Indonesia diperkirakan kembali menyandang status negara berpendapatan menengah-tinggi dan saat ini tengah memasuki periode puncak bonus demografi. Sayangnya, tren ekonomi semakin kurang padat karya dan krisis ekonomi.
Oleh
DAHRENDRA WARDHANA
·4 menit baca
Data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2021 memperlihatkan penurunan tingkat pengangguran terbuka sejak masa pandemi Covid-19. Hanya terdapat delapan provinsi yang mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) lebih tinggi dari angka nasional (6,49 persen) dan tak ada yang menyentuh angka double digit. Kondisi ini lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu ketika empat provinsi mencatat TPT di atas 10 persen.
Sebelum dihantam Covid-19, indikator TPT sempat menyentuh level terendah sepanjang masa (4,99 persen). Empat tahun beruntun sejak 2016, TPT senantiasa mencetak rekor berada di bawah 6 persen, yang kemudian terhenti saat pandemi merebak di awal 2020.
Pengangguran alamiah
Tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment) telah banyak dikupas mendalam oleh pakar ilmu ekonomi. Konsep ini bisa diartikan sebagai tingkat pengangguran pada titik terendah sebagai dampak atas kestabilan (steady state) perekonomian yang mampu menyerap tenaga kerja secara penuh (full employment).
Namun, sejauh ini belum ada konsensus atau bukti empirik yang mengarah pada angka absolut tertentu. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi dan ditentukan oleh situasi di tiap negara. Beberapa negara secara tradisi mampu mempertahankan TPT di kisaran sangat rendah (1-2 persen), tetapi di negara berkembang umumnya berkisar di 5-6 persen.
Dengan demikian, perlahan tetapi pasti, Indonesia sebenarnya telah mengarah pada tingkat pengangguran alamiah.
Dengan kondisi pemulihan ekonomi yang tampak membaik dan TPT mengarah ke tingkat alamiah, timbul pertanyaan penting: apakah memang kondisi ketenagakerjaan telah mengalami perbaikan?
Hubungan laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran seharusnya bertolak belakang.
Tantangan ketenagakerjaan
Pertanyaan di atas terlihat valid dan logis. Hubungan laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran seharusnya bertolak belakang. Dengan logika ini, masuk akal jika kita mengasumsikan kondisi ketenagakerjaan berada dalam kondisi yang lebih baik. Namun, yang terpenting, apakah logika pikir tadi sudah tepat? Banyak variasi penjelasan, tetapi tulisan ini akan menjelaskan secara ringkas tantangan ketenagakerjaan yang masih besar.
Pertama, TPT sebagai indikator pembangunan perlu dilengkapi pembacaannya dengan indikator penting lainnya. Meskipun TPT cenderung mengarah pada titik alamiah terendahnya, indikator terkait ketenagakerjaan lain masih belum menunjukkan pergerakan yang searah. Sebagai contoh, ukuran produktivitas tenaga kerja menunjukkan angka yang relatif rendah. Sempat mencapai angka tertinggi pada 2011 sebesar 6,95, lalu terus menurun dan berada pada rerata 2,35 selama satu dekade terakhir.
Kedua, proporsi pekerja sektor informal selama tujuh tahun terakhir berada di kisaran 58 persen (sudah menghitung pekerja lepas, gig worker, atau pekerja dalam konsep kemitraan di luar hubungan kerja industrial). Fakta ini menunjukkan kerentanan pekerja sekaligus menjadi salah satu penjelas atas rendahnya penerimaan negara yang bersumber dari pajak penghasilan.
Sektor informal memang menjadi penolong di masa sulit, tetapi dalam jangka menengah perlu segera naik kelas. Perhatian lebih perlu dicurahkan, khususnya pada sektor pertanian yang 88 persen pekerjanya termasuk kategori informal.
Belum membaik
Selain kedua hal di atas, banyak indikator ketenagakerjaan lain yang belum menunjukkan perbaikan. Tingkat setengah pengangguran (under employment) dan tingkat upah rata-rata masih di bawah pencapaian negara tetangga.
Secara anekdotal, kita banyak mendengar kondisi kerja yang belum memenuhi kaidah decent work indicators terbitan Organisasi Buruh Internasional (ILO), termasuk lingkungan kerja yang tidak kondusif secara psikis (toxic work environment). Belum lagi pemenuhan atas pengarusutamaan perspektif kesetaraan jender, disabilitas, dan inklusi sosial-lingkungan.
Masalah ketenagakerjaan juga dilatarbelakangi kondisi mayoritas pekerja (49,4 juta atau 37,7 persen) yang hanya berijazah SD. Tingkat pendidikan yang rendah akan menurunkan daya saing pekerja di tingkat regional ataupun global.
Selain itu, terdapat persoalan mismatch antara kurikulum pendidikan pelatihan vokasi dan tingkat kebekerjaan (employability) ditandai tingginya angka TPT para lulusan SMK (mereka yang paling diharapkan segera memperoleh pekerjaan selepas lulus sekolah) dengan rerata sebesar 11,73 persen kurun tujuh tahun terakhir.
Di sebagian negara maju, diskursus mengenai indikator ketenagakerjaan telah memasuki babak lanjutan yang umumnya terkait dengan tema kualitas hidup (work-life balance) dengan pola kerja baru yang berorientasi pada hasil (work smart) bergeser dari pola kerja keras (work hard) warisan era Revolusi Industri abad ke-20.
Jamak kita dengar kebijakan ketenagakerjaan yang berpihak pada pekerja dan terkesan ”memanjakan”, seperti pemberian hari libur ekstra, pengurangan hari kerja dalam sepekan, cuti dibayar, larangan pemberian tugas di luar waktu kerja, dan aturan progresif lainnya.
Pun demikian, negara maju juga menghadapi persoalan tak kalah peliknya. Belakangan ini kita melihat gejala pekerja yang mengundurkan diri di tengah pandemi (great resignation) di Amerika dan Eropa sehingga berakibat pada kesulitan pengusaha menjalankan bisnisnya. Fenomena yang musykil terjadi di negara berkembang dengan angkatan kerja berlimpah.
Peluang yang menyempit tersebut tetap perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya demi menyongsong masa depan yang lebih cerah.
Indonesia diperkirakan akan kembali menyandang status negara berpendapatan menengah-tinggi dan saat ini tengah memasuki periode puncak bonus demografi. Sayangnya, peningkatan segmen penduduk usia produktif terjadi di tengah tren ekonomi yang semakin kurang padat karya karena ancaman teknologi (otomasi dan robotisasi), serta krisis ekonomi akibat Covid-19.
Peluang yang menyempit tersebut tetap perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya demi menyongsong masa depan yang lebih cerah. Salah satu caranya dengan segera melakukan revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi.
Dharendra Wardhana, Perencana Ahli Madya di Bappenas, Jakarta