Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Akhir Imperium Hindia Belanda
Gubernur Jenderal Tjarda adalah gubernur jenderal pamungkas yang berusaha mempertahankan Imperium Hindia-Belanda. Ada relevansi dari buku ini yang bisa diambil soal menjaga marwah tugas seorang pejabat tinggi.
Foto Gubermur Jenderal Tjarda van Strakenborg Stachouwer dalam kunjungan dinas tahun 1939. Sumber: Buku Mempertahankan Imperium, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stauchouwer dan Akhir Hindia Belanda (Marjin Kiri, 2021) hlm. xviii
Perang Pasifik meletus 7 Desember 1941. Tak lama setelah kota Tarakan jatuh ke tangan Jepang 11 Januari 1942, Gubernur Jenderal terakhir Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang. Tjarda mengerahkan kemampuan saat – saat terakhir mempertahankan imperium Belanda terbesar di Asia dan memberikan kontribusi terbesar ke negeri induk Belanda.
Sebelum akhirnya tunduk pada Jenderal Hitoshi Immamura, Tjarda melakukan langkah langkah akhir dengan memerintahkan Letnan Gubernur Jenderal Hubertus .J van Mook untuk melarikan diri melalui lapangan udara Andir Bandung menuju Australia yang nantinya menggantikan posisi jabatan Gubernur Jenderal di pengasingan. Sementara Tjarda menyerahkan pimpinan perang ke tangan Jenderal Hein teer Poorten, komandan KNIL. Ia juga memerintahkan kepada Laksamana Conrad Emil Lambert Helfrich menuju Srilanka (Ceylon).
Tjarda juga memerintahkan pengungsian beberapa pejabat dari pelabuhan Cilacap menuju Australia (hlm 102). Sementara dirinya dan keluarga lebih menetap di Hindia Belanda menunggu balatentara Jepang yang telah menjebol benteng pertahanan laut pada peristiwa Perang Laut Jawa 1-7 Maret 1942.
Tjarda menyaksikan sendiri bagaimana wilayah Hindia Belanda ditaklukan oleh bala tentara Jepang melalui penandatanganan kapitulasi Kalijati Subang 8 Maret 1942. Ia memutuskan untuk tetap berada di Hindia Belanda. Laksamana Helfrich masih mengenang ucapan Gubernur Jenderal Tjarda sebagaimana dikutip dari Ong Hok Ham, Runtuhnya Hindia Belanda (2014), “Dit is get droevig einde van een moedige strijd, Admiral. Dit oogenblik oentroert mij. Ik bliff, en wens U success...” (Ini adalah akhir yang menyedihkan dari perjuangan yang gigih Laksamana. Saya tetap disini dan memberi doa restu pada Tuan,….”)
Pidato tersebut untuk menyeru dan memberi semangat semua golongan di HIndia Belanda untuk bersama-sama membangun imperium Hindia Belanda.
Siapa sebenarnya Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer ini. Dalam historiografi Indonesia ia sebatas tercatat sebagai gubernur jenderal terakhir dari kerajaan Belanda di wilayah Hindia Belanda. Namanya di kalangan pergerakan kebangsaan dikenang sebagai sosok yang tetap menegaskan representasi kekuasaan kolonial. Walau sebelumnya ia di-gadhang-gadhang oleh kalangan nasionalis sebagai sosok yang akan berbeda dengan gubernur jenderal sebelumnya De Jonge (1931-1936) yang dikenal konservatif reaksioner. Toh tipikal representasi kolonial mengemuka, saat ia mengabaikan (tidak memberikan dukungan atau menolak) petisi yang dilayangkan Soetardjo Kartohadikoesoemo soal tuntutan pemberian otonomi kepada Hindia Belanda.
Sebaliknya bagi warga Belanda atau mereka yang hidup dalam tatanan kehidupan Eropa di Hindia Belanda, sosok Gubernur Jenderal Tjarda, dikenang sebagai personal yang berpidato di corong radio dengan judul pidato Nederlands zal Herrijzen ! (Belanda Akan Bangkit Kembali). Pidato tersebut untuk menyeru dan memberi semangat semua golongan di HIndia Belanda untuk bersama-sama membangun imperium Hindia Belanda. Kita tahu pidato itu diserukan Gubernur Jenderal setelah tanah airnya, Belanda keok dilumat pasukan Nazi Jerman, awal bulan Mei 1940 hingga sang Ratu Wilhelmina mengungssi ke London Inggris.
