Secara umum, praktik pertanian belum menerapkan ekonomi hijau. Perguruan tinggi pertanian dapat memelopori pengembangan pertanian hijau, dan punya bukti empiris untuk ini.
Oleh
ACENG HIDAYAT
·7 menit baca
Jauh sebelum istilah ekonomi hijau (green economics) mengemuka, para ekonom telah lama mengenal konsep ekonomi lingkungan (environmental economics). Adalah Prof LC Gray dan Prof H Hotelling yang dianggap sebagai peletak dasar teorinya pada awal abad ke-20. Di Indonesia, ekonomi lingkungan sudah mulai diajarkan di perguruan tinggi, antara lain, di UI, ITB, UGM, dan IPB pada akhir 1980-an. Pada tahun 2005, IPB University memberanikan diri membuka Program Studi S-1 Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, dilanjutkan dengan program S-2-nya pada 2007.
Saya mengenal ekonomi lingkungan tahun 1994 pada saat mengambil S-2 di Teknik Lingkungan ITB. Adalah Prof Surna Tjahja Djajadiningrat (Prof Naja, alm), dosen Teknik Industri ITB, alumni Hawaii University, yang memperkenalkannya. Ia mengasuh mata kuliah ekonomi lingkungan dan neraca sumber daya. Perkenalan dengan Prof Naja, sekaligus sebagai dosen pembimbing tesis, telah menghantarkan saya mendalami ekonomi sumber daya dan lingkungan pada program doktor di Humbolt University, Jerman, dan lulus tahun 2005.
Secara konsep, ekonomi lingkungan adalah ilmu ekonomi yang mempertimbangkan nilai lingkungan dan sumber daya alam pada sistem perekonomian. Hal ini disebabkan ekonomi konvensional hanya memfungsikan lingkungan dan sumber daya alam sebagai input pada proes pembangunan. Sementara itu, residunya berupa limbah dan sampah yang menggerus jasa lingkungan; dan deplesi sumber daya alam dianggap sebagai risiko pembangunan; serta berada di luar sistem ekonomi dan pasar. Itulah sebabnya, ia disebut eksternalitas. Tentu saja, hal ini dalam jangka panjang dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat. Baik masyarakat yang terdampak langsung maupun masyarakat pada umumnya.
Dalam posisinya sebagai alat bantu pengambilan kebijakan, ekonomi lingkungan memperkenalkan tiga instrumen penting, yakni valuasi ekonomi, neraca sumber daya, dan analisis biaya manfaat. Valuasi lingkungan adalah alat untuk menilai (monetizing) sumber daya alam, jasa, dan kerusakan lingkungan. Neraca sumber daya alam merupakan alat untuk mencatat sumber daya alam antara yang sudah dimanfaatkan dan cadangan yang masih tersisa. Sementara analisis biaya manfaat digunakan untuk memilih beberapa alternatif proyek dengan mempertimbangkan manfaat ekonomi dan biayanya. Biaya termasuk nilai deplesi cadangan SDA dan kerusakan lingkungan.
Namun, sayang, pada tataran praktis instrumen kebijakan tadi sulit diimplementasikan. Sebab, selain sangat teoritis dan penuh dengan pendekatan-pendekatan matematika dan modelling juga dihadapkan pada kesulitan mendapatkan data presisi yang diperlukan dalam menjalankan metode dan model-model tadi. Itulah sebabnya, awal tahun 2000-an, UNEP (Program Lingkungan PBB) memperkenalkan konsep ekonomi hijau yang dianggap lebih user friendly, sederhana, mudah dipahami dan dilaksanakan. Lalu, apa itu ekonomi hijau?
Ekonomi hijau
Ekonomi hijau adalah konsep ekonomi ramah lingkungan. Dalam pengertian, hemat energi, rendah karbon, tidak merusak lingkungan, dan hemat sumber daya. Ekonomi hijau ini mendapatkan momentum pada saat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkenalkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGS) pada 2015. SDGs merupakan sebuah ikhtiar bersama komunitas global untuk membatasi laju pemanasan pemanasan global dengan cara menekan emisi karbon, mengonservasi energi, meningkatkan efisiensi penggunaaan sumber daya alam, dan lain-lain.
Untuk itu, PBB meminta komitmen negara-negara di dunia untuk mencapai ke 17 SDGs tadi pada 2030. Kemudian negara-negara tadi membuat rencana aksi nasional pengurangan emisi dengan melibatkan segenap pemangku kepentingan. Baik lembaga publik, sosial, maupun swasta. Tidak boleh ada yang tidak berperan. Selain itu, pemerintah juga menekan setiap sektor pembangunan untuk kreatif mencari solusi menyeimbangkan antara kepentingan pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat. Konsep ekonom hijau diharapkan dapat diadopsi sebagai instrumen kebijakannya.
Ekonomi hijau adalah konsep ekonomi ramah lingkungan. Dalam pengertian, hemat energi, rendah karbon, tidak merusak lingkungan, dan hemat sumber daya.
Pada 22-23 Februari 2022, Indonesia menggelar Green Outlook 2022 (Kompas, 27/2/2022). Dalam pergelaran tersebut dibahas arah kebijakan Indonesia dan tantangan dalam mewujudkan green economy. Hadir dalam perhelatan itu Menteri Keuangan Sri Mulyani, Ketua Dewan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto.
Perhelatan tersebut, antara lain, membahas peta jalan realisasi ekonomi hijau di Indonesia tahun 2021-2025 di sektor keuangan. Impelementasi ekonomi hijau pada sektor keuangan dipastikan akan menjalarkan daya paksa pada sektor-sektor lain. Untuk itu, tulisan ini mencoba mengetengahkan bagaimana pelaksanaan konsep ekonomi hijau di sektor pertanian. Dan bagaimana pula kampus pertanian dapat menjadi row model dalam pelaksanaannya.
Pertanian hijau
Seperti disebutkan di atas, pada tataran praktis ekonomi hijau minimal memerlukan tiga kriteria, yaitu rendah emisi, hemat sumber daya, dan tidak mencemari. Pun demikian, penerapan ekonomi hijau di sektor pertanian mesti mengacu pada ketiga kriteria ini. Pertama, praktik pertanian saat ini pascarevolusi hijau menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar.
Dari mana emisi karbon dihasilkan? Dari bahan bakar peralatan mesin-mesin pertanian (alsintan) pada kegiatan pengolahan lahan. Kita sama-sama mafhum alsintan masih menggunakan bahan bakar solar. Maka itu, pertanian hijau membutuhkan alsintan yang bebas bahan bakar tersebut. Di sinilah perguruan tinggi keteknikan pertanian dan pusat-pusat penelitian tepat guna diharapkan dapat berperan.
Kedua, praktik pertanian dewasa ini juga sangat bergantung pada pupuk dan obat-obatan kimia. Kita juga tahu bahwa bahan-bahan tersebut merupakan senyawa kimia mengandung nitrogen yang pada saat penggunaan membebaskan unsur nutrigennya ke lingkungan. Kita juga sama-sama paham nitrogen merupakan salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global.
Di luar itu, penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia menyebabkan pencemaran lingkungan dan pemiskinan unsur hara tanah. Menyebabkan lingkungan yang tidak sehat dan tanah memiliki ketergantungan tinggi pada pupuk. Imbasnya, proses produksi pertanian memerlukan biaya tinggi yang sangat memberatkan petani. Juga dihasilkan produk pertanian yang tercemar yang berimbas pada penurunan kesehatan masyarakat.
Pertanian hijau mesti terbebas dari bahan-bahan kimia ini dengan cara mencari inovasi pengganti bahan-bahan kimia tadi dengan bahan-bahan organik.
Untuk itu, pertanian hijau mesti terbebas dari bahan-bahan kimia ini dengan cara mencari inovasi pengganti bahan-bahan kimia tadi dengan bahan-bahan organik. Inovasi di bidang ini telah banyak ditemukan, baik oleh perguruan tinggi, para praktisi, maupun lembaga penelitian.
IPB University telah lama menemukan inovasi penggunaan jerami pada proses penanaman padi. Inovasi ini dipastikan dapat memulihkan kondisi kesuburan lahan sawah dalam tiga tahun. Setetah itu, petani terbebas dari ketergantungan pada input pupuk eksternal. Selain itu, ragam inovasi pembasmi hama, penyakit, dan pengendalian guma telah banyak pula ditemukan. Petani Muda Keren Desa Gobleg, Buleleng Bali, telah menemukan ini dan telah pula menerapkannya. Dampaknya luar biasa dalam menekan biaya produksi dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Ketiga, praktik pertanian saat ini juga sangat tidak efisien alias boros sumber daya. Mengapa boros sumber daya? Sebab, banyak meterial, terutama dari sisa-sisa produksi yang terbuang ke lingkungan tanpa termanfaatkan. Padahal, residu pertanian tersebut mengandung bahan organik yang sangat bernilai tinggi dan diperlukan dalam proses produksi. Untuk itu, para pakar pertanian ekologis telah lama memperkenalkan konsep pertanian terpadu. Minimal memadukan antara pertanian dan peternakan.
Prof Muguel Altieri, Guru Besar Agroekologi dari University of California, Berkeley, telah menerbitkan banyak buku dan publikasi lainnya mengenai hal ini. Ia melakukan riset di berbagai dunia, dan berkesimpulan bahwa pertanian terpadu sangat efisien, dapat memulihkan kondisi tanah dan lingkungan pada konbisi alami, serta dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Hal ini pula sejalan dengan konsep revolusi sebatang jerami yang telah lama diimplementasikan para petani Jepang. Belakangan, konsep ini selaras dengan konsep ekonomi sirkular (cyrcular economy), yakni suatu konsep ekonomi yang mengupayakan dalam setiap proses produksi tidak ada materi yang keluar; dan materi selama mungkin berada dalam siklus sehingga pemanfaatannya maksimal.
Konsep pertanian terpadu yang selaras dengan konsep ekonomi sirkular tadi telah banyak diterapkan oleh komunitas petani, seperti petani Desa Gobleg, Buleleng Bali; Komunitas Bumi Langit Yogyakarta; dan lain-lain. Praktik ini sejatinya juga diterapkan di perguruan tinggi pertanian dan menjadikannya sebagai row model pertanian terpadu.
Sejatinya, perguruan tinggi pertanian dapat menjadi pelopor dalam pengembangan pertanian hijau yang sejalan dengan konsep ekonomi hijau yang saat ini sedang menemukan momentumnya seiring dengan target pencapaian SDGs. Perguruan tinggi pertanian mesti punya bukti empiris (evidence) soal ini. Kata anak-anak milenial ”no evidence, hoax”.
Aceng Hidayat, Sekretaris Institut/Kepala Kantor Manajemen Risiko serta Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM IPB University