Peneliti dan Pendanaan Riset Ilmiah
Pemerintah tidak perlu membantu dana untuk menutup biaya proses penerbitan artikel ilmiah kalangan akademisi di jurnal internasional bereputasi. Bantuan dana sebaiknya hanya untuk urusan penerjemahan dan penyuntingan.
Dalam tulisannya yang diterbitkan Kompas pada 7 Maret 2022, Profesor Ali Khomsan berargumen bahwa pemerintah perlu mengalokasikan dana untuk membantu penerbitan artikel peneliti Indonesia di jurnal ilmiah internasional. Selama ini, sebagian pembiayaan proses penerbitan artikel tersebut ditanggung dosen, yang notabene penghasilannya terbatas. Dengan adanya bantuan pemerintah, diharapkan produktivitas dosen, terutama profesor, akan meningkat.
Saya setuju dengan catatan bahwa bantuan dana hanya dialokasikan untuk urusan penerjemahan dan penyuntingan (copy-editing), dan tidak untuk hal-hal yang lain, termasuk pembayaran fee (article processing charges/APCs) ke jurnal-jurnal tertentu agar karya para peneliti dimuat di jurnal tersebut.
Kita paham bahwa tidak mudah menerbitkan artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi. Proses penerbitan artikel tidak sekali jadi, tetapi lewat beberapa tahapan. Di tahap awal, peneliti mengirimkan artikel ke jurnal internasional dan biasanya editor akan memberi jawaban dalam dua minggu, apakah artikel diterima untuk di-review oleh rekan sejawat atau ditolak.
Baca Juga: Profesor, Publikasi, dan Biaya Ekonomi
Dalam tahap ini, peneliti perlu memastikan tulisannya memenuhi kualitas yang diinginkan oleh editor jurnal internasional, termasuk dari segi kualitas bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang buruk menyebabkan editor tidak paham isi tulisan ilmiah atau, setidaknya, salah mengerti maksud dari peneliti.
Kalaupun editor setuju bahwa tulisan tersebut memenuhi standar akademik yang ditetapkan jurnal dan lolos tahap selanjutnya, sering editor meminta penulis untuk memperbaiki struktur kalimat atau maksud kalimat bahasa Inggris sebelum dikirim ke setidaknya dua ahli di bidang yang sesuai dengan tulisan tersebut (peer-reviewers atau rekan sejawat) untuk keperluan review.
Tulisan akan dikomentari oleh kedua ahli tersebut dan biasanya akan kembali ke tangan penulis beberapa bulan kemudian. Peneliti lantas memperbaiki artikel berdasarkan masukan dari kedua ahli di atas dan mengirim kembali tulisan ke editor jurnal. Jika editor jurnal merasa puas, editor siap untuk menerbitkan tulisan itu di jurnal mereka.
Sering kali, jurnal editor meminta peneliti untuk mengirim tulisan terlebih dahulu ke penyunting artikel profesional yang bahasa ibunya ialah bahasa Inggris. Tugasnya tidak hanya memperbaiki bahasa Inggris artikel tersebut, tetapi juga style tulisan yang digunakan sehingga style tulisan cocok dengan style yang dipakai jurnal tersebut.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa proses penerbitan artikel di jurnal ilmiah internasional membutuhkan kemampuan bahasa Inggris tulis yang prima. Peneliti Indonesia, terutama yang bahasa Inggris tulisnya buruk, tentu banyak menghadapi kesulitan untuk menerbitkan karya mereka di jurnal internasional bereputasi.
Jumlah mereka banyak sehingga pemerintah perlu turun tangan untuk membantu mengatasi persoalan ini. Cara yang tercepat ialah menyediakan sejumlah dana sehingga peneliti dapat mempekerjakan penterjemah atau penyunting karya ilmiah yang profesional.
Proses penerbitan artikel di jurnal ilmiah internasional membutuhkan kemampuan bahasa Inggris tulis yang prima.
Kolaborasi
Cara yang lain ialah berkolaborasi dengan peneliti asing yang bahasa ibunya ialah bahasa Inggris. Cara ini merupakan simbiosis mutualisma karena, di satu sisi, peneliti asing mendapatkan data tanpa harus mengadakan penelitian primer yang makan biaya dan waktu karena penelitian primer dilakukan partner Indonesia-nya. Di sisi lain, peneliti Indonesia mendapatkan manfaat dari segi kemudahan akses penerbitan artikel: peneliti asing yang bahasa ibunya ialah bahasa Inggris, yang tentu saja peneliti itu dipilih yang sudah berpengalaman dan mumpuni dari segi teknis penulisan karya ilmiah, diajak berkolaborasi menulis artikel bersama-sama untuk diterbitkan di jurnal internasional bereputasi.
Kolaborasi ini tidak hanya menghemat pengeluaran untuk penerjemahan dan atau copy-editing, karena pekerjaan ini sudah dikerjakan peneliti asing tadi, tetapi kolaborasi ini juga menjadi ajang transfer pengetahuan bagi peneliti Indonesia sehingga kompetensi dan keahlian menulis karya tulis ilmiah mereka menjadi lebih baik lagi. Para peneliti Indonesia sudah lama mempraktikkan kolaborasi ini dan mengingat besarnya manfaat, kolaborasi semacam ini dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Baca Juga: Jadi Guru Besar Berbiaya Minimalis
Di atas sudah saya uraikan pentingnya pemerintah membantu pengalokasian dana untuk menutup biaya penterjemahan dan penyuntingan artikel ilmiah yang akan diterbitkan jurnal internasional bereputasi. Sebaliknya, saya berargumen bahwa pemerintah tidak perlu membantu pengalokasian dana untuk menutup biaya proses penerbitan artikel ilmiah di jurnal internasional, yang biasanya dikenal sebagai APCs.
Banyak jurnal internasional yang mengomersialkan diri atau sengaja membuat jurnal ilmiah berdasarkan alasan komersial dengan meminta processing-fee bagi peneliti yang ingin karyanya diterbitkan di jurnal tersebut. Jumlahnya tidak banyak. Tim peneliti dari The University of Ottawa, Kanada, melakukan survei di tahun 2014, dan menemukan bahwa hanya 26 persen dari 17.500 jurnal ilmiah yang masuk dalam list Directory of Open Access Journals (DoAJ) yang masuk ke dalam kategori jurnal yang memungut biaya proses penerbitan artikel di jurnal internasional.
Jika pemerintah membantu alokasi dana untuk menutup biaya APCs, dikhawatirkan akan mendorong peneliti untuk melakukan jalan pintas.
Karena masuk dalam list DoAJ, jurnal-jurnal tersebut memang masih termasuk kategori jurnal berkualitas yang ditetapkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; tetapi mereka bukan jurnal yang bereputasi sangat tinggi. Mayoritas, atau 61 persen dari jurnal yang menetapkan APCs tersebut, dikelola oleh institusi yang bertujuan komersial sehingga kredibilitas dari jurnal-jurnal ini patut diragukan.
Jika pemerintah membantu alokasi dana untuk menutup biaya APCs, dikhawatirkan akan mendorong peneliti untuk melakukan jalan pintas dengan mengirim karya ilmiah mereka ke jurnal-jurnal tersebut supaya bisa cepat terbit daripada mengirim karya-karya ilmiah mereka ke jurnal internasional yang bereputasi lebih tinggi lagi, yang rata-rata tidak memungut article processing fee. Dengan memberi alokasi dana, secara tidak langsung pemerintah memberi insentif bagi peneliti untuk mengirim artikel ilmiah ke jurnal-jurnal yang reputasinya diragukan tadi. Hal ini akan menimbulkan moral hazard.
Solusi yang saya tawarkan di atas, yakni bantuan pengalokasian dana untuk penerjemahan dan penyuntingan artikel, ialah solusi jangka pendek untuk mengatasi permasalahan sulitnya peneliti menembus akses ke jurnal internasional bereputasi. Untuk jangka panjang, perlu solusi struktural untuk mengatasi masalah di atas.
Sekarang semakin banyak sekolah, terutama sekolah swasta, yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar. Maka, berbeda dengan generasi sebelumnya, banyak generasi muda sekarang, terutama generasi milenial perkotaan, memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik. Hal ini terefleksi dari meningkatnya jumlah artikel ilmiah yang menggunakan bahasa Inggris yang cukup baik yang diterbitkan oleh jurnal-jurnal ilmiah Indonesia. Bahkan, tulisan-tulisan ilmiah yang dibuat oleh peneliti muda Indonesia, dengan klasifikasi penulis tunggal, mulai banyak yang menembus jurnal internasional bereputasi.
Banyak karya ilmiah yang diterbitkan oleh jurnal-jurnal lokal lokal Indonesia yang masih jauh dari standar yang ditetapkan oleh jurnal-jurnal internasional.
Secara umum, yang masih kurang ialah dari segi kualitas penulisan karya ilmiah. Banyak karya ilmiah yang diterbitkan oleh jurnal-jurnal lokal lokal Indonesia yang masih jauh dari standar yang ditetapkan oleh jurnal-jurnal internasional, misalnya kurang rigorous (kurang fokus dan kurang mendalam pembahasannya).
Selain itu, banyak artikel dalam jurnal nasional tidak memiliki koherensi, dan kurang memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu yang dimaksud. Kurangnya kualitas artikel-artikel tersebut merupakan gambaran umum kompetensi periset Indonesia yang masih perlu membenahi diri agar mampu bersaing menembus jurnal internasional.
Baca Juga: Reorientasi Publikasi Akademisi Indonesia
Untuk mengatasi hambatan teknis di atas, kemampuan melakukan riset dan menuliskannya dalam bentuk artikel ilmiah perlu dikenalkan sejak dini. Di Australia, kemampuan teknis untuk membuat penelitian ilmiah sudah mulai dikenalkan sejak SMA. Para siswa SMA diajari mengumpulkan data, dan kemudian menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah. Ketika para siswa memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mereka sudah mendapatkan dasar-dasar pengetahuan dan teknis dalam pembuatan karya ilmiah. Kemampuan ini dipertajam lagi ketika mereka memasuki jenjang perguruan tinggi. Di Indonesia, pembuatan karya tulis ilmiah baru dikenalkan secara intensif menjelang pembuatan skripsi.
A’an Suryana, Visiting Fellow, ISEAS Yusof-Ishak Institute, Singapura