Perspektif dari Dalam Jendela Kantor Gubernur
Memahami sosok Gubernur Jenderal pamungkas Hindia Belanda sebagaimana ajakan penulisnya harus dari berbagai perspektif seperti tekanan kepentingan kolonial yang punya relasi kuat dengan struktur kolonial dan kondisi global saat itu. Mengingat Gubernur Jenderal Tjarda yang bernama lengkap Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer berada pada pusaran yang tak bisa dilepaskan dari struktur kolonial, terlepas dari ekspetasi yang tinggi terhadapnya oleh tokoh pergerakan seperti Sjahrir.
Berbeda dengan De Jonge yang merupakan seorang Gubernur Jenderal yang sangat dekat dengan partai Christelijk Historische Unie (CHU), Tjarda terlahir dari keluarga diplomat priyayi tinggi dari Groningen. Ayahnya menjadi penguasa daerah yang berkaitan dengan kerajaan Belanda. Tak heran jika Tjarda beroleh pendidikan terbaik seperti gymnasium Groningen dan melanjutkan di Universitas Groningen dengan mengambil spesialisasi hukum. (hlm 40-43) Sebelum menjadi Gubernur Jenderal, Tjarda merupakan Duta Besar untuk Belgia.
Buku ini memang tidak membahas biografi dari Tjarda seperti biografi Jenderal Spoor Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir (2015) karya J.A de Moor. Namun penulis buku ini, yang notabene sejarawan muda lulusan Universitas Indonesia, lebih membahas soal kebijakan dan proses sang Gubernur Jenderal sebagai representasi dari pemikiran, juga latar belakang dan kondisi yang melingkupinya. (hlm 10) Sehingga keseluruhan buku ini menguraikan keputusan politik yang diambil oleh Gubernur Jenderal Tjarda.
Melalui pembacaan arsip-arsip kolonial, Christoper Reinhart yang nota bene adalah asisten peneliti sekaligus sejarawan Peter Carey ini membuka perspektif kebijakan dan sisi yang terlupakan dari Tjarda.
Dalam beberapa hal keputusan/kebijakan umum mencerminkan Tjarda sebagai perpanjangan kepentingan struktur kolonial. Membaca keseluruhan buku ini, perspektif yang ditawarkan berbeda jika membaca studi sebelumnya dari perspektif historiografi Indonesia. Tentang ini bisa dibandingkan dengan studi klasik Ong Hok Ham tentang Runtuhnya Hindia Belanda. Dalam perdebatan pandangan antara pendekatan Eropasentris dan Indonesiasentris, penulis buku ini menghadirkan perspektif baru yang disebuitnya sebagai pendekatan yang bertumpu pada pendekatan transnasional yang melintas batas geopolitik suatu negara. (hlm 10)
Melalui pembacaan arsip-arsip kolonial, Christoper Reinhart yang nota bene adalah asisten peneliti sekaligus sejarawan Peter Carey ini membuka perspektif kebijakan dan sisi yang terlupakan dari Tjarda. Seperti soal tindakannya yang mengupayakan advokasi kepentingan-kepentingan bumiputera dengan caranya sendiri. Seperti pembebasan tahanan politik yang semula berjumlah 1.300 orang. Pada akhir tahun 1936 tersisa 400 orang yang tersebar di Boven Digoel dan pengasingan lainnya yang tersebar di Hindia Belanda. (hlm 48)
Selain itu Gubernur Jenderal Tjarda juga mengurangi peran kelembagaan Politieke Inlichtingen Dienst (PID). PID sebagaimana kajian Harry A. Poeze , Political Intelligence in Netherlands Indies (1994) merupakan aparat pemerintah yang mengawasi hingga memberangus pergerakan nasional sebagaimana terjadi saat pemberontakan PKI 1926 di beberapa wilayah Jawa dan 1927 di Silungkang Sumatera Barat.
Integritas sebagai aparat yang menjaga netralitas dibuktikan Gubernur Tjarda saat ia menolak audiensi partai simpatisan NAZI di Belanda, Nationaal Socialistische Beweging (NSB) yang berkunjung di Hindia Belanda. Tjarda berargumen karena dirinya ingin menjaga netralitasnya dan menjaga jarak dari politik di Negeri Induk. (hlm 51)
Menelaah kebijakan Gubernur terakhir di koloni Hindia Belanda, penulis memulai untuk melihat dari dalam jendela-jendela kantor gubernur jenderal. Antara tugasnya untuk mempertahankan imperium di tengah tekanan kepentingan struktur kolonial yang melingkupinya. Sebelum tahun 1848 jabatan Gubernur Jenderal ada di bawah lembaga Komisi Kolonial, yang merupakan institusi hasil konsensus antara golongan liberal dan konservatif di Belanda. (hlm 67) Sesudah tahun 1848 atasan dan sekaligus perpanjangan kekuasaan Kerajaan Belanda ada di tangan Menteri Kolonial yang berpengaruh. Struktur kolonial kembali bertambah saat tahun 1916 muncul lembaga Volksraad.
Kemenangan Diplomasi Akhir Jatuhnya Hindia Belanda
Menjelang pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Tjarda tetap menjalankan sebagai wakil imperium Belanda di Asia. Memasuki tahun 1940 beberapa peristiwa politik turut mempengaruhi kebijakan, seperti penyerangan Nazi Jerman atas Negeri Belanda serta tuntutan koalisi partai (Gabungan Aksi Partai Indonesia) soal tuntutan Indonesia Berparlemen. Serta sikap kalangan pergerakan tentang Jepang dan fakta sejarah yang mengungkap hubungan tokoh-tokoh pergerakan dengan Kekaisaran Jepang sebelum meletus Perang Pasifik 1941. Salah satunya seperti dikuatkan studi klasik Hary J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit : Islam Pada Masa Pendudukan Jepang (1980) pada tanggal 9-29 November 1939 kantor Dai Nippon Kaiky Kyokai mensponsori Pameran Islam di Tokyo dan Osaka, yang mengundang tokoh-tokoh Islam Asia. Ada Mohammad Hatta dalam kegiatan tersebut.
Dari pembacaan keseluruhan buku ini ada satu relevansi yang bisa diambil soal menjaga marwah tugas seorang pejabat tinggi.
Kemenangan terakhir Tjarda van Starkenborgh Stachouwer saat penandatangan kapitulasi Kalijati 8 Maret 1942. Ia membiarkan kefatalan Jenderal Immamura bahwa Tjarda tidak menyerahkan kekuasaan sipil ke Jepang, sehingga secara diplomasi Jepang hanya berhak atas kekuasaan militer. (hlm 103) Inilah substansi kemenangan seorang Gubernur Jenderal Tjarda mengemban tugas mempertahankan imperium dan buku ini memang eulogi bagi Tjarda seperti kutipan puisi berbahasa Belanda seorang gadis Belanda saat bersama dengan istri Tjarda , Christine Marburg di kamp konsentrasi :
In donken dagen toen zo velen vloden
Heeft het bericht, dat Gij ons niet verliet
Ons grote steun verleend in onze noden….
(Di hari-hari yang gelap , ketika begitu banyak yang lari
Berita bahwa Anda tidak meninggalkan kami
Memberi kami kekuatan dalam derita ini)
Dari pembacaan keseluruhan buku ini ada satu relevansi yang bisa diambil soal menjaga marwah tugas seorang pejabat tinggi. Dari perspektif historiografi, buku ini menjadi jawaban atas sisi kelemahan dan kelebihan pendekatan penulisan sejarah Indonesiasentris dan Eropasentris atas studi kolonial.
Wijanarto Penulis bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes
Judul Buku : Mempertahankan Imperium, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stauchouwer dan Akhir Hindia Belanda
Penulis : Christopher Reinhart
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : November 2021
Jumlah halaman : ix + 126 halaman
ISBN : 978-602-0788-20-3