Defisit Keadaban Pencerah
Dakwah seharusnya merupakan aktivitas kesalehan untuk mengajak setiap orang agar selalu melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Akhir-akhir ini, dunia dakwah kembali mengalami defisit keadaban. Beberapa penceramah yang hanya menjadikan dalil sebagai rujukan utama dalam menyampaikan ajaran agama dan pesan moral tak memperhatikan tuntunan berdakwah yang baik dan benar.
Hal ini sebagaimana dilakukan seorang penceramah yang mengharamkan kebudayaan seperti wayang atau kesenian seperti musik. Penceramah tersebut terlalu berambisi menyampaikan keyakinan dan ideologinya, mengabaikan etika kepublikan, dan menebarkan kebencian.
Naifnya lagi, penceramah tersebut—demikian pula penceramah lain yang beraliran konservatif-eksklusif—hanya menyajikan dalil-dalil parsial yang disconnected antara maksud dalil dengan persoalan yang dihadapi dan cenderung memposisikan diri sebagai pihak yang paling pintar. Dengan menggunakan rujukan dan pengetahuan keagamaan secara sepihak, penceramah tersebut kerap agitatif menyampaikan ajaran dirinya yang dianggap paling benar (truth claim) sembari mendiskreditkan ajaran pihak lain yang dianggap sesat dan menyesatkan.
Baca juga: Pudarnya Roh Dakwah
Bahkan, para penceramah yang tak mempertimbangkan metode dan pendekatan sebagaimana ditegaskan dalam Alquran, justru menggunakan cara-cara gimmick untuk menarik minat masyarakat. Dengan menggunakan berbagai instrumen dan properti yang bisa menyajikan suasana psikologis yang bersifat inprovisatoris, penceramah berupaya “mengelabuhi” para pendengar atau pemirsa agar tertarik dengan ajakannya. Bahkan, untuk melancarkan aksi gimmick-nya dalam berdakwah, terkadang melibatkan tim kreatif yang bisa mendesain dirinya sebagai tokoh panutan yang mampu menyihir para pendengar dengan kata-kata yang hiperbolis dan diksi-diksi metaforis.
Terlebih lagi, zaman sekarang di mana berbagai layanan aplikasi tehnologi informasi sangat mudah digunakan sebagai sarana berdakwah. Dengan menggunakan platform digital seperti instagram, youtube, facebook, dan media sosial lainnya para penceramah hanya mengedepankan kata-kata tanpa makna, narasi tanpa isi, wejangan tanpa tuntunan, dan berbagai aksi dakwah lainnya yang terjebak dalam defisit keadaban.
Para penceramah hanya mengedepankan kata-kata tanpa makna, narasi tanpa isi, wejangan tanpa tuntunan.
Dampaknya, mengutip pandangan Farida Rachmawati dalam tulisan “Rethingking Uswah Hasanah: Etika Dakwah dalam Bingkai Hiperrealitas”, dakwah menjadi sebuah reportoir yang mempertontonkan sifat-sifat kedangkalan dan permukaan budaya popular dan sekaligus mereduksi sifat-sifat kedalaman ajaran agama. Bahkan pada titik yang paling ekstrem, dakwah disimplikasi sebagai ritual keagamaan yang digiring dalam perangkap artifisial untuk menciptakan daya tarik audiens.
Dari tuntunan menjadi tontonan
Pada titik ini, dakwah akan mengalami pemudaran spirit utama sebagai ajakan pada keinsafan dan usaha mengubah situasi yang lebih baik, lantaran dalam dakwah yang mengedepankan tontonan, tidak menekankan tuntunan amr ma’ruf nahy munkar secara merata dan bernilai signifikan.
Padahal, secara sosiologis, dua ranah ini (amar ma’ruf dan nahy munkar) menegaskan konsep interelasi yang saling melengkapi. Keduanya menjadi peluang bagi setiap orang untuk berproses sebagai manusia yang ingin mencapai kepada kebenaran dan menjadi tantangan berproses sebagai manusia yang saling mengendalikan dan membenahi diri dari setiap keburukan.
Dalam kondisi yang serba paradoksal, tidak menutup kemungkinan dakwah hanya dijadikan sebagai instrumen komersialisasi.
Dalam kondisi yang serba paradoksal, tidak menutup kemungkinan dakwah hanya dijadikan sebagai instrumen komersialisasi yang mengedepankan kapital daripada ajaran moral. Selain itu, bisa jadi pula dakwah pun dibajak sebagai instrumen politisasi untuk melanggengkan kepentingan oligarkhis dari pada menyampaikan ajaran agama yang obyektif, reflektif, dan korektif.
Mencermati kondisi dakwah yang serba centang perenang, di mana penceramah sangat gampang menebar kebencian, membangun truth claim tentang ajarannya, dan penampilannya dikendalikan oleh tata cara gimmick, pada akhirnya dakwah sekadar menjadi lip service dan dibangun berdasarkan reportoir tontonan untuk merebut ketenaran, selera pasar, dan pesanan kepentingan.
Baca juga: Dakwah Islam di Tengah Kebinekaan
Penyegaran kembali
Dalam situasi dunia dakwah yang mengalami titik nadir, sangat penting kita saling mengingatkan satu dengan yang lain. Dan sejatinya, ajaran Alquran tentang cara berdakwah yang ditegaskan dalam surat An Nahl: 125 harus dipahami lebih mendalam agar kita bisa menangkap inti pesan yang tersirat di dalamnya.
Hemat penulis, untuk memahami pesan surat An Nahl tersebut, membutuhkan perspektif makna cum maghza—meminjam teori KH Sahiron Syamsudin, pakar tafsir UIN Sunan Kalijaga—agar seorang penceramah bisa menelisik ma’na dari pesan utama dalam surat Alquran yang dijadikan dalil, lalu mengembangkannya untuk konteks masa kini. Dengan kata lain, seorang penceramah perlu mendialogkan antara teks dan konteks agar terjalin kesinambungan maksud dan pesan yang disampaikan (Sahiron Syamsudin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an).
Dalam kaitan ini, setidaknya, ada tiga langkah yang perlu dilalukan seorang penceramah ketika mendialogkan teks (naqly) dengan konteks saat ingin menyampaikan dalil Alquran sebagai rujukan penyampaikan pesan dakwahnya. Yaitu, pertama, dakwah bil hikmah yang dilakukan dengan cara menyerasikan antara ketepatan teknik dakwah dengan kondisi obyektif audiens yang dihadapi sehingga penceramah bisa menjelaskan ajaran agama secara arif dan argumentatif.
Kedua, dakwah bil mau’idzah yang dilakukan dengan cara memilih ketepatan dalil dari Alquran, hadits maupun fiqh yang sebanding dengan tema yang disampaikan. Ketiga, dakwah bil mujadalah yang dilakukan dengan menggunakan sesi tanya jawab dan sharing pemikiran agar audiens mempunyai kesempatan untuk mendalami dan memahami isi pesan yang disampaikan.
Baca juga: Memahami Keyakinan Agama
Secara metodologis, pendekatan dalam berdakwah yang dijelaskan dalam Alquran tersebut menjadi panduan dan landasan etik bagi setiap pendakwah. Hal ini penting dilakukan agar apa yang disampaikankan mempertimbangkan sisi audiens yang membutuhkan penjelasan informasi secara mendalam, mempertimbangkan isi dan materi yang otoritatif agar disajikan penuh tanggungjawab, dan mempertimbangkan sesi diskusi agar audiens bisa mengonfirmasi lebih detail.
Dengan kerangka metode dan pendekatan dalam berceramah tersebut, maka dakwah sebagai aktivitas kesalehan untuk mengajak setiap orang agar selalu melakukan kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi munkar), merefleksi dan mengintrospeksi setiap perilaku agar sesuai dengan tuntunan ajaran agama yang bersumber dari kitab suci maupun perilaku seorang nabi, akan menjadi cerminan bagi penceramah untuk hati-hati dalam menyampaikan ajaran keagamaannya.
Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib Syuriah PWNU Yogyakarta; Dosen FSH - UIN Sunan Kalijaga.