Kasus Nurhayati memberikan pelajaran soal keberanian dan tanggung jawab kepada negara, untuk melaporkan kasus korupsi. Aparat penegak hukum pun harus berani menghadirkan rasa keadilan.
Oleh
SAIFUR ROHMAN
·5 menit baca
Nurhayati (35), warga Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana desa, akhir November 2021. Menurut polisi pada Januari 2022, Nurhayati terbukti menyerahkan dana kepada kepala desa secara sadar. Mestinya dia memberikan dana tersebut kepada kaur dan kepala seksi pelaksana kegiatan. Berdasarkan data kepolisian, pencairan dana itu dilakukan 16 kali selama tiga tahun, pada 2018-2020.
Kasus ini menjadi viral di pubik. Setelah melaporkan adanya dugaan korupsi, Nurhayati, bekas Bendahara Desa Citemu, malah ditetapkan sebagai tersangka oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Cirebon. Logika polisi, dia turut serta membantu penyelewengan anggaran desa sebesar Rp 818 juta yang dilakukan oleh bekas kepala desa berinisial S. Saat itu, tahun 2018, Nurhayati menjabat bendahara.
Di Sulawesi, tersangka Muhammad Arham, pencuri sepeda motor, akhirnya dibebaskan oleh jaksa pada 18 Februari 2022. Dia mencuri sepeda motor milik pedagang sayur di Gaselong Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Sepeda motor itu kemudian digadaikan sebesar Rp 1,5 juta untuk persalinan istrinya.
Atas perbuatannya, Arham mendekam di tahanan selama 2 bulan. Setelah pihak kejaksaan melakukan pendalaman, motif pencurian tersebut benar-benar untuk biaya persalinan istrinya. Karena kehidupannya sangat memprihatinkan dan korban telah memaafkan, pihak kejaksaan justru memberikan bantuan untuk perbaikan sepeda motor dan membebaskan Arham.
Dua warga negara tersebut terlibat dalam kasus yang berbeda, tetapi memberikan nilai-nilai yang sama. Masing-masing membersitkan tanya, di manakah keadilan atas kasus pidana pencurian? Pada sisi lain, di manakah keadilan atas kasus pelaporan dugaan korupsi? Bagaimana keadilan harus ditegakkan ketika langit runtuh?
Keberanian, keadilan, kebenaran
Kita bisa belajar tentang empat nilai dari dua warga tersebut. Pertama, dua fakta tersebut memberikan nilai keadilan yang berbeda. Yang satu melaporkan kejahatan, tetapi malah dijebloskan penegak hukum ke dalam status tersangka. Yang lain terbukti secara sah dan menyakinkan telah melakuan tindak pidana, tetapi penegak hukum membebaskannya. Muhammad Arham dan Nurhayati tidak saling kenal, tetapi dilindungi oleh payung hukum yang sama. Kendati payung hukum sama, hasilnya berbeda.
Kedua, Muhammad Arham dan Nurhayati sama-sama orang yang bertanggung jawab. Muhammad Arham adalah lelaki yang harus bertangung jawab kepada istrinya, sedangkan Nurhayati adalah seorang istri yang bertanggung jawab kepada negara. Nurhayati hanya istri dari seorang pelaut yang pulang setahun sekali dengan upah Rp 3 juta per bulan.
Karena tanggung jawab kepada istrinya, Arham memiliki keberanian melanggar hukum. Karena bertanggung jawab kepada negara, Nurhayati berani melaporkan tindak pidana atasannya ke aparat.
Ketiga, mereka sama-sama memiliki keberanian. Arham melakukan tindak pidana secara sadar. Nurhayati melaporkan atasannya yang menggerogoti uang negara secara sadar. Karena tanggung jawab kepada istrinya, Arham memiliki keberanian melanggar hukum. Karena bertanggung jawab kepada negara, Nurhayati berani melaporkan tindak pidana atasannya ke aparat.
Keempat, kesadaran dan keberanian mereka tidak selalu memberikan kebaikan bagi dirinya dan keluarganya. Keberanian mereka malah membawa persoalan yang lebih rumit ketimbang yang dibayangkan sebelumnya.
Keadilan, keberanian, dan tanggung jawab tampak abstrak dalam wacana sosial, tetapi kasus di atas memberikan contoh yang konkret dalam pembelajaran karakter. Karena itu, pendidikan tentang keberanian tidak sulit karena bisa dengan mudah mendapatkan contoh di tengah-tengah masyarakat.
Mengajarkan nilai
Siapa saja bisa mengajarkan nilai-nilai itu. Warga negara memberi contoh keberanian atas nama tanggung jawabnya. Aparat penegak hukum memberikan keputusan bahwa keberanian itu pantas diperjuangkan. Demikian pula dalam pembelajaran keadilan. Selama ini, keadilan sebagaimana dibayangkan oleh John Rawls adalah keadilan atas dasar rasionalitas publik. Segala bentuk pengadilan haruslah diserahkan pada institusi yang memiliki kewenangan menilai, menimbang, dan memutuskan.
Namun, keadilan tidak berhenti di klausul ayat-ayat pidana dan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum sebagai subyek bisa memilih sikap peduli. Dalam prosedur formal, aparat penegak hukum melihat keadilan dengan ayat-ayat dari produk perundang-undangan yang dideduksikan ke dalam fakta-fakta positif.
Contoh, tanda tangan penerimaan dana dari kas negara adalah alat bukti tindak pidana korupsi, selesai. Logika ini seperti berkata, ”saya tidak mau tahu” karena bukti-bukti mengarah pada subyek hukum, dan karena itu dialah pelakunya.
Dalam penegakan hukum, dimensi kepedulian memberikan pesan hadirnya rasa keadilan.
Pada dimensi lain, pencurian adalah pidana. Jika melihat klausul hukum positif, maka segala tindak pencurian akan mendapatkan ganjaran penjara. Dalam prinsip restoratif, hukuman pun digagalkan sehingga logika yang muncul bukan ”saya tidak mau tahu”, tetapi ”saya mau tahu”. Dalam penegakan hukum, dimensi kepedulian memberikan pesan hadirnya rasa keadilan.
Apabila direfleksikan pada kenyataan, kasus Nurhayati sebagai pelapor kasus tindak pidana korupsi tidak memenuhi rasa keadilan ketika ditetapkan sebagai tersangka. Kronologinya, pada 2018-2020 dia mengirim surat keluhan kepada Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Lukman Nurhakim. Isinya adalah larangan dari kepala desa agar tidak memberitahukan adanya pencairan dana kepada Badan Permusyawaratan Desa.
Menurut pengakuan Nurhayati, kepala desa itu berkata agar tenang karena semua adalah tanggung jawab kepala desa. Setahun kemudian, dia memberi tahu BPD bahwa sejumlah program tidak terealisasi. Bahkan, dia mengaku tidak mendapatkan uang untuk membeli alat tulis kantor. Atas dasar itu, pihak BPD membuat laporan polisi atas dugaan korupsi. Hasil laporan itu justru status tersangka untuk Nurhayati karena diduga melanggar Pasal 66 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Becermin dari kasus itu, tindakan aparat penegak hukum itu bisa dikatakan tidak memberikan pembelajaran rasa keadilan. Suka atau tidak, nilai itu penting dalam membangun bangsa. Secara historis, bendera merah hati Majapahit merupakan simbol pembelajaran tentang keberanian para perwira untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Keberanian dan kebenaran warga bangsa disimbolkan dengan bendera merah putih. Hingga kini, nilai-nilai itu bisa diajarkan, dipahami, diwariskan di tengah-tengah kita. Aparat penegak hukum belum terlambat untuk memulainya.
Saifur Rohman, Pengajar Program Doktor Bidang Filsafat di Universitas Negeri Jakarta