Claire Holt dan Makna Kontekstual Estetika Nusantara
Buku ini membantu kita memahami konstelasi panoramik estetika terkini Nusantara, dan mengisi ruang kosong pembahasan tentang estetika dan kenusantaraan. Lingkup masalah estetika sangat luas butuh kajian interdisipliner.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·5 menit baca
Pembicaraan tentang keindonesiaan dengan segala kandungan nilai dan dinamika kehidupan kulturalnya merupakan suatu tema yang tidak pernah selesai. Ia mempunyai kemungkinan untuk dibaca ulang, diperbincangkan, dan dimaknai kembali. Hal ini karena estetika Nusantara memang perlu untuk direvitalisasi, diperluas ide pemikirannya, dan yang paling penting adalah dikontekstualisasi dengan kondisi saat ini.
Claire Holt adalah salah satu ilmuwan penting dari Barat yang sekian lama mendalami dan menelusuri budaya Nusantara. Catatannya dibukukan dalam Art in Indonesia: Continuity and Change (1967) yang dialihbahasakan oleh RM. Soedarsono menjadi Melacak Jejak-Jejak Perkembangan Seni di Indonesia (MSPI, 2000). Buku itu mencatat dan mendokumentasikan banyak gejala kebudayaan Indonesia, dari gambar-gambar gua cadas di zaman pra sejarah hingga seni rupa modern dan seni pertunjukan kontemporer Indonesia. Sebagai narasi yang berusaha memahami sejarah, perubahan dan kontinuitas estetika Nusantara, ia juga mencatat diskusi serta perdebatan serta polemik kebudayaan yang terjadi, yang dapat dibaca sebagai sebuah dialektika pemikiran penting.
Topik-topik seperti konsep logika, pertemuan dan dialog budaya hingga asimilasi atau osmosis budaya dalam dinamika Nusantara, menurut Claire, merupakan salah satu kekuatan seni yang bisa menyerap berbagai pengaruh unsur-unsur budaya lain menjadi kekuatan sendiri, menjadi estetika Nusantara.
Buku itu, pada masanya, sanggup membuka minat ilmuwan mancanegara meneliti seni budaya Indonesia. Berkat perkembangan data dan fakta arkeo-historis yang ada, ia bisa menjadi pondasi intelektual yang mampu mengubah catatan sejarah seni dunia. Pemikiran Claire melampaui zaman dan masih digunakan sebagai bacaan rujukan hingga kini.
Claire Holt adalah salah satu ilmuwan penting dari Barat yang sekian lama mendalami dan menelusuri budaya Nusantara.
Gagasan besar tersebut terangkum dalam buku bunga rampai ini. Ia merupakan refleksi forum Borobudur Writers and Cultural Forum (BWCF) 2021 terhadap pemikiran Claire Holt tentang Nusantara. BWCF mengundang sekian banyak penulis untuk membahas arti penting dan refleksi pemikiran Claire di bidang yang digeluti. Mereka adalah para cendekiawan di bidang arkeologi, filologi, sejarah, teologi, seni pertunjukan, filsafat hingga sastra. Nama-nama seperti Jean-Pascal Elbaz, Aminuddin TH Siregar, Agus Aris Munandar, Wayan Gde Yudane, Cecep Eka Permana, hingga Marusya Nainggolan, Mikke Susanto, dan Hudaya Kandahjaya, mampu menciptakan ruang berwarna yang menawarkan berbagai kemungkinan terbuka memperkaya wacana dan pengetahuan.
Dengan teba pembahasan yang luas, mulai dari kajian etnografi ketubuhan, museum dan cara pandang poskolonial, hibriditas musikal gamelan dan musik kontemporer Barat, hingga pembahasan tentang Borobudur dalam perspektif geometri fraktal dan kajian astronomis, kita diajak untuk menelusuri basis logika sebagai potensi daya kultural dengan menilik praktik budaya yang ada dalam masyarakat Nusantara.
Budaya, dalam konteks Nusantara, menjadi estetika yang terungkap lewat esensi filosofis dalam segala aktivitas kreatif melalui simbol-simbol metaforis yang holistik dan religius. Realitas sosio-kulturalnya bersifat kolektif dan tersembunyi dalam artefak budaya, baik verbal maupun non-verbal, tertulis atau tidak tertulis, bukan dalam uraian verbal-serebral.
Inilah simbolisme yang menghasilkan berbagai macam tafsir pemikiran nalar, sebagai “filsafat Inonesia” atau “estetika Nusantara”. Untuk menilik Nusantara, menurut Claire, “Anda harus menjadi filsuf, sosiolog, antropolog, psikolog, seniman, dan sejarawan seni sekaligus, memiliki visi jelas tentang ragam iklim sosio-politik di sejumlah wilayah. Karena semua berhubungan dengan karya dan kehidupan orang-orang yang luar biasa kreatif."
Menafsir Makna
Membaca buku ini membantu kita memahami konstelasi panoramik estetika terkini Nusantara. Ia seperti mengingatkan "sementara negara Indonesia mempromosikan persatuan, budaya Indonesia akan selalu lebih kaya oleh keragamannya", seperti pendapat Claire.
Budaya, bila dipahami dalam perspektif semacam ini, akan senantiasa mampu menyediakan ruang untuk tumbuh dan berkreasi. Masa lalu dimaknai dan diperkaya dengan penghayatan pada masa kini akan semesta hidup yang telah dijalani, sedang digeluti, dan masih akan diarungi: sebuah kontinuitas yang hadir dengan nafas, artikulasi dan pemaknaan baru. Terutama bagaimana budaya berupa kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang kontekstual digunakan untuk mendorong pemahaman melalui pengalaman perseptual yang langsung dan dihidupi dalam kenyataan keseharian.
Karena kebudayaan di negeri ini bukan sekadar tradisi, etik dan estetik, tapi juga sebuah piranti sosial yang efektif mengatasi persoalan-persoalan kontemporer, mampu berdialog dengan budaya global untuk bisa mengembangkan diri dan meneguhkan eksistensi. Seperti kajian Sri Ratna Saktimulya tentang estetika iluminasi di naskah keraton di Jawa. Begitu juga tema interkulturalisme kontemporer seni pertunjukan Indonesia yang masing-masing ditulis Helly Minarti, Restu Imansari dan Nungki Kusumastuti, kajian kontekstual tentang Sriwijaya (Ninie Susanti), hingga sejarah matematika dalam Prasasti Kedukan Bukit (Iwan Pranoto).
Dengan “tafsiran makna” (interpreted meaning) untuk memuliakan kehidupan dengan memelihara dan mengolah krisis-krisisnya (dalam perenungan) ini, maka disitulah jati diri kemanusiaan dan peradaban, yaitu merawat kehidupan. Kita tidak lagi mewacanakan keunikan dan kemajemukan (ekspresi) budaya, tapi menghidupinya, karena ia melangsungkan peradaban.
Buku ini mengisi ruang kosong pembahasan tentang estetika dan kenusantaraan yang masih kurang. Lingkup masalah estetika yang sangat luas, membuat masih dibutuhkan lagi banyak buku yang membahas tema tersebut secara interdisipliner. Ia memfasilitasi usaha bangsa ini jika ingin menguatkan fondasi kultural yang sudah lama dimilikinya. Sebagai bangsa Nusantara, bangsa Indonesia, yang menjadi postmodern tanpa kehilangan referensi primordialnya. Sebuah kenyataan kebudayaan yang menjadi bukti pada dunia bahwa kita ada dan akan tetap ada.
Purnawan Andra, bekerja di Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek.
Judul buku: Estetika Nusantara: Bunga Rampai Tulisan Menyambut Borobudur Writers and Cultural Festival ke-10
Penulis : Agus Aris Munandar, dkk
Penerbit : Borobudur Writers dan Cultural Forum dengan Kementerian Agama Republik Indonesia