Rusia-Ukraina: ”Security Dilemma”
Konflik Rusia dan Ukraina merupakan ”security dilemma”, di mana sudah tidak dapat lagi dibedakan tindakan-tindakan ofensif dan defensif dalam mempertahankan keamanan dan kepentingan nasional.
Mengapa terjadi Perang Rusia-Ukraina. Jawabnya beraneka dan banyak yang bertentangan. Namun, serangan militer Rusia dalam skala yang dilakukan dewasa ini adalah cara penyelesaian sengketa antarnegara pada abad ke-20.
Perang pada abad ke-20 ditandai dengan dua kali Perang Dunia serta beberapa perang besar, seperti Perang Korea dan Perang Vietnam, serta berbagai konflik di Timur Tengah dan wilayah-wilayah lain, seperti Afghanistan dalam skala yang lebih kecil, tetapi berdampak besar. Selalu ditandai dengan ofensif militer satu negara atas negara lainnya atau aliansi negara pendukungnya.
Perang jenis ini selalu meninggalkan korban fisik dan warga sipil; jutaan orang mengungsi ke negeri asing dan menimbulkan masalah kemanusiaan baru.
Abad ke-21, yang telah berlangsung dua dasawarsa, ditandai dengan hubungan antarnegara yang makin mengglobal, meminjam istilah Dani Rodrik, profesor ekonomi politik dari Harvard: hyper globalization. Tidak ada lagi dua kutub ideologi yang berhadapan diametral, seperti pada saat Perang Dingin. Kehidupan di dunia, baik individu maupun sosial, ekonomi maupun politik, makin menyatu, difasilitasi dengan kemajuan teknologi komunikasi dan digital yang berkembang sangat pesat.
Berbagai model bisnis dan kegiatan ekonomi serta keuangan berlangsung mendunia dengan aplikasi teknologi, seperti internet, sosial media, dan macam-macam gadget. Sementara di lapangan politik, perangkat teknologi membuka pintu datangnya era demokrasi baru, namakanlah ”demokrasi digital”.
Abad ke-21, yang telah berlangsung dua dasawarsa, ditandai dengan hubungan antarnegara yang makin mengglobal, meminjam istilah Dani Rodrik, profesor ekonomi politik dari Harvard: ’hyper globalization’.
”Security dilemma”
Dalam dua dasawarsa kehidupan global seperti di atas, meskipun konflik- konflik masih terus berlangsung seperti di Timur Tengah dan wilayah-wilayah lain yang rapuh, serta potensi konflik seperti di Semenanjung Korea dan Laut China Selatan, kemungkinan pecahnya perang militer dalam skala besar tak terbayangkan oleh masyarakat umum, digantikan oleh perang ekonomi, perang digital, dan perang teknologi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Maka, serangan Rusia ke Ukraina cukup mengejutkan. Rodrik menjelaskan, konflik di Ukraina sebagai ”security dilemma”, di mana sudah tidak dapat lagi dibedakan tindakan-tindakan ofensif dan defensif dalam mempertahankan keamanan dan kepentingan nasional. Dalam pandangan dunia Barat, serangan Rusia atas Ukraina adalah ofensif atau agresi, bagi Rusia adalah defensif untuk mencegah Ukraina masuk NATO dan menjadi ancaman bagi keselamatannya.
Dalam sejarah, hal yang hampir sama terjadi pada 1962, dikenal sebagai Krisis Oktober 1962 atau Cuban Missile Crisis. Uni Soviet merespons penempatan peluru kendali Amerika Serikat, Jupiter, di Italia dan Turki, sepakat dengan Kuba untuk menempatkan instalasi peluru kendali nuklir di Kuba, dengan alasan guna mencegah serangan AS ke Kuba.
Baca juga: Perang Ukraina Menjadi Pukulan Balik bagi Rusia
Reaksi AS yang keras menciptakan suasana tegang yang hampir meletus menjadi perang terbuka, bahkan perang nuklir. Konflik ini dapat diredakan setelah tercapai kesepakatan antarpemimpin kedua negara, John F Kennedy dan Nikita Khrushchev. Peluru kendali Jupiter tak jadi ditempatkan di Turki dan penempatan peluru kendali nuklir Rusia di Kuba dibatalkan. Hingga sekarang, meskipun lebih banyak lagi negara pemilik senjata nuklir, disadari penggunaannya akan menghancurkan peradaban, bahkan kehidupan di dunia ini. Maka, terjadilah ”nuclear détente”.
Reaksi dan sanksi
Reaksi AS, negara-negara NATO dan sekutu di luar kawasan, seperti Jepang dan Australia, atas ofensif Rusia di Ukraina sangat cepat dan komprehensif. Ukraina dibantu peralatan perang disertai berbagai langkah nonmiliter yang dilakukan secara serempak oleh Barat.
Sanksi-sanki ekonomi diluncurkan diawali dengan dikeluarkannya bank-bank Rusia dari sistem perbankan internasional (SWIFT) sehingga Rusia tidak dapat melakukan transaksi bisnis global. Semua aset pemerintah bahkan pribadi-pribadi dan investasi Rusia di luar negaranya dibekukan. Semua jalur ekspor dan impor Rusia ditutup.
Konflik dan sanksi-sanksi ini berdampak pada masyarakat dunia yang tidak ada kaitannya akibat terganggunya rantai pasok (supply chain), kenaikan harga-harga dan kelangkaan berbagai komoditas, seperti energi, pangan, dan berbagai jenis bahan baku. Akibatnya, kelompok negara-negara Barat itu tidak hanya menghukum Rusia, tetapi juga menghukum semua bangsa di dunia sampai jauh di luar kawasan dan kepentingan pihak yang berkonflik.
Bahkan, sedang dipertimbangkan secondary sanctions untuk negara-negara lain yang secara langsung atau tak langsung masih berhubungan dagang dengan Rusia. Sekarang yang sedang ditunggu adalah sikap China, di mana pemimpin kedua negara, Vladimir Putin dan Xi Jinping, telah bersepakat menjalin kerja sama ”tanpa batas”. Rusia telah meminta bantuan untuk sejumlah peralatan militer dari China, dan bisa diperkirakan juga bantuan di bidang ekonomi untuk mengompensasi sanksi Barat.
Pelajaran
Beberapa pelajaran dapat kita tarik dari konflik ini. Pertama, setelah pecah perang Rusia-Ukraina, berbagai platform publik global yang dipercaya seharusnya tersedia bagi umum dan bersifat netral, turut berpartisipasi memberi sanksi terhadap Rusia.
Hampir semua operator layanan internet menutup pintu terhadap Rusia. Hampir semua perusahaan teknologi tinggi di AS dan sekutunya memotong semua produk teknologi tinggi, termasuk pasokan micro-chips ke Rusia.
Kedua, banyak orang percaya bahwa opini publik Barat adalah yang paling bebas dan berita Barat adalah yang paling obyektif dan otentik. Namun, sekarang semua opini publik Barat telah menjadi mesin perang melawan Rusia, secara ketat menutup saluran komunikasi eksternal Rusia, mengontrol penyebaran opini publik, dan menyegel suara Rusia untuk berbicara di dunia.
Ketiga, dunia Barat mengajarkan bahwa hak-hak individu, termasuk kepemilikan, adalah sakral. Namun, tindakan balasan yang dilakukan berdampak pada penduduk yang tidak berdosa dalam perang seperti uang yang disimpan di bank menjadi hilang atau berkurang nilainya. Sekarang bisa terjadi pada Rusia, lain kali bisa terjadi pada negara lain. Kesemuanya itu menafikan nilai-nilai yang selama ini menjadi kelebihan sistem dunia Barat dibandingkan dengan sistem alternatif lainnya.
Kita prihatin terhadap rakyat yang menjadi korban, termasuk yang harus meninggalkan tempat tinggalnya dan mengungsi ke negara lain.
Asimetris
Kita tidak bisa menyetujui atau menerima bahkan mengutuk serangan sebuah negara ke negara lain sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Kita prihatin terhadap rakyat yang menjadi korban, termasuk yang harus meninggalkan tempat tinggalnya dan mengungsi ke negara lain.
Undang-Undang Dasar kita mengamanatkan kemanusiaan yang adil dan beradab dan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Penyelesaian masalah melalui perang tidak dapat dibenarkan, apa pun alasannya. Ini menjadi pelajaran bagi potensi agresi di wilayah lain, seperti Taiwan dan Laut China Selatan, di mana Indonesia punya kepentingan.
Di lain pihak, kita melihat betapa kekuatan teknologi dan ekonomi yang dikuasai dunia Barat menjadi alat perang yang demikian dahsyatnya yang menunjukkan betapa asimetrisnya perimbangan kekuasaan di dunia ini. Dalam benak terlintas, seandainya reaksi yang keras seperti itu juga dilakukan bagi rakyat Palestina yang selama 70 tahun terusir atau menjadi orang asing di tanah airnya sendiri. Tapi itu cerita lain.
Baca juga: Penyelesaian Konflik Rusia-Ukraina
Akhirnya, saya ingin mengutip Dani Rodrik lagi (dalam bahasa aslinya) bahwa ”… ordinary people in many non-Western countries regard Western powers as opportunistic, hypocritical, and motivated purely by selfishness….” (orang awam di banyak negara non-Barat menganggap kekuatan Barat sebagai oportunistik, hipokrit, dan hanya memikirkan kepentingan diri sendiri semata).
Ginandjar KartasasmitaGuru Besar Graduate Institute for Policy Studies, Tokyo, Jepang