Investor Muda dan Fenomena Kasino
Minat masyarakat berinvestasi di pasar modal meningkat tajam tujuh kali lipat dibandingkan dengan tahun 2017. Kontribusi terbesar dalam mendongkrak jumlah investor ini adalah investor muda dari gen Z dan milenial/gen Y.
Di tengah pandemi Covid-19 yang masih mendera perekonomian Indonesia sampai saat ini, pasar modal mampu memberikan kontribusi terhadap perekonomian Indonesia sebagai sumber pendanaan alternatif.
Sepanjang 2021, dana yang dihimpun dunia usaha dari pasar modal mencapai Rp 363,3 triliun atau naik 206 persen dari 2020. Dana ini diperoleh melalui penerbitan saham perdana (initial public offering/IPO), penerbitan umum terbatas (right issue), dan penerbitan surat utang (obligasi).
Menariknya, minat masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal meningkat tajam. Sampai akhir tahun 2021, jumlah investor pasar modal mencapai 7,48 juta single investor identification (SID). Jumlah ini meningkat tujuh kali lipat dibandingkan tahun 2017. Bahkan, tren ini masih berlanjut pada tahun 2022. Pada Januari 2022, jumlah investor bertambah menjadi 7,89 juta SID.
Jika ditelisik lebih jauh, kontribusi terbesar dalam mendongkrak jumlah investor ini adalah investor muda, yaitu mereka yang berusia di bawah 30 tahun (generasi Z) dan berusia 31-40 tahun (milenial/generasi Y). Sampai akhir tahun 2021, total akumulasi aset investor muda ini mencapai Rp 138,4 triliun.
Kontribusi mereka juga turut mendongkrak nilai transaksi rata-rata harian di pasar saham, yang sepanjang tahun 2021 mencapai Rp 13,4 triliun atau naik 45,6 persen dari tahun 2020 yang sebesar Rp 9,2 triliun.
Menariknya, minat masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal meningkat tajam.
Peran media sosial
Apa faktor yang mendorong tingginya minat para investor muda ini untuk berinvestasi di pasar modal? Pertama, makin menciutnya tingkat bunga simpanan (tabungan dan deposito) perbankan sehingga tingkat bunga riil (bunga nominal dikurangi pajak dan inflasi) yang diterima semakin kecil.
Kedua, pesatnya perkembangan media sosial yang kerap dihiasi para pesohor dan influencer (pemengaruh) sembari memamerkan kekayaan dan gaya hidup mewah serta membungkusnya dengan narasi bahwa semua itu diperoleh dari transaksi (trading) di pasar saham.
Bahkan, tidak sedikit dari para pesohor dan pemengaruh ini yang memberikan rekomendasi saham yang diklaim bisa memberikan keuntungan besar dalam waktu singkat.
Baca juga : Investasi Saham Jadi ”Jalan Ninja” bagi Milenial Kala Resesi
Masalahnya, cukup banyak dari para investor muda ini yang menelan begitu saja bualan para pesohor dan pemengaruh tanpa melakukan penelaahan. Ibarat kawanan yang bergerombol (herding) mendengar suara dari sang gembala. Padahal, saham-saham yang direkomendasikan itu belum jelas kondisi fundamentalnya (kinerja usaha dan keuangan serta tata kelolanya).
Kebiasaan bergerombol dari sejumlah investor muda ini memang terjadi. Pertama, kinerja saham-saham berkapitalisasi pasar kecil (non blue chip) yang jauh lebih unggul dibandingkan saham-saham yang berkapitalisasi pasar besar (blue chip). Sepanjang tahun 2021, misalnya, saham-saham berkapitalisasi kecil yang diwakili oleh indeks IDXSMCC tumbuh positif sebesar 26 persen (year on year/yoy). Sementara saham-saham berkapitalisasi besar yang diwakili oleh indeks LQ-45 justru tumbuh negatif sebesar 3 persen (yoy).
Kedua, Bursa Efek Indonesia (BEI) sepanjang 2021 melakukan penghentian perdagangan sementara (suspensi) terhadap 159 saham. Kebanyakan saham itu disuspensi karena lonjakan harga yang sangat tinggi dalam waktu yang singkat, tanpa adanya perubahan kinerja fundamental yang mendasar.
Supriyanto
Terjadinya perilaku herding ini menunjukkan bahwa banyak dari investor muda ini belum dibekali pengetahuan dan literasi yang baik. Jika ini terus terjadi, hal itu tak akan sehat bagi perkembangan pasar modal di masa depan. Pasar modal tak ubahnya seperti kasino. Hanya untuk menjaring keuntungan jangka pendek saja. Padahal, seharusnya pasar modal jadi wadah untuk membangun kesejahteraan dan kebebasan keuangan yang berkesinambungan.
Sudah terbukti bahwa keputusan investasi yang selalu didasarkan pada herding dan bukan pengetahuan dan literasi yang mumpuni kerap memicu kerugian besar. Hal ini terjadi pada awal 2021, ketika para investor muda sangat euforia dengan saham-saham yang direkomendasikan para pesohor dan pemengaruh. Mereka terus memburu saham-saham itu meski harganya sudah sangat tinggi. Benar saja.
Hanya dalam beberapa hari kemudian, harga saham-saham itu berguguran. Memicu kerugian besar. Beritanya menjadi viral di berbagai kanal media sosial. Ada yang kehilangan uang kuliah, bahkan terlilit utang, karena modal investasi ditarik dari utang.
Berbagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan literasi investasi bagi investor muda terus dilakukan oleh otoritas dan semua pemangku kepentingan yang ada, mulai dari memberikan teguran keras kepada para pesohor dan pemengaruh yang memberikan rekomendasi investasi. Sebab, rekomendasi investasi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mendapatkan izin dari otoritas. Menutup kode broker selama jam perdagangan saham untuk meminimalkan herding
Sudah terbukti bahwa keputusan investasi yang selalu didasarkan pada herding dan bukan pengetahuan dan literasi yang mumpuni kerap memicu kerugian besar.
Mengendalikan emosi
Tentu, pengetahuan dan literasi saja tidak cukup agar berhasil di dunia investasi. Hal lain yang juga harus terus dilatih ialah mengendalikan emosi. Salah satu cara melihat investor yang bisa mengendalikan diri ialah ketika ia berhenti membeli ketika banyak orang bergairah membeli, dan ketika ia berani membeli ketika orang terus-menerus menjual.
Harus diakui bahwa banyak herding dari para investor muda ini gagal mengendalikan emosi ini. Hal ini terlihat dari herding dan euforia yang berlebihan. Juga kerap mengidap apa yang disebut dengan fear of missing out (FOMO). Takut ketinggalan ketika banyak orang sedang memburu saham yang sedang hype.
Itu sebabnya, Benjamin Graham, mahaguru investor nilai (value investing), mengatakan, musuh terbesar investor dalam dunia investasi ialah emosinya. Ketidakmampuan mengendalikan emosi kerap membuat investor terjungkal. Bahkan yang paling jenius sekalipun.
Ketidakmampuan dalam mengendalikan emosi ini pernah dialami Sir Issac Newton, fisikawan jenius penemu teori gravitasi itu. Pada 1720, dengan kalkulasi matematikanya yang hebat, dia mendapatkan keuntungan besar dari investasi di saham Sea South Company. Namun, karena ia melihat harga sahamnya masih terus melonjak naik, akhirnya emosinya terpantik.
Baca juga Generasi Z Bermain Saham
Dia pun terjebak dalam euforia. Dia menggandakan modalnya. Namun, bukan keuntungan yang diperoleh, sebaliknya kebuntungan besar, karena harga saham anjlok sangat dalam. Pengalaman pahit itu membuat Newton menarik pelajaran berharga dengan berkata bahwa dirinya bisa menghitung dan memperkirakan pergerakan benda-benda langit, tetapi tidak bisa memperkirakan kegilaan orang. Euforia yang berlebihan itulah yang ia sebut dengan kegilaan.
Pelajaran dari Newton itulah yang kerap menjadi anekdot di dunia investasi ketika banyak orang yang mengalami kerugian besar karena tak bisa mengendalikan emosinya. Yang hanya selalu mengharapkan keuntungan besar dan cepat tanpa pernah memperhitungkan risiko di baliknya.
Bukankah hal ini juga yang kerap membuat korban investasi bodong berjatuhan setiap tahunnya?
Oleh sebab itu, di tengah tingginya minat investor muda untuk berinvestasi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan finansialnya, investor muda perlu memperlengkapi diri dengan pengetahuan dan literasi serta melatih diri untuk mengendalikan emosi.
Jika itu dilakukan dengan baik, niscaya kesejahteraan finansial itu bisa dinikmati secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Jadilah investor cerdas yang tidak hanya mengikut arus. Selamat berinvestasi.
Desmon Silitonga, Riset Analis PT Capital Asset Management dan Alumnus Pascasarjana FEB UI