Minyak Goreng dan Satgas Pangan
Jangan kita kembali ke belakang pada tahun 1950-an dengan melibatkan polisi untuk mengelola ekonomi kita. Sejarah telah menunjukkan kegagalan metode ini. Jangan lagi ada polisi ekonomi.
Perkembangan terakhir kebijakan pemerintah dalam menindak penimbun minyak goreng, mengingatkan saya pada zaman ketika saya masih duduk di sekolah dasar (SD). Di era Presiden Soekarno.
Saat itu ekonomi dijalankan atas dasar berbagai peraturan. Harga bahan-bahan pokok ditentukan oleh pemerintah, pelbagai bahan baku untuk pabrik batik dan tekstil seperti mori dan benang dijatah. Yang melanggar dan tertangkap menimbun, dihukum. Pasar tidak dibiarkan untuk mengatur mekanismenya sendiri.
Bahan mentah produksi dijatah karena suplainya selalu tidak mencukupi permintaan. Impor dan beberapa jenis kegiatan usaha memerlukan lisensi khusus yang tidak mudah didapat. Akibatnya ada pasar gelap untuk jual beli lisensi.
Untuk mengelola ekonomi yang diregulasi itu kemudian diperlukan dan dibentuk satuan khusus yang disebut Polisi Ekonomi. Sekarang kembali kita punya Satuan Tugas (Satgas) Pangan di Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Saat itu pengusaha selalu waspada jangan sampai tertangkap "menimbun" bahan baku yang sebenarnya diperlukan untuk menjaga kelangsungan produksi.
Tak terhindarkan, terjadi main kucing-kucingan antara pengusaha dan pedagang di satu pihak dengan polisi di sisi lain. Pengusaha sering menjadi sasaran pemerasan aparat dan harus bersedia memberi upeti bila tak mau diganggu. Biaya produksi dengan sendirinya meningkat. Keadaan ini berlanjut terus sampai paruh pertama tahun 1960-an.
Seperti kita semua sudah tahu, ekonomi yang diatur secara berlebihan ( over regulated) itu akhirnya gagal total.
Seperti kita semua sudah tahu, ekonomi yang diatur secara berlebihan (over regulated) itu akhirnya gagal total. Barang-barang menjadi tetap langka dan inflasi merajalela sampai bisa mencapai ratusan persen per tahun. Saya ingat para pedagang selalu membawa radio transistor ke mana saja mereka pergi untuk berjaga-jaga kalau ada pengumuman pemerintah.
Saat itu pemerintah sangat sering membuat peraturan baru hampir setiap minggu. Setiap kali Bung Karno habis menyampaikan pidatonya, harga-harga melonjak naik. Saya ingat Presiden Soekarno yang tidak menguasai seluk-beluk ekonomi, ketika diwawancara wartawan CBS Amerika tentang kacaunya ekonomi Indonesia, meminta para wartawan asing itu keliling Jakarta dan nanti, kata Presiden, mereka akan melihat sendiri di setiap sudut ada orang makan. Begitulah cara berpikir sederhana presiden kita saat itu.
Baca juga Impor Tak Efektif Kendalikan Harga Daging Sapi
"Jokowinomics"
Tentu saja sekarang sudah tak seperti itu. Bahkan ekonomi pasar kita cenderung kebablasan. Beberapa kali kita mengalami distorsi pasar. Terbaru, hilangnya minyak goreng dan harganya yang membubung. Juga kedelai. Bahan pokok tempe, makanan favorit rakyat.
Sebelum ini pernah harga daging sapi melonjak. Begitu pula ayam dan kebutuhan pokok lain. Belum lama ini Menteri Perdagangan pernah mengimpor beras pada saat panen surplus. Juga banjir telur saat suplai telur melimpah. Petani menderita karena harga jual hasil panennya merosot. Juga produsen telur harus menghancurkan dan membuang telur hasil produksinya.
Apa yang terjadi? Dari dulu sampai sekarang hukum ekonomi tidak berubah. Ketika permintaan melebihi penawaran maka harga akan naik. Sebaliknya, bila suplainya yang melimpah harga akan turun. Salah satu tugas penting pemerintah dalam kehidupan ekonomi modern adalah menjaga kestabilan harga dengan memastikan bahwa penawaran dan permintaan barang dijaga kurang lebih seimbang.
Gejolak harga minyak goreng membuktikan itu. Persediaan minyak goreng di pasar menghilang. Harga naik.
Khusus kasus minyak goreng ini memang unik. Di negeri yang produksi minyak sawitnya terbesar di dunia, cukup bagi setiap warga negara andai mau mandi minyak setiap hari, justru suplainya hilang dan harganya melonjak. Di mana salahnya? Jawabnya sederhana. Produsen lebih senang mengekspor minyak sawit mentahnya daripada menjual lokal karena harga ekspor jauh lebih tinggi dari harga yang ditentukan pemerintah untuk kebutuhan lokal.
Apa kesimpulan pemerintah? Ada mafia di balik naiknya harga minyak goreng. Ada kartel yang bermain. Maka undang-undang tentang penimbunan barang tahun 1953 dan undang-undang tentang tindak pidana ekonomi tahun 1955 harus ditegakkan.
Polisi dengan sigap menindaklanjuti instruksi Presiden. Sampai saat ini kita belum bisa mengatakan dengan pasti apakah memang ada produsen nakal atau kartel yang dengan sengaja menahan suplai guna menaikkan harga.
Bisa jadi yang dikatakan penimbunan itu tidak ada. Yang ada bisa juga “penimbunan” untuk menjaga kepastian bahan minyak mentah untuk diproses. Namun demikian, bila seandainya benar ada penimbun, apakah menggunakan tangan polisi dan menjerat mereka dengan pidana akan menyelesaikan masalah? Apakah pemerintah selanjutnya akan melibatkan polisi seperti 1950-an untuk mengelola ekonomi kita?
Sampai saat ini kita belum bisa mengatakan dengan pasti apakah memang ada produsen nakal atau kartel yang dengan sengaja menahan suplai guna menaikkan harga.
Berdayakan KPPU dan manajemen logistik
Sepanjang yang kita amati, hampir di bagian dunia manapun tak ada lagi pemerintah yang membiarkan pasar bergerak bebas sendiri sepenuhnya sesuai kemauannya. Di mana-mana pemerintah menjaga agar tidak terjadi distorsi pasar. Bila pasar dibiarkan sepenuhnya bebas, yang terjadi adalah penguasaan pasar oleh modal yang kuat atau konspirasi kartel dalam penentuan harga.
Hal ini berlaku untuk hampir semua jenis pasar. Apakah itu pasar barang, komoditas, pasar modal, ataupun pasar uang. Pada dasarnya pengusaha, baik diakui atau tidak, mencari untung sebesar mungkin. Ketamakan yang bisa merugikan masyarakat konsumen ini tidak bisa dibiarkan. Namun caranya bukan dengan melibatkan polisi.
Polisi jangan diberi tugas tambahan di luar tugas pokok menjaga keamanan dan melindungi warga negara dari ancaman keamanan. Bila polisi dilibatkan, maka akan terjadi ketidakpastian usaha. Pengusaha yang beritikad baik bisa juga terjaring. Peluang untuk kongkalikong serta korupsi juga bisa menjadi lebih besar. Ujungnya, tujuan pemerintah untuk mengendalikan inflasi dan kelangkaan barang tidak akan tercapai.
Untuk menghindarkan kecenderungan monopolistik dalam menguasai pasar, kita sudah punya UU No 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha, berikut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Tinggal sekarang bagaimana mengefektifkan kinerja KPPU. Untuk menghindarkan permainan pasar oleh pengusaha yang menimbun, pemerintah perlu melakukan operasi pasar sehingga pengusaha yang akan memainkan harga di pasar akan terpukul dan akan berpikir dua kali di lain kesempatan.
Bila perlu pemerintah memborong minyak mentah untuk dijual ke industri minyak goreng rakyat dengan subsidi. Selisih harga yang disubsidi ditutup dengan menaikkan pajak ekspor CPO.
Meski demikian, operasi pasar ini baru bisa efektif bila pemerintah mempunyai sistem perencanaan yang baik dan konsisten serta aparatnya mampu menyediakan data-data perkiraan kebutuhan dan suplai pasar dalam jangka menengah dan panjang dengan cermat dan tepat waktu. Yang terjadi sekarang tampaknya pemerintah berkali-kali dikejutkan pasar oleh karena data yang simpang siur dari berbagai kementerian yang dijadikan dasar pengambilan keputusan ternyata salah kaprah.
Mengendalikan inflasi juga bukan urusan polisi. Unsur lain yang bisa menekan melonjaknya harga-harga adalah sisi manajemen logistik. Bila hal ini masih terus tak terurus dengan baik, biaya transpor yang tinggi dan jangka waktu transportasi yang lama akan terus mengganggu kestabilan harga barang.
Baca juga Satgas Pangan Polri Temukan Indikasi Pedagang Menahan Stok Minyak Goreng
Pengusaha, betapapun tamaknya mereka, adalah pengambil keputusan yang rasional. Bila mereka tahu pemerintah memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi pasar, mereka juga akan mengambil tindakan yang rasional.
Mengumbar dengan bangga dengan mengumumkan pemerintah akan atau tidak akan mengimpor ini dan itu justru dibaca oleh pengusaha sebagai peluang untuk memainkan pasar. Bila benar pemerintah tidak akan mengimpor, pemerintah tak perlu mengumumkannya. Biarkan ketidakpastian itu menjadi bagian dari perhitungan pedagang.
Yang penting, jangan kita kembali ke belakang pada tahun 1950-an dengan melibatkan polisi untuk mengelola ekonomi kita. Sejarah telah menunjukkan kegagalan metode ini. Jangan lagi ada polisi ekonomi. Jangan sampai fungsi Kementerian Perdagangan digantikan oleh Polri. Atau seperti sebelum ini memberi tugas kepada Kementerian Pertahanan untuk mengurus pertanian di Kalimantan. Biarkan polisi mengurus tugas-tugas pokoknya yang masih banyak harus disempurnakan.
Abdillah TohaPemerhati Politik, Ekonomi, dan Keagamaan.