Invasi Rusia ke Ukraina dan Kebangkitan ”Great Power”
Invasi Rusia ke Ukraina merupakan langkah politik yang diambil Putin untuk menunjukkan kepada dunia akan kebangkitan ”great power” Rusia.
Oleh
AHMAD SAHIDE
·4 menit baca
Runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an yang juga menandai berakhirnya Perang Dingin dilihat oleh Francis Fukuyama sebagai akhir dari perang ideologi global. Seturut Fukuyama, tidak ada lagi ideologi yang mampu menyaingi ideologi kapitalisme global di bawah pimpinan Amerika Serikat (AS). Rusia, negara yang tersisa dan lahir dari puing-puing reruntuhan Uni Soviet, dinyinyiri oleh negara-negara Barat dengan julukan the sick man of Europe. Rusia di mata Barat telah mengalami kemunduran dari kiprahnya di panggung politik internasional.
Rusia adalah ahli waris resmi dari Uni Soviet pasca-keruntuhannya, maka hubungan atau politik luar negeri Rusia terhadap Amerika tidak bisa terlepas dari sejarah persaingan perebutan pengaruh dari keduanya yang berlangsung pada era Perang Dingin yang mana Amerika keluar sebagai pemenangnya. Rusia tetap saja menyimpan dendam sejarah terhadap Amerika yang memecundanginya tersebut. Dan Rusia, di bawah Presiden Vladimir Putin yang menjabat pada 2000-2008 serta 2012-2024, kemudian terlihat perlahan mulai merangkak bangkit untuk merebut kembali status great power di kancah politik dunia, menantang hegemoni Barat.
”Russia has a youthful and dynamic leader who is focused, dedicated to consolidating Russia’s recovery as great power, and who enjoys a level of personal popularity among his citizens that makes him the envy of most other leader on either side of the Atlantic,” demikian dituliskan oleh Leichtova terkait dengan ambisi Putin untuk mengembalikan status Rusia sebagai great power. Putin kemudian kerap kali mengambil kebijakan politik luar negerinya yang hendak menunjukkan kepada dunia akan kembalinya kekuatan politik Rusia.
Politik luar negeri Rusia yang ingin menunjukkan kekuatan politiknya di kancah global dapat kita lihat dalam kasus Edward Snowden, pria kelahiran 21 Juni 1983 yang juga mantan anggota Badan Pusat Intelijen AS (CIA). Snowden membocorkan dokumen rahasia penting Amerika pada 6 Juni 2013. Snowden kemudian menjadi buronan AS yang tentu saja membahayakan keselamatan dirinya.
Snowden kemudian mencari suaka politik ke beberapa negara, seperti Perancis, German, Irlandia, Ekuador, China, Kuba, Brasil, India, Norwegia, Polandia, dan Rusia. Dari beberapa negara yang dimintai suaka politik tersebut, hanya Presiden Rusia Vladimir Putin yang berani menerima permintaan Snowden. Negara-negara lainnya menolak karena takut akan konsekuensi politik dari Amerika Serikat. Setelah Snowden berada di Rusia, Presiden Amerika Serikat kala itu, Barack Obama, meminta ekstradisi Snowden kembali ke AS, tetapi permintaan ini tidak dikabulkan oleh Putin.
PHOTO BY THE GUARDIAN VIA GETTY IMAGES
Dalam foto yang disediakan The Guardian ini, Edward Snowden berbicara dalam wawancara di Hong Kong, 2013. Snowden mengungkapkan ke wartawan tentang program pengawasan warga negara Amerika Serikat (AS) secara rahasia oleh Badan Keamanan Nasional AS. Akibat tindakan itu, Snowden menjadi buron Pemerintah AS.
Tentu saja hal ini mengganggu hubungan kedua negara, tetapi ini juga menjadi momentum politik bagi Putin untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Rusia telah kembali menjadi negara great power, yang hilang pasca-Perang Dingin berakhir. Rusia berani mengambil langkah berseberangan dengan Amerika, baik dalam kasus Snowden maupun dalam isu-isu global lain, seperti yang dilakukannya pada konflik Suriah dan Iran di kawasan Timur Tengah.
Bahkan, Putin berani ”ikut campur” pada pemilihan presiden Amerika pada 2016 yang memenangkan Donald Trump, kandidat yang dikenal mempunyai kedekatan hubungan dengan Putin. Obama, sebagai presiden kala itu, kembali marah besar dengan mengusir diplomat Rusia dari Washington.
Pada 2014, Rusia mencaplok Crimea dari Ukraina. Dunia internasional, terutama Amerika, gencar mendiskreditkan Rusia dengan kasus ini. Meski demikian, Putin tidak terpengaruh dengan upaya Amerika untuk mengisolasi dari kancah politik global. Kini, pada awal tahun 2022, tepatnya sejak 24 Februari, Rusia kembali menyerang Ukraina yang mana salah satu penyebab utamanya adalah karena Barat, terutama Amerika, mengusik keamanan Rusia dengan berupaya mengajak Ukraina, salah satu negara yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet, bergabung dalam keanggotaan NATO.
Langkah politik yang diambil oleh Putin ini kembali menunjukkan kepada dunia akan kebangkitan great power Rusia, negara yang pernah dijuluki the sick man of Europe. Kini, Putin tidak lagi hanya menunjukkan sikap politik yang berbeda dengan Amerika untuk pertunjukan kebangkitan kekuatan politiknya. Putin bahkan berani mengambil langkah militer sekalipun harus berhadapan dengan Amerika. Itulah yang sedang dilakukan Putin dalam serangannya terhadap Ukraina.
Keengganan Amerika untuk terlibat langsung dalam kasus penyerangan ini untuk menghentikan Putin adalah bukti kembalinya great power Rusia di kancah politik global. Ini juga pertanda bahwa kekuatan hegemonik Amerika sedang tergerus dan mengalami krisis legitimasi politik.
Ahmad Sahide, Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta