Di era milenial yang sarat gosip dan fitnah, tampaknya kisah Doktor Faust sebagai simbol kesuksesan manusia-manusia Prometheus yang angkuh dan serakah layak ditampilkan dalam konteks kekinian manusia Indonesia.
Oleh
CHUDORI SUKRA
·6 menit baca
Apabila meneropong karya-karya para sastrawan dunia dari zaman ke zaman, kita bisa melihat karakter manusia Barat yang cenderung ekstrem dalam segala hal, baik yang bersifat rasional maupun mistis. Namun, selain kaum rasionalis dan sekularisme radikal, sastra Barat tidak pernah kering dari jenis-jenis roman, drama, dan puisi yang penuh cita rasa keimanan dan dambaan pada nilai-nilai ketuhanan yang sejati. Tentu saja kualitas dan cita rasa keimanan manusia di zaman Nabi Ibrahim memiliki konteks yang berbeda–meski esensinya sama–dengan manusia zaman Einstein sekarang ini.
Pergulatan pemikiran dan religiositas manusia Barat lebih terdapat pada sikap sang pencari atau eksplorator ulung. Bagaikan ketelitian dan ketekunan sarjana dalam ruang-ruang laboratorium. Mereka bertanya dan bertanya, kemudian menemukan jawaban meskipun jawabannya tak lain dari mata rantai pertanyaan baru lagi.
Sastrawan terkemuka kelahiran Cekoslowakia, Franz Kafka (1883-1924), pernah memberikan garis besar bahwa sosok sang pencari, berkat ketekunan dan kegigihannya, pada waktunya akan sampai pada pertemuan di depan pintu gerbang intimitas Tuhan. Pandangan religiositas dari Kierkegaard (filosof Denmark) sangat memengaruhi alam pemikiran Kafka.
Keseriusannya menggeluti filsafat dan sastra membuat kepribadian Kafka dikenal sebagai sastrawan yang berani mengungkap kedalaman psikologis di masa-masa pencarian identitas dirinya, hingga cenderung menolak segala hal yang bersifat dangkal dan urik belaka. Namun, kemudian, ketika sampai pada puncak pencarian tentang hakikat kebenaran, sikap rendah hati menjadi keharusan setelah mereka mengalami pahit getir dan asam garam perjuangan yang mereka lakoni. Sebagian mereka mengakui dengan jujur tentang keterbatasan antara kebebasan sang eksplorator dan kekuasaan Yang Maha Absolut yang tak terbatas.
Sastrawan lainnya yang aktif mengebor kedalaman jiwa manusia dari kebuntuan ideologisnya adalah Sartre, Camus, Nietzche, Brecht, Boell, hingga TS Elliot. Karya-karya mereka membongkar habis karakter manusia hedonis yang identik dengan era milenial saat ini. Jiwa dan mentalitas kaum kemaruk dan serakah, yang kadang keranjingan mempertontonkan uang hasil korupsi di ranah publik. Meskipun para koruptor itu menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari kartu-kartu domino yang berdiri berderet-deret, tinggal disentil salah satu kartu yang kemudian berbenturan antara satu dan lainnya. Hidup mereka bagaikan tanggul-tanggul sungai yang keropos dan siap ambrol, cepat atau lama.
Para penulis Eropa, khususnya Perancis, memang tidak pernah kering menghasilkan karya-karya adihulung, sebagai epos ciptaan jiwa manusia modern dan hiper modern, yang pada hakikatnya diilhami pula dari para perintis dan pendahulunya, misalnya ”Kisah Doktor Faust” karya Goethe.
Membongar takhayul
Tidak sedikit sastrawan kita yang seringkali ”gagal paham” dalam menghayati kedalaman sastra Eropa, hingga mereka sibuk berkutat di wilayah kulit dan eksistensi tanpa menyentuh nilai-nilai esensialnya. Kisah Doktor Faust yang monumental itu, kini terus diperbarui dan dirilis ulang dari waktu ke waktu, tak terkecuali di Indonesia. Namun, tidak jarang, penampilan teater yang kita saksikan, baik di Gedung Kesenian Jakarta maupun Taman Ismail Marzuki, kadang masih juga belum dijumpai substansinya.
Kisah Doktor Faust sebenarnya bicara cukup fasih mengenai keabadian ”takhayul” yang digugat Goethe, dan sering kali marak di negeri-negeri Eropa sejak abad pertengahan lalu. Inti dari cerita yang disampaikan, perihal seorang intelektual dan ilmuwan yang berambisi keras merebut kembali pohon larangan Firdaus yang pernah lepas dari tangan Nabi Adam. Buah terlarang itu dapat pula ditafsirkan sebagai ”kunci pengetahuan” tentang kebaikan dan keburukan. Jadi, hanya Tuhan yang sebenarnya berdaulat penuh memegang kunci rahasia tersebut.
Kisah Doktor Faust sebenarnya bicara cukup fasih mengenai keabadian ”takhayul ” yang digugat Goethe, dan sering kali marak di negeri-negeri Eropa sejak abad pertengahan lalu.
Namun, karena tabiat dan watak Doktor Faust yang ambisius, serta menyadari kemampuan intelektual manusia yang terbatas, dia merelakan diri untuk menjual jiwanya kepada iblis Mefisto. Keduanya menyetujui kesepakatan perjanjian, bahwa ketika wafat kelak, Doktor Faust akan memasrahkan jiwanya digadaikan pada Mefisto.
Terserah apa pun namanya, bisa iblis Mefisto, Lucifer, genderuwo, tuyul, buto ijo, jin putih, jin hitam, atau silakan diberi nama yang bagus-bagus semau Anda. Dan ketika sampai menjangkau puncak tangga keberhasilan, Mefisto memberikan kunci rahasia sebagai simbol pengetahuan (ilmu gaib) dengan daya teknologi Raja Iblis yang dianggapnya hebat dan canggih itu.
Doktor Faust pada gilirannya mengetahui banyak hal yang tak bisa diketahui orang biasa, bahkan memahami apa yang tak bisa dipahami orang awam. Sang penjual jiwa itu akhirnya dapat berbuat sesuatu mengenai hal-hal yang tak bisa diperbuat orang pada umumnya. Konsekuensinya, dia menjadi kaya raya, bahkan berkuasa dan ditakuti oleh banyak orang.
Hukum alam
Doktor Faust, sang ilmuwan tulen itu, pada akhirnya tak bisa menghindari umur manusia yang terus berjalan, ruang dan waktu yang terus berproses, hingga sampailah di usia senjanya yang tua renta. Dia berusaha untuk mengulur-ulur waktu, bahkan mencoba menghindar dari cengkeraman Raja Iblis tersebut. Dia terus mencari akal dan siasat agar dapat keluar dari renggutan Sang Mefisto yang sudah mengikat kesepakatan terdahulu. Dia berjuang untuk menentukan nasibnya sendiri, menggapai-gapai cara untuk menjumpai rahmat Ilahi, tetapi toh pada akhirnya….
”Kalaupun ada mantra-mantra sakti yang sanggup membuat gunung meletus, sanggup membikin tanah terbelah (gempa bumi), bahkan bisa membuat orang-orang mati bangkit dan bicara kembali, tapi ketahuilah, semuanya itu tak ada yang lepas dari manajemen dan campur-tangan Tuhan!”
Ayat Al Quran yang saya kutip dari surat Ar-Ra’d (13:31) itu paralel dan sehaluan dengan kata-kata mutiara yang pernah diucapkan sastrawan Franz Kafka di usia senja dan puncak keletihannya. Terutama saat dia mengakui lelah di tengah pencapaian eksplorasinya, serta hasrat dan obsesinya yang sarat keterbatasan.
Bukan kita manusia yang sanggup menggapai Tuhan, tetapi Tuhan sendirilah, berkat kasih-sayang-Nya, yang akan meraih kita yang serba terbatas ini.
”Bukan kita manusia yang sanggup menggapai Tuhan, tetapi Tuhan sendirilah, berkat kasih-sayang-Nya, yang akan meraih kita yang serba terbatas ini.” Demikian pernyataan bersayap dari Simone Weil, filosof wanita asal Perancis.
Ungkapan senada disampaikan Pearl S Buck dalam novelnya The Good Earth, yang secara lugas pernah menggugat ketundukan para penulis Asia pada ideologi Eropa setelah abad pertengahan hingga zaman neokolonialisme ini. ”Mengapa mereka begitu mudah menganut paham yang didakwahkan oleh para pemikir dan filosof Eropa. Padahal, tidak sedikit dari orang-orang seperti kami, para penulis Eropa yang merasakan keterpurukan manusia-manusia Faust sebagai pahlawan dan ksatria menyedihkan, dengan hati dan jiwa-jiwa muram dan gersang.”
Di era milenial yang sarat gosip dan fitnah berseliweran sana-sini, tampaknya kisah Doktor Faust sebagai simbol kesuksesan manusia-manusia Prometheus yang angkuh dan serakah layak ditampilkan dalam konteks kekinian manusia Indonesia. Bagaimanapun, sosok ambisius itu tidak pantas menjadi suri teladan yang dipuja-puji sebagai lambang manusia progresif, dengan mengambil risiko besar demi kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan tata perdagangan yang menjadi demam orang-orang Eropa masa lalu.
”Tidak semua yang terjangkau oleh kekuatan otak dan keinginan hawa nafsu manusia boleh dilakukan sekehendak hatinya,” demikian peringatan Albert Einstein untuk manusia hiper modern saat ini. Dalam drama Paul Claudel, yang berkisah tentang orang-orang Spanyol yang mewarisi kebudayaan Arab di akhir abad ke-16, disampaikan petuah yang sama, bahwa perjuangan manusia untuk mencapai puncak kebenaran, kelak akan ditegur oleh hati nuraninya sendiri. Manusia akan bermuara di puncak keletihannya, hingga pada waktunya, ia pun harus menyadari keterbatasan dan ketidakberdayaannya.
Chudori Sukra, Anggota Mufakat Budaya Indonesia; Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten