor.
Selain tuntutan regulasi, publikasi sesungguhnya sebagai penjaga eksistensi akademik seorang ilmuwan. Eksistensi seorang akademisi diukur dari kualitas gagasan, pikiran, dan ide yang diseminasi luas. Alhasil, seorang ilmuwan hadir tanpa dibatasi tempat, ruang, dan waktu. Eksistensi seorang profesor dirasakan lewat artikel hasil penelitiannya dibaca, disitasi, dan dimanfaatkan banyak orang.

Kuantitas dan kualitas
Menurut data di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti) Februari 2022, jumlah dosen di Indonesia sebanyak 293.236, yang tersebar di 4.517 perguruan tinggi dengan 38.236 program studi. Dosen dengan pendidikan S-3 berjumlah 42.825 orang.
Data publikasi dosen dalam lima tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan jumlah publikasi yang signifikan, tetapi juga diakui kualitas yang memprihatinkan. Tahun 2015 terdapat 205.820 publikasi dan terus naik menjadi 343.710 publikasi pada 2019. Jumlah publikasi tersebut yang terindeks Scopus (indikator kualitas) tahun 2015 sebanyak 8.902 dan naik menjadi 44.262 pada 2019.
Di sisi lain, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil jurnal predator yang memiliki kualitas seleksi dan konten rendah serta diragukan (quesionable). Pengelola jurnal sangat mudah menerima artikel tanpa review dan lebih mementingkan bayaran yang sangat tinggi. Banyak kaum akademik yang βmasukβ dalam jurnal predator ini.
Temuan dua ahli ekonomi dari Ceko, Vit Machaek dan Martin Srholec, antara tahun 2015 dan 2017, jurnal predator terbanyak berasal dari negara dengan mayoritas penduduk tertinggi di dunia, seperti India, Indonesia, Filipina, dan Mesir .
Pada 2021, Indonesia masuk empat besar penghasil jurnal predator di bidang social science (Scientometric, 2021).
Baca juga Menakar Guru Besar Kita
Perbaiki dunia perjurnalan
Data pada Sinta Kemendikbudristek Februari 2022 menunjukkan ada 114 jurnal di Indonesia yang terindeks di Scopus. Jumlah ini sangat jauh dari kebutuhan jika disandingkan dengan jumlah dosen berpendidikan S-3 sebanyak 42.825 yang memiliki need untuk publikasi internasional bereputasi.
Memprihatinkan jika kaum akademisi terjebak di pusaran jurnal predator. Menurut penulis, penyebabnya adalah minimnya jurnal bereputasi di Indonesia sehingga pilihan jurnal yang tersedia untuk menerbitkan artikel penelitian menjadi terbatas. Implikasi akhirnya, penerbitan artikel penelitian harus tunduk pada hukum transaksional. Tak jarang pula kaum akademisi berperilaku praktis dan oportunistis untuk mendapatkan slot publikasi di jurnal bereputasi guna meraih status guru besar.
Memprihatinkan jika kaum akademisi terjebak di pusaran jurnal predator.
Untuk itu, atensi pada pengelolaan jurnal yang berkualitas dan bereputasi sangat penting. Dewasa ini pengelolaan jurnal kita harus diakui sangat minim insentif sehingga tidak dapat mengungkit semangat juang pengelola jurnal.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 60/PMK.02/2021, tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2022, pengelola jurnal diberi insentif dengan orang per terbit (oter) dengan harga maksimum Rp 450.000.
Editor jurnal yang memiliki tanggung jawab penuh mempertemukan kebutuhan pembaca dan penulis mengupayakan peningkatan mutu publikasi secara berkelanjutan, dan menjamin mutu karya tulis yang dipublikasikan, serta bertanggung jawab terhadap gaya dan format karya tulis.
Untuk kerja-kerja penting ini, seorang editor hanya diganjar Rp 450.000 untuk setiap kali terbit (enam bulan bagi jurnal dua edisi per tahun). Tentu angka nominal insentif ini perlu dikaji ulang. Sangat rasional, logika tidak dapat bekerja baik tanpa logistik. Sepantasnya pekerja atau pegiat jurnal memandang kerja jurnal juga memiliki harapan secara ekonomi. Semoga.
Asyari, Wakil Rektor 1 IAIN Bukittinggi