Dakwah Islam di Tengah Kebinekaan
Tanpa komitmen nyata dan keterlibatan aktif kita sebagai warga negara, kebinekaan Indonesia hanya akan menjadi kenangan sejarah belaka dan akan tergerus secara perlahan oleh penetrasi agresif dari radikalisme agama.

Wakil Presiden Ma\'ruf Amin yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia menegaskan MUI akan terus menjaga Islam Wasatiyah di Indonesia. Hal ini disampaikan dalam pembukaan Musyawarah Nasional X MUI yang dihadirinya secara langsung Rabu (25/11/2020) malam.
Dalam pidatonya di hadapan Majelis ”Ulama” Indonesia, Presiden Joko Widodo, 25 November 2020, menegaskan bahwa ”corak keislaman di Indonesia identik dengan dakwah kultural yang persuasif dan damai, tidak menebarkan kebencian, jauh dari karakter ekstrem, dan merasa benar sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa semangat dakwah keislaman kita adalah merangkul, bukan memukul, karena hakikat berdakwah adalah mengajak umat ke jalan kebaikan”.
Apa yang dapat kita petik dari pidato Presiden yang kontekstual ini dalam bingkai keislaman dan kebinekaan Indonesia?
Tiga metode dakwah
Dalam konteks keislaman, pidato Presiden Jokowi mengingatkan saya pada inti dakwah yang sesuai dengan spirit Al Quran. Dalam Al Quran, Nabi Muhammad diserukan untuk berdakwah secara kultural, yakni ajakan kepada umatnya ke jalan kebaikan dan, secara spesifik, ke ”jalan Tuhan-mu” (the way of thy Lord). ”Jalan Tuhan-mu” ini, tulis penafsir awal Muqatil B Sulayman, ditafsirkan sebagai ”agama Tuhan-mu”, yakni Islam.
Karena inti dakwah adalah ajakan pada Islam, karakter ajakan keislaman itu bersifat sukarela (voluntary) dan ketulusan (sincerity). Konsekuensinya, tidak boleh ada unsur paksaan dalam dakwah Islam. Paksaan dan apalagi disertai kebencian dalam mengajak manusia pada Islam justru bertentangan dengan karakter utama dakwah itu sendiri.
Paksaan dan apalagi disertai kebencian dalam mengajak manusia pada Islam justru bertentangan dengan karakter utama dakwah itu sendiri.
Dakwah adalah panggilan ketuhanan (divine calling) yang bersifat sukarela, berintikan ajakan kebaikan ke jalan Tuhan dengan penuh ketulusan, tanpa paksaan. Karena itu, Muhammad diserukan berdakwah dengan tiga metode yang digariskan melalui wahyu Tuhan.
Pertama, bi al-hikmah. Sementara mayoritas penafsir Al Quran periode modern menafsirkan makna dakwah bi al-hikmah sebagai ajakan ke agama Islam dengan metode yang penuh kearifan dan kebijaksanaan, penafsir Al Quran periode awal justru menafsirkan metode dakwah bi al-hikmah ini secara berbeda.
Baca juga: Agama dan Konflik Sosial
Dalam tafsir Ta’wilat Al Quran (Turkei: Dar al-Mizan, 2005-2011), Abu Mansur al-Maturidi merekam dua penafsiran awal yang kontradiktif atas makna yang dikandung dalam dakwah bi al-hikmah.
Menurut sebagian penafsir, seperti ’Abdullah B ’Abbas, al-Hasan al-Basri dan Muqatil Sulayman, frasa bi al-hikmah merujuk pada metode dakwah dengan Al Quran, yakni Muhammad diperintahkan Tuhan untuk mengajak umatnya ke Islam dengan petunjuk Al Quran, karena wahyu ini diturunkan secara gradual, sedikit demi sedikit, untuk menjawab kebutuhan dakwah Muhammad selama misi kenabian.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah KH. Ahmad Darodji memimpin doa bersama pada Apel Kebangsaan “Kita Merah Putih” di Lapangan Pancasila, Simpang Lima, Kota Semarang, Jateng, Minggu (17/3/2019). Darodji didampingi sejumlah pemuka dari berbagai agama. Acara diisi orasi kebangsaan, pertunjukan musik, hadroh shalawat, serta pembacaan deklarasi kebangsaan. Acara ini dihadiri sejumlah tokoh dan pemuka berbagai agama.
Sebagian penafsir lagi menafsirkan bi al-hikmah sebagai metode dakwah yang diartikulasikan oleh Nabi Muhammad dengan argumentasi yang persuasif dan dengan bukti kebenaran yang meyakinkan (bi al-hujjah wa al-burhan). Penafsiran ini menunjukkan bahwa dakwah Islam berakar pada tradisi intelektual yang argumentatif dan persuasif.
Kedua, dakwah dengan nasihat dan peringatan yang baik (good counsel and admonition), yakni, menurut penafsir otoritatif awal abad pertengahan, Al-Tabari, dakwah Islam ”dengan ungkapan-ungkapan yang indah yang Tuhan telah jadikan sebagai bukti di dalam Kitab-Nya terhadap mereka” yang meragukan otentisitas wahyu Al Quran dan misi profetik Muhammad.
Terkait penafsiran ini, sejumlah penafsir yang otoritatif, seperti Ibn al-Jawzi dan Al-Baghawi, juga menekankan bahwa dakwah Islam perlu dilakukan dengan ”ucapan santun dan perilaku sopan, tanpa menjadi kasar dan ofensif”. Dakwah yang disampaikan secara kasar dan penuh kebencian sudah pasti tidak meneladani dakwah Rasul yang santun, lemah lembut, dan penuh rahmat.
Baca juga: Hubungan Agama dengan Negara
Jika Muhammad ”sebaik-baik teladan”, umat Islam memiliki kewajiban untuk meneladani metode dakwah Nabi yang penuh kesantunan dan kebijaksanaan.
Sekiranya ungkapan yang indah dan tutur kata yang santun tetap ditolak, dakwah perlu diekspresikan melalui ”peringatan yang baik” (good admonition), dengan ”perintah dan larangan”, tulis Muqatil B Sulayman, karena ada kemaslahatan yang inheren di dalam perintah Tuhan dan ada pula kemudaratan di balik larangan-Nya.
Ketiga, dakwah melalui ”berdebatlah dengan mereka dengan cara yang paling baik” (dispute with them in the most kindly manner). Kata ganti ”mereka”, menurut Muqatil B Sulayman, merujuk pada ahl al-kitab, yakni ”mereka yang diberikan wahyu” sebelum Al Quran, terutama orang-orang Yahudi dan Kristen.
Penafsiran ini memberikan implikasi teologis bahwa perdebatan dan polemik kitab suci ini terjadi dalam iklim monoteisme (monotheistic milieu), ketimbang politeisme, seperti yang selama ini diasumsikan.
Baca juga: Negara, Pasar, dan Agama
Dari segi metode dakwah, Nabi Muhammad diserukan untuk berdebat dengan orang- orang Yahudi dan Kristen dengan ”cara yang paling baik”.
Dalam terjemahan dan tafsir modern, The Message of the Qur’an (1992), Muhammad Asad, seorang Yahudi keturunan Austria-Hongaria yang memeluk Islam pada tahun 1926, memberikan penafsiran brilian atas pesan Al Quran ini: ”Dan jangan berdebat dengan para pengikut wahyu sebelum Al Quran selain dengan cara yang paling baik. Penekanan pada kebaikan dan kebijaksanaan dan, karena itu, pada penggunaan akal saja dalam semua diskusi agama dengan penganut kepercayaan lain sepenuhnya selaras dengan perintah dasar dan kategoris: tidak akan ada paksaan dalam masalah keyakinan”.

Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, Akhid Widi Rahmanto berbicara dalam pengajian akbar peringatan Hari Lahir Nahdlatul Ulama ke-97, Kamis (5/3/2020), di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Kehadiran Akhid itu menunjukkan persaudaraan antara warga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Inilah metode dakwah terbaik dengan menekankan tradisi perdebatan intelektual yang rasional, penuh respek, dan toleran terhadap pengikut agama-agama lain.
Perdebatan ini bertujuan dalam rangka mencari kebenaran dengan spirit ketulusan, tanpa diorientasikan untuk melakukan konversi atas keyakinan yang bebas dianut oleh setiap pemeluk agama.
Anugerah Tuhan
Tiga metode dakwah dalam Al Quran itu semestinya memberikan inspirasi kepada ”ulama” dan umat Islam secara umum untuk mengartikulasi dakwah Islam yang santun, inklusif, dan mencerahkan dalam konteks kebinekaan Indonesia.
Salah satu ciri utama dari kebinekaan itu adalah kemajemukan agama dan keyakinan. Karena itu, dakwah Islam perlu diorientasikan untuk memberikan pencerahan publik bahwa kebinekaan agama dan keyakinan adalah kehendak Tuhan (the will of God) yang harus kita terima, syukuri, dan rayakan sebagai modal sosial-keagamaan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca juga: Agama dan Uang
Konsekuensi logisnya adalah kehendak penuh kita untuk bersikap toleran kepada berbagai penganut agama dan keyakinan yang berbeda di Indonesia, karena beragama dan berkeyakinan adalah hak yang diberikan secara setara oleh Tuhan (God-given liberty of conscience) dan hak natural setiap manusia atas harkat dan martabat dirinya sebagai manusia.
Salah satu ciri utama dari kebinekaan itu adalah kemajemukan agama dan keyakinan.
Toleransi adalah syarat minimal yang harus kita penuhi sebagai bagian dari komitmen keislaman dan keindonesiaan, agar kita terhindarkan dari bahaya persekusi berdarah-darah (the bloody persecution). Namun, kita tak boleh berhenti pada toleransi semata karena toleransi hanya sekadar konsesi politik yang datang dari kelompok mayoritas agar mau menahan diri dari tindakan persekusi ke minoritas yang berbeda agama dan keyakinan.
Dalam konteks itulah, kita perlu bergerak jauh dari toleransi karena toleransi sendiri, menurut Diana L Eck di Universitas Harvard, tidak mensyaratkan warga untuk mengenal satu sama lain secara aktif dan, karena itu, menjadi fondasi yang rapuh dalam membangun suatu masyarakat yang plural (Eck, 2001: 10). Yang kita butuhkan untuk membangun masyarakat Indonesia yang majemuk adalah komitmen kita yang tulus dan riil atas kebinekaan Indonesia.
Salah satu wujud komitmen itu adalah pengakuan bahwa kebinekaan merupakan kehendak dan anugerah Tuhan yang diberikan kepada bangsa Indonesia. Namun, pengakuan atas kebinekaan Indonesia saja tidak cukup. Kita harus mewujudkan pengakuan yang tulus itu ke arah komitmen nyata atas kebinekaan dan keterlibatan aktif dalam ikhtiar bersama untuk mewujudkan kebinekaan Indonesia.

Pemimpin Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin Leteh, Rembang, KH Ahmad Mustofa Bisri, membacakan puisi di Kampung Budaya Universitas Negeri Semarang (Unnes), Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (16/10/2019) malam. Juga dilakukan peluncuran buku "Ayat Dewa Pamungkas dari Timur" yang berisi puisi-puisi karya KH Ahmad Mustofa Bisri, serta tiga penyair yakni Beno Siang Pamungkas, Timur Sinar Suprabana, dan Agoes Dewa. Juga, dalam rangka mengenang Agoes Dewa yang meninggal Januari 2019.
Tanpa komitmen nyata dan keterlibatan aktif kita sebagai warga negara, kebinekaan Indonesia hanya akan menjadi kenangan sejarah belaka dan akan tergerus secara perlahan oleh penetrasi agresif dari ideologi radikalisme yang menuntut negara bersendikan agama. Untuk itulah, kita wujudkan artikulasi dakwah Islam yang santun, inklusif, dan dialogis, jauh dari kebencian, yang akhirnya berkontribusi signifikan terhadap proyek kebinekaan Indonesia.
Sukidi, Kader Muhammadiyah.