Sering kali kita terlalu sulit untuk menemukan jawaban komprehensif terhadap fenomena absurd yang terjadi di sekeliling kita. Buku kumpulan tulisan hasil kajian budaya ini berupaya mengajak pembaca memahami fenomena itu.
Oleh
ARIS SETIAWAN
·5 menit baca
Sering kali kita terlalu sulit untuk menemukan jawaban komprehensif terhadap fenomena absurd yang terjadi di sekeliling kita. Fenomena itu hadir di luar norma kebudayaan kita, bahkan lebih jauh lagi di luar logika yang selama ini kita yakini. Contohnya, kita tidak pernah menduga bahwa ukuran maskulinitas laki-laki akhir-akhir ini terdistorsi secara besar-besaran sejak ”pria-pria cantik” dari Korea tampil dengan lenggak-lenggok tubuh di atas panggung atau yang lebih akrab kita panggil Boy-Band dan K-Pop.
Sejak ratusan tahun silam kita senantiasa disuguhkan citra lelaki yang terus terlukiskan lewat keringat, darah, perang, atletis, kekar, garang, senjata, dan segala hal tentang otot. Hal itu diperkuat dengan pengaruh yang terus diberikan lewat berbagai kanal budaya pop, seperti film Hollywood, sebut saja tokoh-tokohnya semacam Hercules, Rambo, James Bond, Superman, Hulk, Thor, dan Captain Amerika. Mereka dianggap representasi yang mampu mewakili citra laki-laki ideal di muka bumi.
Tetapi, citra itu kini semakin tertepikan. Terutama di wilayah Asia, ukuran laki-laki sempurna itu kini harus berkulit mulus, wajah tirus dengan dagu membentuk huruf ”V”, rambut berponi dan berwarna, memakai baju berwarna-warni (bahkan di antaranya adalah pink atau merah muda), berbadan ramping, memakai bandana, dan segala hal yang selama ini justru identik dengan kuasa kecantikan kaum perempuan. Itulah makna ketampanan mutakhir yang dibawa dari budaya K-Pop.
Itulah makna ketampanan mutakhir yang dibawa dari budaya K-Pop.
Terkesan absurd memang, dan tampaknya kita terlalu sulit menemukan logika dasarnya, kenapa hal tersebut dapat terjadi, bahkan cenderung masif dengan banyaknya fans yang meniru melakukan hal serupa, tidak terkecuali di Indonesia. Buku berjudul Dari K-Pop Hingga Mi Instan: Esai-esai Kajian Budaya Pop, Media Sosial, dan Ruang Urban ini dapat memberikan jawaban yang gamblang.
Buku ini adalah kumpulan esai yang ditulis oleh para mahasiswa di Program Doktoral Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM. Dieditori oleh Budiawan (yang juga seorang dosen di departemen itu), buku ini cukup menarik untuk dicermati lebih jauh. Terdiri dari delapan esai, yang hampir semuanya mengambil tema-tema sederhana tetapi dikupas dengan pendekatan kajian budaya (cultural studies), sehingga dari yang sederhana itu menampakkan kompleksitas lapis-lapis wacana yang menyenangkan untuk diikuti.
Esai dari Zulfatun Mahmudah, misalnya, membicarakan tentang soft masculinity atau maskulinitas yang lembut. Disebutkan bahwa lewat K-Pop, soft masculinity lahir sebagai identitas baru. Akibat dari hal itu, ada kewajaran-kewajaran yang ditimbulkan untuk perilaku seorang laki-laki, misal memakai polesan make-up, seperti lipstik dan eyeshadow, anting, kalung, bahkan bunga untuk riasan kepala. Perilaku tersebut hari ini diterima tanpa resistensi, bahkan pada banyak fenomena, generasi laki-laki milenial rela untuk ”mendandani” tubuh dan wajahnya agar semirip mungkin dengan idola K-Popnya.
Fenomena itu mengajak kita untuk kembali mencermati bahwa jender adalah tentang performance (baca konsep performativity Judith Butler), atau apa yang dicitrakan, bukan apa yang sepenuhnya melekat pada tubuh yang ditentukan berdasarkan alat kelamin. Hal tersebut juga sejalan dengan esai yang ditulis oleh Puji Rianto tentang ”Hijab, Musik Rock, dan Negoisasi Identitas”. Puji mengamati sosok Youtuber bernama Siti Melani Sumartini, gadis berjilbab asal Garut, Jawa Barat, yang terkenal gara-gara kemampuan musikalnya bermain gitar dalam meng-cover lagu-lagu bergenre rock-metal.
Yang cukup menjadi perhatian, hasil cover itu ditonton oleh jutaan orang dan (ini yang cukup spesial) mendapat pujian dari vokalis Metallica, James Hetfield. Terlepas dari itu, fokus utama kajian Puji Rianto adalah tentang hijab yang selama ini diidentikkan sebagai perlambang kesalehan sosial perempuan (atau ingin terlihat saleh) sehingga menempatkan konstruksi tubuh dalam wacana yang ”sudah ditata” berdasarkan norma-norma dogmatis keagamaan.
Agaknya, fenomena Siti Melani (lebih akrab dipanggil Mel), sedikit banyak menabrak batas-batas itu, terutama saat ia yang berjilbab memainkan genre musik metal yang identik dengan dunia kaum Adam. Walaupun pemakaian hijab tidak semata-mata dibaca dalam maknanya yang tunggal, tetapi perempuan dengan kesadaran diri memutuskan untuk berhijab berarti ia telah sepenuhnya mengetahui tentang identitas atas tubuhnya.
Yang cukup menjadi perhatian, hasil cover itu ditonton oleh jutaan orang dan (ini yang cukup spesial) mendapat pujian dari vokalis Metallica, James Hetfield.
Identitas itulah yang kemudian dibaca dalam bingkai; sejauh apa pun perilaku perempuan, hijab yang dipakainya akan menjadi muara untuk terus didiskusikan. Oleh karena itu, banyak kita jumpai perempuan dihujat karena kesalahan atau kekeliruannya kemudian disangkutpautkan dengan dirinya yang berhijab. Seolah-olah hijab menjadi pembatas, kontrol sosial, sekaligus tolok ukur tentang perilaku perempuan.
Pada konteks yang demikian apa yang dilakukan Mel menjadi fenomena ganjil, mengingat ia memainkan musik rock-metal, tetapi dalam suasana kekudusan religius yang total. Musik cadas itu berisi dinamika yang mengentak, keras, melengking, bahkan noise, sementara kuasa identitas yang dibangun dari perempuan berhijab adalah santun, kalem, dan tentu lembut.
Kontradiksi yang hampir serupa dapat dijumpai pula dari esai karya Nirwansyah Putra berjudul ”Peci dan Dasi, Refleksi Menggugat Indonesia”. Esai itu berupaya mempertanyakan kembali tentang entitas keaslian peci dan dasi sebagai simbol identitas ”kostum keindonesiaan”. Peci dan dasi adalah dua episentrum yang bertolak belakang. Mereka dipakai berbarengan dengan jas, celana, dan sepatu. Menjadi baju formal, tetapi dari yang formal itu sejatinya dibentuk dari pertentangan-pertentangan. Bagaimana mungkin dasi (jas, celana, sepatu) itu harus dilengkapi dengan peci?
Dalam struktur berbusana orang Eropa, hal itu tak dijumpai. Apabila dibaca lebih jauh, peci (begitu juga dengan sarung) adalah wujud pertentangan kaum Bumiputra dalam menentang kolonialisme lewat busana. Bagi kaum Bumiputra, berpikir ala intelektualitas Eropa itu penting, disimbolkan dengan memakai dasi, jas, dan sepatu. Namun, mereka harus tetap membumi, yakni dengan berpeci. Sama seperti ketika priayi Jawa memadukan antara jas dan jarik atau kalangan Nahdlatul Ulama memadukan jas dan sarung. Jas adalah simbol berpikir moderat ala Barat, tetapi jarik dan sarung mengikat dirinya dengan lokalitas yang ada.
Buku ini layak menjadi koleksi bacaan bermutu. Karena ditulis oleh kalangan mahasiswa yang sedang menempuh studi doktoral, maka bahasan yang disajikan berasa sangat akademis, dengan sajian konsep dan teori di sana-sini. Dengan demikian, segmentasi buku ini tentulah untuk kalangan terbatas walau tidak menutup kemungkinan masyarakat umum juga dapat menikmatinya.
Aris Setiawan Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta
Judul buku : Dari K-Pop Hingga Mi Instan: Esai-esai Kajian Budaya Pop, Media Sosial, dan Ruang Urban