Pesugihan dan Manusia Indonesia Modern
Fenomena pesugihan bukanlah hal asing bagi masyarakat di Indonesia yang sedang menuju pada modernitas. Hal ini ada dalam memori bawah sadar meski tak menjalankannya.
Saat sebagian orang sibuk berinvestasi mata uang kripto yang nilainya terus melambung, sebagian orang Indonesia justru memercayai bahwa menjadi babi ngepet pun bisa membuat kaya. Walau peradaban makin modern, teknologi makin canggih, masyarakat makin terdidik dan religius, nyatanya pesugihan tetap eksis di masyarakat.
Isu penangkapan seekor babi yang diduga sebagai sarana pesugihan babi ngepet di Kelurahan Bedahan, Sawangan, Depok, Jawa Barat, pada Selasa (27/4/2021), ramai diperbincangkan masyarakat dan mengundang kerumunan warga untuk menyaksikan langsung ujud sang babi ngepet.
Kabar itu menyebar cepat di media sosial dan diberitakan banyak media massa utama. Lengkap dengan kesaksian warga, kecurigaan warga sekitar, hingga pernyataan tokoh agama yang memimpin penangkapan babi. Obrolan babi ngepet reda saat Kepolisian Resor Metro Depok pada Kamis (29/4/2021) membuktikan isu itu hanya rekayasa atau penipuan belaka.
Masyarakat memiliki ketidaksadaran kolektif yang memercayai dan meyakini adanya kekuatan di luar manusia yang dapat membantu mereka menjadi kaya dengan cara-cara gaib.
Kepercayaan pada pesugihan memang hidup di masyarakat. Keyakinan untuk bisa memperoleh kekayaan secara instan tanpa perlu kerja keras dengan bantuan kekuatan supranatural atau gaib itu ada dalam banyak budaya masyarakat tradisional, tidak hanya di Indonesia.
Jika babi ngepet populer di bagian barat Jawa, di Jawa Tengah dan Jawa Timur pesugihan dengan memelihara tuyul lebih terkenal. Di daerah lain, mitos pesugihannya tentu berbeda. Ada laku pesugihan dengan menjalani ritual tertentu di makam atau tempat keramat, melaksanakan amalan tertentu, atau juga membaca doa atau mantra-mantra khusus.
Pesugihan putih tidak menghendaki tumbal, sedangkan pesugihan hitam harus ada tumbal yang terkadang sampai mengorbankan keluarga sendiri. Namun, kedua bentuk pesugihan itu sama-sama memiliki syarat yang harus dijalankan dan ditepati jika ingin mendapat pesugihan, baik berupa sajen atau laku tertentu.
”Laku pesugihan tidak mengenal status sosial, pendidikan, atau jender. Semua orang, dari berbagai kalangan, bisa melakukannya,” kata peneliti psikologi budaya dan dosen Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Nanum Sofia, Minggu (2/5/2021). Tesis Nanum pada 2009 membahas
Psikoetnografi Pelaku Pesugihan, khususnya pesugihan putih.
Karena itu, tidak mengherankan jika kepercayaan pesugihan babi ngepet bisa kuat mengakar di sebagian masyarakat Bedahan yang notabene hanya berjarak beberapa kilometer dari batas ibu kota negara, beberapa kilometer dari salah satu universitas terbaik di Indonesia, dan dalam masyarakat Depok yang dikenal religius.
Baca juga: Ramai-ramai ”Berburu Celeng” di Depok
Onesius Otenieli Daeli dalam Pesugihan: Hubungan Uang dan Mistik dalam Perspektif Antropologi di ECF Filsafat Uang No 1 (2015) menulis pesugihan merupakan kreasi dan keterampilan manusia dalam mengolah berbagai kemungkinan yang ada, termasuk dengan memanfaatkan daya magis. Pesugihan merupakan salah satu strategi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mereka yang menjalani laku pesugihan, lanjut Nanum, memiliki pola pikir yang bersifat instan dan pragmatis, dan apa yang diinginkan saat ini harus terwujud sekarang. Mereka memiliki orientasi hidup duniawi dan tujuan hidup jangka pendek sehingga tidak mengindahkan normal sosial dan agama yang dilanggarnya.
Etos kerja pelaku pesugihan jelas rendah. Mereka ingin cepat kaya tanpa perlu bersusah payah. Mereka sangat mengagungkan materi tetapi tidak memiliki daya kerja yang baik. ”Mereka mengalami kesalahan berpikir hingga menjadikan materi sebagai tujuan hidup dan tolok ukur kebahagiaan,” tambahnya.
Selain itu, sebagian besar pelaku pesugihan pernah mengalami ketidakberdayaan atau masa-masa sulit yang panjang. Pengalaman tidak mengenakkan itu mendorong mereka melakukan hal-hal yang tidak umum, tetapi bisa membuat mereka cepat mencapai tujuan.
Memang tidak semua masyarakat memercayai adanya pesugihan. Mereka yang meyakini umumnya percaya akan hal-hal mistis dan mengagungkan keajaiban. Masyarakat yang lebih rasional cenderung tidak akan meyakininya, meski mereka tetap punya peluang ”jatuh” untuk meyakini, bahkan ikut menjalani laku pesugihan.
Dalam perspektif psikologi Islam, ”Mereka yang terperosok dan melakukan ritual pesugihan itu adalah orang yang tidak memiliki jiwa suci (tazkiyatun nafs) dan ketakwaan rendah,” katanya.
Modernitas
Zaman berubah, tetapi keyakinan dan laku pesugihan tetap tumbuh di masyarakat. Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggungjawaban (1977) telah menyebut beberapa ciri manusia Indonesia, antara lain, percaya takhayul, boros, tetapi tidak suka kerja keras. Setelah lebih 40 tahun berlalu, ciri-ciri itu tetap ada dalam masyarakat Indonesia.
Antropolog ekonomi dan politik lokal serta Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Bambang Hudayana mengatakan, masyarakat tradisional Indonesia memang punya kepercayaan pada pesugihan. Mereka juga punya premis keterbatasan sumber daya untuk dilipatgandakan. Akibatnya, mereka mudah curiga dan sering menuduh orang kaya di sekitarnya sebagai pelaku pesugihan.
Kepercayaan pada pesugihan itu akhirnya menjadi mitos karena sulit dibuktikan kebenarannya. Mitos itu tetap bertahan walau masyarakat sudah berubah, kesejahteraan makin baik dan semangat keagamaannya menguat. Bukan soal benar atau salah yang membuat pesugihan langgeng, tetapi karena kepercayaan itu terus menerus diwariskan tanpa sadar dari generasi ke generasi.
Baca juga:Mengapa Orang Modern Masih Percaya Mitos?
Media punya andil besar mewariskan mitos itu. Jauh sebelum media massa dan media sosial ramai mengabarkan isu babi ngepet di Bedahan, banyak tayangan televisi, film, maupun cerita yang menampilkan isu babi ngepet. Bahkan, babi ngepet sering dijadikan bahan becandaan di antara kawan. Semua itu membuat babi ngepet tertanam dalam memori bahwa sadar kita.
”Di era post-truth (pascakebenaran), benar dan salah makin sulit dibedakan. Kebohongan yang terus diulang-ulang, baik oleh media, tokoh agama, hingga orang pintar pun akhirnya akan dipercayai masyarakat sebagai kebenaran,” kata Bambang.
Saat teknologi digital menggurita dan menyentuh berbagai aspek kehidupan, pesugihan turut berevolusi. Jika dulu orang mencari pesugihan harus mendatangi ”orang pintar” dulu, kini cukup dilakukan dengan menggerakkan jari. Hanya dengan membuka Play Store yang ada di telepon pintar berbasis Android, berbagai aplikasi pesugihan tersedia. Pengaksesnya tentu orang yang melek teknologi, tapi mereka tetap percaya mitos pesugihan.
Mendayagunakan rasionalitasnya guna menyelesaikan berbagai persoalan hidup dan meningkatkan produktivitasnya sebagai ciri modernitas masih sulit dilakukan.
Bambang menambahkan, modernisasi sering kali justru memperkuat agama atau kepercayaan tertentu. Bahkan, sebagian orang justru memanfaatkan hal-hal magis yang ditawarkan agama atau kepercayaan itu untuk untuk mencapai tujuan-tujuan modernitasnya.
Indonesia sebenarnya tetap bergerak menjadi bangsa yang modern. Namun, dalam proses modernitas itu, banyak masyarakat yang tertinggal. Mereka masih sulit melepaskan kepercayaan religiomagisnya sebagai ciri masyarakat tradisional. Sementara mendayagunakan rasionalitasnya guna menyelesaikan berbagai persoalan hidup dan meningkatkan produktivitasnya sebagai ciri modernitas masih sulit dilakukan.
”Modernitas butuh proses,” ujar Bambang tegas. Karenanya, wajar jika selama menuju modernitas itu akan ada kepercayaan tradisional yang menyertai masyarakat. Toh lambat laun pasti akan terjadi pengkritisan atas kepercayaan tersebut meski tidak bisa serta merta. Selain itu, kecepatan perubahan antarindividu juga berbeda.
Namun, dalam mencapai modernitas itu tidak bisa diserahkan hanya kepada masyarakat. Negara punya andil besar untuk mewujudkan dan mempercepat proses modernisasi tersebut. Kebijakan adil bagi semua orang untuk mempunyai peluang maju dan mendapat kekayaan penting dilakukan negara untuk makin meminimalkan kepercayaan akan pesugihan.
Di sisi lain, pendidikan kebudayaan di sekolah harus dilaksanakan secara benar. Selama ini, yang terjadi justru peminggiran budaya lokal karena dianggap jelek, kuno dan tertinggal serta membesarkan budaya luar. Cara pahlawan Raden Ajeng Kartini yang mengkritik budaya yang dianggap tidak pas dan terus mendorong budaya sendiri yang adiluhung bisa dicontoh.
Karena pada akhirnya, ”Kekuatan terbesar dari proses perubahan itu adalah memanfaatkan keahlian hidup yang dimiliki yang bersumber dari kebudayaan sendiri,” kata Bambang.