Hasil tes PISA memang bagus dipakai untuk mereformasi pendidikan kita. Namun, menjadikan tes itu sebagai patokan utama harus dipikirkan ulang. Membenahi kualitas pendidikan harus secara fundamental, dari hulu ke hilir.
Oleh
WAODE NURMUHAEMIN
·5 menit baca
Sejak tes PISA (Programme for International Student Assessment) diadakan pada 2000, hanya ada satu negara Afrika yang mengikutinya, yaitu Tunisia. Saya kemudian mencoba berhipotesis dan mencari-cari faktor utama penyebab mengapa negara-negara di benua tersebut emoh berpartispasi dalam tes PISA.
Tes PISA banyak digunakan oleh negara-negara maju dan berkembang dalam mereformasi sistem pendidikan mereka berdasarkan nilai hasil tes tersebut. Muncul hipotesis dalam pikiran saya bahwa salah satu faktor yang membuat negara-negara Afrika tidak mengikuti tes PISA dari tahun ke tahun adalah masalah mahalnya bayaran untuk mengikuti tes tersebut.
Saya mencari-cari di laman Kemendikbudristek, saya tidak mendapatkan berapa yang harus dibayar Indonesia untuk tergabung sebagai negara peserta dalam tes ini. Demikian juga pada laman OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) sebagai penyelenggara. Saya kemudian mendapatkan informasi dari laporan RISE internasional, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan tahun 2019. Biaya yang harus dibayar oleh setiap negara yang mengikuti tes PISA adalah 1 juta-2 juta dollar AS per tahun.
Biaya tersebut sangat mahal. Misalnya saja 1 juta dollar AS setahun, maka yang harus dibayar oleh Indonesia Rp 42 miliar selama tiga tahun (dengan kurs Rp 14.000 per 1 dollar AS). Uang itu cukup besar jika digunakan untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas pendidikan di Indonesia yang masih banyak belum memadai. Indonesia sudah mengikuti tes PISA sejak tahun 2000 dan akan mengikuti tes PISA lagi pada 2022 ini. Itu artinya sudah ratusan miliar uang yang dikeluarkan untuk mengikuti tes ini.
Bagaimana kemudian dampaknya terhadap pendidikan Indonesia? Setiap hasil tes PISA keluar, maka setiap kali itu pula Indonesia terpuruk di peringkat 10 besar terbawah dan kemudian banyak melakukan perubahan radikal dalam pendidikan, termasuk mengganti kurikulum. Yang terbaru peluncuran Kurikulum Merdeka adalah juga berdasarkan hasil tes PISA selama 20 tahun. Indonesia tidak menunjukkan kemajuan alias jalan di tempat dan juga untuk menambal learning loss pendidikan selama pandemi Covid-19.
Setiap hasil tes PISA keluar, maka setiap kali itu pula Indonesia terpuruk di peringkat 10 besar terbawah.
Mengapa kemudian Indonesia yang selalu mengikuti saran-saran yang diajukan oleh penyelenggara tes PISA, yaitu OECD, selama 20 tahun mengikuti tes ini, sama sekali tidak menunjukkan kemajuan yang berarti? Pada tes terakhir di tahun 2018, posisi Indonesia malahan sudah dilampaui oleh Brunei Darussalam. Seharusnya hal ini menjadi lampu merah bahwa saran-saran OECD sebagai penyelenggara PISA tidak cocok untuk memperbaiki pendidikan bangsa ini.
Pembanding
Berdasarkan saran OECD, kita kemudian melihat negara lain sebagai pembanding. Dahulu Finlandia yang menjadi patokan pendidikan kita dan mencoba meniru beberapa hal dari negara tersebut sebagai kiblat pendidikan terbaik dunia karena peringkat PISA Finlandia yang ciamik. Pada 2018, tanpa diduga-duga Estonia melambung di posisi puncak mengalahkan semua negara Eropa. Apakah kita mau meniru Estonia?
Kita sibuk meniru negara-negara maju tersebut, dimana negara-negara maju juga berdasarkan hasil tes PISA memperbaiki sistem pendidikannya. Artinya, kita berlari meniru masa lalu pendidikan negara-negara maju tersebut karena mereka sedang bergerak ke arah yang belum kita ketahui.
Kita sibuk meniru negara-negara maju tersebut, dimana negara-negara maju juga berdasarkan hasil tes PISA memperbaiki sistem pendidikannya.
Indonesia sebenarnya bisa juga bernostlagia dengan kejayaan pendidikan masa lampau. Tahun 1970 kita banyak mengeskpor guru ke Malaysia. Lihat pendidikan Malaysia sekarang, jauh meninggalkan Indonesia. Rangking PISA Malaysia selalu di atas Indonesia. Demikian juga rangking kampus Malaysia, Universitas Malaya bahkan ada di peringkat 70 dunia. Ada enam kampus Malaysia berada di peringkat 100 dunia bahkan UI, ITB, UGM masih di bawah peringkat kelima kampus itu di luar Universitas Malaya. Universitas Brunei Darusalam juga mulai menyalip rangking kampus-kampus di Indonesia.
Hasil tes PISA memang bagus dipakai untuk mereformasi pendidikan kita. Namun, menjadikan tes itu sebagai patokan utama sudah mulai harus dipikirkan ulang. Indonesia sudah mencoba selama 20 tahun mengikuti petunjuk OECD sebagai penyelenggara PISA, namun tidak pernah mengalami peningkatan. Itu artinya saran-saran OECD tidak cocok dengan pendidikan Indonesia.
Mengapa Indonesia tidak menonjolkan pencapaian siswa-siswa Indonesia pada tes olimpiade astronomi, matematika, dan juga fisika? Siswa-siswa Indonesia berjaya dan mempunyai tradisi mendapat medali di ajang bergengsi tersebut. Mengapa pencapaian itu tidak di-blow up oleh media nasional dan internasional? Sehingga, sebagai bangsa kita punya kebanggaan bahwa Indonesia adalah negara yang pendidikanya sudah maju.
Tahun 2018, Indonesia mendapat emas untuk olimpiade Fisika di Lisbon Portugal. Hanya ada 17 negara yang mendapat emas dari 87 negara, dan Indonesia salah satunya. Yang terbaru, siswa-siswa Indonesia berhasil membawa pulang 8 medali yang terdiri dari 3 medali emas, 3 medali perak, dan 2 medali perunggu di kategori matematika, fisika, dan komputer di olimpiade sains internasional awal tahun 2021 di Kazakshtan.
Hal itu cukup menjadi bukti, bahwa siswa-siswa Indonesia bahkan mampu mengalahkan siswa-siswa dari negara maju. Kerapkali siswa-siswa Indonesia pemenang olimpiade selalu dilirik oleh negara-negara maju untuk diberikan beasiswa kuliah gratis S1 yang tentu saja mereka melihat potensi kecerdasan siswa-siswa kita.
Melihat mahalnya harga yang harus dibayar oleh negara-negara yang mengikuti tes PISA termasuk Indonesia, dan melihat skor yang tidak bergeser sejak 20 tahun yang lalu, yang menempatkan Indonesia selalu diperingkat terbawah, sudah saatnya Indonesia melihat kembali secara mendalam faktor penyebab kualitas pendidikan kita jalan di tempat. Sebagai ujung tombak kemajuan pendidikan suatu negara, bagaimana rekrutmen guru Indonesia?
Dahulu, pendidikan Indonesia terpuruk, yang dijadikan kambing hitam adalah tingkat kesejahteraan guru yang sekelas "Oemar Bakrie". Sekarang guru-guru sudah sangat sejahtera, mengapa program sertifikasi yang sudah berjalan sejak 2005 sampai saat ini belum mampu mengangkat mutu pendidikan Indonesia?
Pemerintah tidak usah terlalu sibuk manut pada saran-saran OECD yang tidak paham secara mendalam masalah-masalah pendidikan di Indonesia. Contohlah Singapura, negara itu sangat hati-hati dalam merekrut guru. Hanya ada satu kampus tempat kuliah guru, yaitu di National Institute Education (NIE). Yang direkrut adalah lulusan terbaik dari SMA, orang-orang yang memang berminat dan punya passion jadi guru. Di Malaysia, hanya kampus-kampus neegri yang boleh mendirikan sekolah guru agar mutunya terjaga.
Bagaimana Indonesia? Semua kampus bisa menyelenggarakan pendidikan guru, bahkan di ruko-ruko dengan mudahnya kita mendapatkan kampus guru berdiri. Untuk membenahi kualitas pendidikan Indonesia memang harus secara fundamental. Dari hulu ke hilir. Jika hanya mengandalkan laporan-laporan lembaga internasional yang hanya datang menyerahkan laporan hasil tes tiga tahun sekali, maka kualitas pendidikan kita tidak akan bergeser dari peringkat 10 terbawah.
Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta