Dari sisi kebencanaan, dua hal seperti terabaikan dalam rencana IKN. Pertama, banyaknya sesar pasif, yang berpotensi longsor. Sesar-sesar ini kurang dipetakan pada skala mikro. Kedua, persoalan air.
Oleh
FAHMI AMHAR
·4 menit baca
Membangun sebuah bagian kota, khusus untuk orang-orang yang bisa membayarnya, adalah sesuatu. Namun, di Indonesia, banyak yang berpengalaman melakukannya. Ada Ciputra, Sinarmas, Sumarecon, dan lain-lain. Hasilnya BSD, Sentul City, Jababeka, dan sebagainya. Jika dibuat pelevelan, ini level 1.
Sementara membangun kota yang terbuka, tak cuma untuk orang-orang kaya, tetapi juga inklusif untuk aneka penduduk, termasuk yang sebelumnya sudah diam di situ dan berinteraksi harmonis dengan sekitarnya, adalah hal lain. Harus melibatkan DPRD, akademisi, pengusaha, masyarakat, bahkan daerah sekitarnya. Ini level 2.
Apalagi membuat ibu kota negara, pusat saraf pemerintahan, yang mengakomodasi keanekaragaman etnik, agama, status sosial, juga kota yang cerdas, hijau, rendah emisi, dan lain-lain, jelas ”sesuatu banget”. Ini level 3.
Maka, memindahkan ibu kota negara ini berbeda dengan pada masa revolusi dulu. Berbeda pula dengan istana musim panas dan musim dingin di era kerajaan. Di Indonesia belum ada yang berpengalaman. Bahkan, karena ini perpindahan ibu kota antarpulau yang berjauhan, dengan kondisi geo-bio-fisik, infrastruktur, ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang amat berbeda, di dunia, siapa yang telah berpengalaman?
Maka, meski Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) sudah disahkan, pro-kontra masih berlanjut. Belum sebulan, UU IKN sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Jakarta memang berada di kawasan rawan bencana.
Kalau melihat argumentasi yang pro, sepertinya tak ada yang perlu dibantah. Jakarta memang berada di kawasan rawan bencana. Jawa ada dikawasan cincin api. Di Jawa berjajar gunung berapi aktif. Ada sesar aktif rawan gempa melewati Jakarta. Ancaman banjir juga belum selesai. Ditambah penurunan muka tanah (landsubsidence) yang membuat Jakarta dijuluki sinking city oleh Joe Biden.
Namun, itu belum cukup. Pulau Jawa yang hanya 7 persen Indonesia dihuni 55 persen populasi. Over-urbanisasi di Jakarta dan sekitarnya sangat tinggi. Dampaknya macet tiap hari, polusi, masalah pengangguran, dan keamanan.
Jakarta memang sudah lama tidak ideal lagi sebagai sebuah kota, apalagi ibu kota negara.
Selain itu, kita juga tak menutup mata pada pertumbuhan ekonomi yang timpang. Kita ingin luar Jawa, khususnya Indonesia timur, juga tumbuh.
IKN di Kalimantan Timur dipandang memadai. Secara spasial, ia berada paling tengah meski di dunia tak ada keharusan ibu kota berada di posisi tengah. IKN juga dekat dengan Samarinda dan Balikpapan, kota-kota yang sudah mapan. Infrastruktur seperti bandara dan pelabuhan sudah lengkap, dan ada lahan ratusan ribu hektar yang dikuasai pemerintah.
Namun, kemudian masyarakat melihat, RUU IKN ini diputuskan terlalu cepat. Pelibatan masyarakat tak seperti biasanya. Kajiannya kurang inklusif dan karena itu kurang komprehensif. Padahal, UU ini sangat strategis. Kalau baik, dia akan mewarnai negeri ini ratusan tahun ke depan. Namun, kalau buruk, dia akan membebani rakyat ratusan tahun ke depan.
Argumentasi kontra
Ternyata dari sisi kebencanaan, dua hal seperti terabaikan. Pertama, banyaknya sesar pasif yang, meski tak berpotensi gempa, berpotensi longsor. Sesar-sesar ini kurang dipetakan pada skala mikro.
Kedua, persoalan air. Kondisi tanah lempung yang kurang menyerap air membuat kalau musim hujan banjir, dan jika kemarau air tanah langka. Musim kemarau juga sering diwarnai bencana asap akibat kebakaran liar di beberapa wilayah Kalimantan seperti selama ini.
Dari sisi pertahanan, IKN ini langsung di tepi Alur Laut Kepulauan Indonesia. Ini artinya, kedatangan kapal-kapal musuh bisa terlambat ditangkal. Tak seperti Jakarta yang relatif lebih terlindungi. Perlu gelar pasukan TNI yang berbeda.
Biaya pembangunan IKN juga rentan membengkak karena mengandalkan asumsi yang terlalu sederhana. Apalagi proyeksi itu belum menyertakan biaya transisi selama perpindahan, dan biaya adaptasi yang harus ditanggung masyarakat yang perlu layanan pemerintah pusat. Pada masa transisi nanti akan banyak pejabat dan ASN yang berkantor di IKN, tetapi setiap akhir pekan ”pulang” ke Jakarta.
Sementara bagi masyarakat yang harus berurusan dengan pemerintah pusat di IKN, semua hanya menimbulkan biaya tinggi. Ini rentan melecut gelombang ketidakpuasan dan animo disintegrasi dari NKRI.
Mungkin pihak pro-IKN mengatakan, nantinya proses bisnis akan lebih banyak dilakukan dengan teknologi. Selama pandemi ini kita sudah banyak belajar melakukan pekerjaan dari rumah. Sidang kabinet juga sudah sering dilakukan secara daring.
Nah, sepertinya IKN ini masih mengabaikan potensi teknologi 4.0 yang sudah tersedia saat ini. Padahal, hari ini, yang lebih penting adalah kehadiran para pemimpin negara yang lebih masif di ”awan”. Banyak istilahnya, dari cloud governance, Indonesia cyberspace, hingga NKRI metaverse.
Secara fisik, Presiden boleh saja berkantor di Istana Bogor atau Istana Tampaksiring, Bali. Menteri dan jajarannya berkantor di mana pun yang mereka nyaman, aman dari macet, banjir, dan bencana lainnya. Sementara anggota DPR berkantor di daerah pemilihan masing-masing.
Mereka siap bertemu di dunia maya setiap dibutuhkan. Diamankan dari serangan siber apa pun. Menerapkan blockchain untuk menjamin kepercayaan (trust) dari semua pihak. Meskipun bertemu secara maya, output-nya riil secara fisik di masyarakat.
Dengan cara ini, megaproyek IKN ini menjadi tidak mahal lagi. Tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan meroketkan utang. Tidak rawan mangkrak. Dan tidak bisa lagi diduga sarat kepentingan asing atau oligarki.
Fahmi Amhar, Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial