Ratusan juta manusia fokus ke Indonesia karena MotoGP. Pemerintah mampu melahirkan melodrama yang membetot pencinta motor seluruh dunia. Komunikasi, kampanye, dan event istimewa upaya membangun branding Indonesia.
Oleh
AM Lilik Agung
·5 menit baca
Dari perhelatan MotoGP, tersua angka yang fantastis. Setiap pebalap memacu motornya dalam satu seri putaran pertandingan, maka 432 juta rumah di 200 negara akan menyalakan televisi menonton siaran langsung.
Kejar-kejaran antara Marc Marquez dengan Maverick Vinales, Fabio Quartararo, dan pebalap Asia, Takaaki Nakagami, memukau 30 juta pemuja di media sosial dan aneka platform digital dengan 12,2 miliar impresi, tiga miliar penonton video, dan menghabiskan 2,5 miliar menit menonton. Jika dikumpulkan dari laman Facebook, Instagram, Youtube, dan Tiktok, ada hampir 31 juta ”penduduk” MotoGP (Kompas, 16/3/2022).
Keseriusan pemerintah menyiapkan lomba pacu motor ini, di mana Presiden Joko Widodo terlibat secara intens, memberi nilai tambah terhadap perlombaan. Menjadi kejadian langka ketika semua pebalap diundang Presiden ke Istana lalu bersama-sama menelusuri jalan utama ibu kota negara. Ada sambutan meriah masyarakat sepanjang jalan. Dipastikan para pebalap membanjiri medsosnya dengan peristiwa langka ini dan jutaan pengikutnya memberi respons sukacita.
Momentum istimewa ini dapat dijadikan perkakas bagi pemerintah untuk mem- branding Indonesia.
Momentum istimewa ini dapat dijadikan perkakas bagi pemerintah untuk mem-branding Indonesia. Tidak saja sebatas pariwisata dengan produk turunannya. Lebih dari itu, mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia itu negara aman, damai, dan penduduknya ramah.
Kekuatan ”branding”
Branding bukan sekadar logo, merek, simbol, ataupun slogan yang menyertai produk. Di dalam branding terdapat aktivitas untuk mengenalkan produk ke khalayak melalui komunikasi, kampanye, dan berbagai acara sehingga produk bersangkutan memiliki persepsi, karakter, dan citra terhadap khalayak. Produk memiliki asosiasi kuat sehingga tak mudah untuk ditiru dan ditaklukkan pesaing.
Dalam hal branding, Malaysia layak diacungi jempol. Slogan yang diusung Pemerintah Malaysia adalah Truly Asia. Pesan dari slogan ini jelas, kalau ingin mengetahui Asia, ya, ke Malaysia. Semua hal yang ada di Asia terdapat di Malaysia. Branding Malaysia sebagai Truly Asia sebenarnya mendapat momentum karena satu hal: Petronas. Perusahaan minyak pelat merah Malaysia ini sedang menikmati bonanza minyak.
Petronas mampu membangun menara kembar tertinggi di dunia. Menara Petronas mendapat endorsement luar biasa ketika dijadikan lokasi utama film Entrapment dengan bintang Sean Connery dan Catherine Zeta-Jones. Film perpaduan kemegahan gedung dan kecanggihan teknologi.
Tak terbatas membangun dua menara kembar yang kemudian jadi ikon Malaysia, Petronas juga jadi sponsor utama pebalap Formula 1 dan MotoGP yang rajin menjadi pemenang pertama. Sirkuit Sepang yang mulai menggelar balapan Formula 1 dan MotoGP sejak 1999 semakin mengokohkan Petronas di mata khalayak dunia.
Momentum kejayaan Petronas melalui Menara Kembar, Sirkuit Sepang, serta sponsor utama pebalap Formula 1 dan MotoGP dijadikan lokomotif Malaysia untuk mem-branding-kan diri menjadi Truly Asia. Malaysia adalah Asia sesungguhnya. Gabungan antara tradisi, kekayaan alam, dan modernitas. Branding Malaysia sukses besar.
Sebelum pandemi Covid-19, setiap tahun Malaysia mampu meraup 28 juta wisatawan mancanegara.
Itulah kekuatan branding. Kampanye yang masif dan terarah, komunikasi tanpa putus dengan slogan Asia sesungguhnya, ditambah berbagai kegiatan internasional di dalam negeri, menjadikan Malaysia sukses memengaruhi persepsi khalayak. Malaysia berhasil mengasosiasikan dirinya sebagai rumah orang Asia.
”Branding”Indonesia
Selama sepekan ini ratusan juta manusia fokus ke Indonesia karena MotoGP. Kerja keras pemerintah sebelum Marc Marquez dan para pebalap lainnya meraung-raungkan motor di Sirkuit Mandalika layak diapresiasi. Pemerintah mampu melahirkan melodrama yang membetot pencinta motor seluruh dunia dengan sajian istimewa para pebalap ke Istana Negara dan menelusuri jalan utama ibu kota dengan aman dan penuh sukacita.
Balapan diliput media berbagai format dari semua penjuru bumi. Komunikasi, kampanye, dan event sudah didapat. Lebih penting adalah selanjutnya bagaimana?
Ujung dari branding adalah asosiasi. Seperti halnya Malaysia yang sukses diasosiasikan sebagai ”mini Asia”, Thailand sebagai dapur dunia, dan Singapura sebagai negara jasa. Sering kali negara dengan sumber daya terbatas memiliki keuntungan untuk mem-branding-kan diri maksimal dengan fokus pada apa yang dimiliki. Seperti Malaysia yang hanya memiliki menara kembar tertinggi di dunia, atau Thailand dengan tom yam-nya. Tom yam ini oleh pemerintahnya di-branding habis-habisan sehingga dikenal di seluruh dunia dan menjadi lokomotif untuk menarik gerbong kuliner lainnya sehingga Thailand terkenal dengan kuliner dan hasil buahnya.
Indonesia dianugerahi aneka kekayaan dan kebudayaan sehingga menjadi lebih rumit untuk mem-branding-kan salah satu kekayaan atau kebudayaan itu. Branding dalam konteks ini berbasis pada lima tujuan superprioritas pariwisata, yaitu Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang. Mandalika sudah di-branding dan tinggal melanjutkan.
Kerja keras pemerintah sebelum Marc Marquez dan para pebalap lainnya meraung-raungkan motor di Sirkuit Mandalika layak diapresiasi.
Satu lagi yang relatif mudah di-branding-kan adalah Borobudur. Sebagai candi Buddha terbesar di dunia, Borobudur memiliki sejarah panjang nan elok. Mem-branding Borobudur sebagai pusat ziarah agama Buddha dunia bukan fatamorgana, tetapi fakta. Dibangun tahun 800 dan masih tegak berdiri hingga sekarang, sudah merupakan keajaiban tersendiri.
Dengan 2.672 panel dan ansambel relief paling lengkap dan memiliki nilai seni tinggi karena menggambarkan adegan utuh perjalanan manusia dan Buddha. Layak kalau Borobudur di-branding-kan sebagai pusat ziarah Buddha dunia.
Ada 500 juta penganut agama Buddha di dunia. Cukup dua persen saja penganut Buddha berziarah ke Borobudur, akan diperoleh 10 juta peziarah per tahun dari mancanegara.
Pariwisata yang sukses memang antara obyek dan penduduk sekitarnya menyatu. Penduduk sekitar Borobudur memang bukan penganut Buddha, hanya saja masyarakat Magelang dan Yogyakarta merupakan masyarakat terbuka dan lentur terhadap kepercayaan lain. DNA warga Yogyakarta juga sudah terbiasa melayani karena kotanya kota tujuan wisata.
AM Lilik AgungMitra Pengelola Galeri HC, Lembaga Pengembangan SDM