Ukraina dan Masa Depan Perang
Mungkinkah sebuah pranata dunia baru di mana berbagai peradaban dunia bisa dengan nyaman hidup berdampingan, mengayakan, dan saling meminjam demi masa depan kemanusiaan yang lebih berdaulat dan bermartabat?
Terhitung sejak 24 Februari 2022, Rusia menginvasi Ukrania, sebuah negara merdeka demokratis. Invasi ini menelan korban, baik dari sisi kombatan maupun warga sipil tak berdosa. Presiden Rusia Vladimir Putin akan diingat sejarah sebagai sosok yang paling bertanggung jawab atas invasi ini.
Penting dicatat, faktor sejarah, kepentingan ekonomi dan geopolitik selalu bermain ketika negara besar terlibat dalam sebuah konfrontasi militer seperti terjadi di Ukraina sekarang ini.
Banyak pakar yang berusaha menjelaskan kenapa invasi ini terjadi dari berbagai sudut pandang, termasuk apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegah agar invasi militer negara besar kepada negara yang lebih kecil tak terjadi. Misalnya, apakah invasi Rusia ini akan menjadi ”inspirasi” China untuk melakukan hal serupa atas Taiwan?
Melupakan aspek maskulinitas dalam memahami perang itu sangatlah fatal karena mayoritas aktor yang terlibat dalam perang adalah para lelaki.
Jender dan hubungan internasional
Dalam konteks ini, salah satu pisau analisis yang selalu terlupakan dalam membedah fenomena hubungan international ini adalah bagaimana peran dinamika jender, terutama aspek maskulinitas. Maskulinitas di sini bukan berarti biologis, tetapi sebuah konstruksi sosial tentang bagaimana menjadi seseorang lelaki, terutama harapan sosial dalam sebuah konteks ruang, waktu, dan kelompok sosial tertentu, termasuk ketika perang berkecamuk di dunia.
Melupakan aspek maskulinitas dalam memahami perang itu sangatlah fatal karena mayoritas aktor yang terlibat dalam perang adalah para lelaki. Dengan demikian, ada sebuah ungkapan populer di kalangan feminis yang mengkaji perang: Men made war and war made men–lelaki menciptakan perang dan perang mencetak lelaki.
Ungkapan ini tentu tak mengandaikan semua lelaki di dunia secara alamiah lebih mencintai kekerasaan dibandingkan perempuan. Ada banyak lelaki yang dikenal di politik internasional yang anti-kekerasaan. Mahatma Gandhi (India), Desmond Tutu dan Nelson Mandela (Afrika Selatan) contohnya.
Baca juga: Invasi Rusia ke Ukraina dan Kebangkitan ”Great Power”
Sementara Margaret Thacher (perdana menteri/PM perempuan Inggris) lebih pilih perang dalam menyelesaikan sengketa Kepulauan Falkland dengan Argentina. Juga Golda Meir (PM perempuan pertama Israel) yang memimpin Operation Wrath of God, operasi pembunuhan rahasia Mossad untuk balas dendam atas penculikan dan pembunuhan 11 atlet Israel pada Olimpiade Muenchen, September 1972.
Maskulinitas ”toxic” vs maskulinitas alternatif
Lalu, apa manfaat menggunakan pisau analisis maskulinitas dalam membaca perang Ukraina? Ada tiga alasan utama. Pertama, adanya ”perang” konstruksi maskulinitas di antara dua presiden negara yang sedang berperang saat ini. Putin selalu mencitrakan diri sebagai sosok yang lelaki ”macho”. Ia gemar bela diri, mengoleksi senjata, anti-feminisme dan LGBT.
Melalui bantuan media, maskulinitas ala Putin yang cenderung toxic ini tersebar di seluruh dunia. Menariknya, tak sedikit ”penggemar’” lelaki maupun perempuan. Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pun terkesima. Tanpa malu, ia memuji invasi Putin ke Ukrania sebagai tindakan ”genius”. Di Indonesia pun ada.
Sementara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menawarkan ”maskulinitas alternatif” yang sangat jauh berbeda dari Putin. Melalui media sosial, ia pun pamer kedekatan dirinya dengan istri dan kedua anaknya. Seolah ingin berbicara kepada dunia, keluarga itu bagian penting dari sosok lelaki. Ia pun tak risi dengan hobi yang jauh dari ciri lelaki ”macho”: berdansa.
Namun, mantan komika Yahudi ini tak melarikan diri keluar dari negaranya saat diserang. Tak seperti mantan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani yang kabur ketika Taliban masuk Kabul. Melalui Zelenskyy, dunia seperti menyaksikan sosok ”David” yang melawan ”Goliath”.
Maskulinitas militeristik
Kedua, dengan memakai analisis maskulinitas, terutama militarised masculinity (maskulinitas militeristik)—yang mengandaikan adanya irisan antara kegalauan ”menjadi lelaki” (being a man) dan keterlibatan mereka dalam organisasi militer atau kelompok bersenjata— kita akan melihat adanya lelaki dan kelompok tertentu di dunia ini dengan cara pandang militeristik.
Mereka yakin, jadi maskulin bagi lelaki itu harus kuat dan siap melindungi kaum lemah. Ini konsep umum yang diamini banyak orang. Kelompok ini menginternalisasi konsep bahwa ”perang adalah panggung yang sempurna untuk pembuktian kelelakian mereka”. Ibarat ”semut”, mereka akan selalu mencari di mana ada ”gula”. Batas negara menjadi tidak penting bagi para ”semut” ini.
Militarised masculinity ini bukan konsep imajinatif dan abstrak. Sejarah mencatat, hampir setiap konflik atau perang di dunia ini adalah ”gula” yang akan selalu menarik ”semut” para lelaki dan kelompok ini. Fenomena inilah yang dalam kajian hubungan internasional disebut foreign fighters, kombatan asing atau ”orang-orang yang terlibat dalam sebuah konflik di luar negara mereka”.
Militarised masculinity ini bukan konsep imajinatif dan abstrak. Sejarah mencatat, hampir setiap konflik atau perang di dunia ini adalah ’gula’ yang akan selalu menarik ’semut’ para lelaki dan kelompok ini.
Salah satu contohnya, fenomena commintern (komunis internasional) yang mampu menggerakkan ribuan kombatan asing dari seluruh belahan negara, termasuk sastrawan Inggris, George Orwell, dan mantan Menteri Kebudayaan Perancis Andrew Malraux. Di berbagai kesempatan, mereka bangga menceritakan keterlibatan mereka sebagai ”kombatan asing” di Spanyol dalam upaya melawan fasisme.
Konflik di Afghanistan 1980-an jadi ”gula” bagi ribuan ”semut” aktivis Islam global termasuk 350 dari Indonesia. Barangkali karena paham akan adanya komunitas ”semut” inilah, Presiden Ukraina mengundang para kombatan asing dari seluruh dunia untuk jadi bagian dari international legion. Mereka diharapkan bisa membela kedaulatan Ukrania. Ajakan ini diunduh di akun Twitter resmi Kementerian Pertahanan Ukrania, @DefenceU, 28 Februari.
Dari cuitan Twitter ini, media Inggris, Reuters melaporkan ada 70-an warga Jepang telah berada di Ukraina dan ribuan anggota white supremacy lain dari Eropa dan Amerika akan segera bergabung. Karena rata-rata mereka kulit putih dan tak membawa bendera Islam, media tak menyebut mereka ”teroris”.
Bukan pemain tunggal
Ketiga, konsep militarised masculinity ini bisa pula membantu kita menerka arah masa depan perang. Yaitu dengan kian melemahnya conventional war (perang tradisional). Tak diketahui pasti kapan cerita ”perang tradisional” ini dimulai. Sean Mc Fate dalam buku The New Rules of War (2019) menyebut lahirnya Treaty Westphalia pada 1648 sebagai awal ”perang tradisional” ini. Melalui perjanjian ini, muncul international order (aturan internasional) dalam perang dengan menjadikan negara sebagai pemain tunggal yang diatur dengan hukum internasional seperti ”The Hague” dan ”Geneva Conventions”.
Sebelum adanya perjanjian ini, Eropa adalah benua tanpa aturan. Orang yang berduit bisa memulai perang. Raja, bangsawan; bahkan pope, pimpinan agama Katolik, bisa menyewa mercenaries, tentara bayaran untuk berperang. Namun, perjanjian Westphalia ini mulai sekarat. Peran negara melemah.
The Fragile State Index, lembaga internasional yang mengeluarkan laporan tahunan, meranking 178 negara berdasarkan kelemahan negara dengan pendekatan sosial ini, mengingatkan pada 2020 bahwa hampir 70 persen dari 178 negara di dunia ini adalahfragile atau lemah.
Baca juga: Militer Rusia Menghadapi Kekuatan Ukraina dan NATO
Di urutan ketiga teratas negara paling lemah: Yaman, Somalia, dan Sudan Selatan. Indonesia urutan ke-96, di bawah Tunisia dan di atas Peru. Ukrania ke-92 dan Rusia ke-76. Negara Skandinavia, Finlandia (178) dan Swedia (177) paling stabil. Ironisnya, tren melemahnya peran negara ini makin menguat.
Mendorong analisis maskulinitas dalam membaca konflik internasional ini bukan dimaksudkan untuk mengganti negara sebagai the best unit of analyst (unit analisis terbaik) dalam hubungan internasional. Namun, ini lebih sebagai pengingat para pemangku kebijakan negara di tingkat nasional, regional, dan global bahwa ada ”semut”, termasuk para tentara bayaran, yang akan selalu mencari ”gula” di mana pun adanya.
Narasi yang bergulir di kalangan ”semut” ini sangat beragam. Salah jika mengira ”semut” hanya ada di kalangan Islam. Narasi tunggal berbasis ideologi agama yang selama ini kita pegang seperti ”Islam vs Barat” sangatlah berbahaya karena bisa menciutkan kita untuk bertanya. Misalnya: Bagaimana masa depan perang jika para kombatan asing ini kembali ke negara asal mereka?
Narasi tunggal berbasis ideologi agama yang selama ini kita pegang seperti ’Islam vs Barat’ sangatlah berbahaya karena bisa menciutkan kita untuk bertanya.
Akankah mereka jadi agen baru konflik di negara mereka? Inikah tanda dari tergerusnya hegemoni Barat dengan naiknya kekuatan non-Barat seperti Rusia, China, dan India? Mungkinkah sebuah pranata dunia baru (new world order) di mana berbagai peradaban dunia (Barat salah satunya) bisa dengan nyaman hidup berdampingan, mengayakan, dan saling meminjam demi masa depan kemanusiaan yang lebih berdaulat dan bermartabat? Kontribusi apa yang Indonesia akan tawarkan jika pranata baru ini benar-benar terjadi?
Noor Huda Ismail, Visiting Fellow RSIS, NTU Singapura