Film Viral Indonesia
Prestasi sejumlah sineas Indonesia di ajang festival film internasional memberikan harapan tumbuhnya film-film berkualitas, yang tak hanya berbicara tentang bagaimana mendapatkan jumlah penonton yang banyak.

Inilah dialog yang terjadi antara produser eksekutif, produser, sutradara, dan penulis cerita di sebuah rumah produksi film ternama di Jakarta.
Dialog akan dibuka oleh seorang produser eksekutif yang mengatakan mempunyai sebuah cerita yang menarik. Ia akan mengisahkan cerita itu dengan berbagai bumbu, misalnya keharuan, ketegangan, atau kesedihan. Setelah itu, ia juga akan menoleh ke produser yang dimintanya membuat daftar siapa yang akan jadi pemainnya.
Syarat utama calon pemain, ia harus seorang influencer (pemengaruh) yang mempunyai follower (pengikut) di media sosial yang sangat banyak. Tak kalah penting, mereka juga jadi endorser (pendukung) produk tertentu.
Film akan dimainkan oleh tokoh dengan berbagai karakter. Proses pemilihan pemain (casting) akan disesuaikan dengan karakter masing-masing. Namun, dalam kisah di atas, persoalan keterkaitan antara tokoh dan karakter boleh diabaikan. Calon pemain harus menyesuaikan dengan kebutuhan karakter, bukan sebaliknya. Yang paling penting, calon pemain mempunyai pengikut sangat banyak.
Persoalan target pasar adalah hal yang selalu ada sejak munculnya sejarah perfilman Indonesia.
Target pasar
Persoalan target pasar adalah hal yang selalu ada sejak munculnya sejarah perfilman Indonesia. Bahkan motivasi munculnya industri film di Indonesia adalah tuntutan dari para pemilik rumah produksi (production house/PH) yang meletakkan film sebagai sebuah produk industri. Sebagai sebuah produk yang dijual, film harus memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya. Selain itu, banyak cara dipakai agar sebuah film sukses di pasar. Satu di antaranya menggunakan pemain berdasarkan jumlah pengikut di media sosialnya.
Bahkan, beberapa PH memakai pendekatan lebih revolusioner lagi. Mereka berani memakai pemain yang sama sekali baru, tidak mempunyai latar belakang akting atau teater. Mereka adalah barisan pemengaruh yang mempunyai banyak pengikut dan mengunggah dengan rutin berbagai aktivitasnya di medsosnya. Soal kebiasaan akting mereka, pihak PH akan menyediakan pelatih akting yang—mudah-mudahan—bisa mengubah mereka mampu berakting dengan baik.
Hal yang sama dilakukan terhadap sang sutradara. Ada beberapa sutradara baru, yang sama sekali belum pernah menyutradarai—atau bahkan jadi asisten sutradara—tak punya latar belakang seni dramaturgi, tetapi mereka adalah pegiat medsos dengan anggota jemaah banyak.
PH akan menyediakan seorang penata kamera yang baik, penulis skenario papan atas, editor kelas satu, dan sutradara senior yang mendampinginya. Lalu apa yang mereka kerjakan? Sutradara kategori ini hanya duduk di depan layar monitor, mengabadikan semua scene yang diambil dengan gawainya, lalu mengunggah di kolom medsosnya, dan dalam sepersekian detik kemudian, beragam komentar sudah muncul di akun medsos mereka.

Para pengikut dari pemengaruh itu adalah target pasar (calon penonton) dari tiap-tiap film yang mereka buat. Inilah yang membedakan dengan pendekatan pasar film nasional sebelum era digital. Seorang pemain film dianggap sukses jika telah mampu membuat film-filmnya sukses ditonton.
Tahun 1980-an ada istilah the big five. Istilah ini merujuk pada lima nama: Yatty Octavia, Roby Sugara, Roy Marten, Doris Callebout, dan Yenny Rahman. Saat itu, para pesohor sinema itulah yang jadi patokan bagi para produser kalau mereka ingin membuat film yang sukses dan meledak di pasaran.
Fenomena pemengaruh memberikan pengaruh sangat besar terhadap calon penonton film Indonesia. Apa pun yang dilakukan yang berkaitan dengan gaya hidup mutakhir dan prestisius membuat masyarakat akan mengikuti tren yang mereka kembangkan. Logika ini juga jadi agenda besar di industri film Indonesia.
Baca juga: Nostalgia Film Indonesia Masa Lalu
Logika yang kemudian berkembang adalah bagaimana membuat sebuah film yang viral. Lalu, untuk membuat judul film yang membahana dan ramai diperbincangkan—baik oleh peminat film maupun tidak—dicari bermacam cara. Descartes, seorang filsuf Perancis, mengatakan, ”Saya berpikir, maka saya ada.” Dogma zaman ini adalah ”saya viral, maka saya ada” (lihat Lynda Ibrahim, Kompas Minggu, 13/3/2022).
Sineas keras kepala
Akan tetapi, telah tumbuh sinema baru Indonesia. Kemenangan film SepertiRindu Harus Dibayar Tuntas karya sutradara Edwin yang meraih penghargaan Golden Leopard, penghargaan tertinggi di forum Festival Film Internasional Lucarno 2021. Juga film karya sutradara Kamila Andini berjudul Yuni yang meraih penghargaan Platform Prize di Festival Film Internasional Toronto 2021, dan film terbarunya, Before, Now and Then (Nana), yang membawa Laura Basuki terpilih sebagai pemenang penghargaan Silver Bear untuk Pemeran Pendukung Terbaik di Festival Film Internasional Berlinale 2022. Laura berperan sebagai tokoh Ino dalam film itu.
Nama-nama itu memberikan harapan bahwa masih ada sineas Indonesia yang tetap berpegang pada prinsip keleluasaan estetika dan film sebagai sebuah bahasan kebebasan imajinasi. Setidaknya film-film mereka tak hanya berbicara tentang bagaimana mendapatkan jumlah penonton yang banyak, dan menghambakan konsep penceritaan dan penokohan para karakternya kepada para pemengaruh dengan pengikut besar.
Film dengan berbagai pendekatan dan corak adalah bagian dari sebuah kekayaan sinematik.
Sineas keras kepala ini pasti tetap akan tumbuh. Di samping Edwin dan Kamila, masih ada nama seperti Mouly Surya atau Anggi Noen yang masih akan terus berkarya dengan segala kenekatannya untuk tetap ”berseberangan” dengan pasar film nasional, dengan risiko bahwa film-filmnya akan dijauhi masyarakat penonton, bahkan bioskopnya.
Film dengan berbagai pendekatan dan corak adalah bagian dari sebuah kekayaan sinematik. Film dengan pendekatan pop, menghibur, dan menghamba kepada masyarakat penonton akan tetap diproduksi. Itu salah satu cara bagi PH bisa tetap bertahan dan produktif. Bagaimanapun, film adalah sebuah industri yang butuh pasar dan menghidupi para pekerjanya. Simbiosis inilah yang akan memperpanjang napas industri film nasional.
Di sisi lain, film sebagai sebuah proyeksi estetika juga tetap harus ada. Mereka bagian dari sebuah keberagaman pola tontonan, dan masing-masing punya ceruk penonton yang konsisten dan militan. Sutradara Jerman Wim Wenders mengatakan, sebuah film (eksperimental) tetap masih ada penonton meski hanya satu kursi. Menghargai karya-karya itu merupakan bentuk tertinggi dari kekaguman kita kepada makna kerja keras (pidato Wenders ketika menerima Leopard of Honour di Festival Film Internasional Lucarno, 2005).
Gunawan Raharja,Penulis Skenario