Melihat Ukraina dari Kacamata Rusia
Kalau pada akhirnya pecah perang, tujuannya adalah untuk menegaskan kembali kendali dan pengaruh Rusia di Ukraina yang disebutnya sebagai ”tanah Rusia”. Orang Ukraina dan Belarusia biasa disebut ”orang Rusia Kecil”.
Perang tidak selalu merupakan produk dari ambisi ofensif. Beberapa perang dimulai ketika tindakan defensif satu negara dianggap mengancam oleh negara lain serta menghasilkan spiral aksi dan reaksi.
Masing-masing pihak percaya bahwa tindakan yang dilakukannya adalah wajar dan perlu. Masing-masing menyalahkan yang lain atas agresi dan menuntut penghormatan atas garis merah keamanannya.
Akan tetapi, apa sesungguhnya yang terjadi di Ukraina sekarang ini? Menurut kacamata Barat, pemicu krisis Ukraina saat ini adalah Rusia, sifat agresif Rusia. Argumennya, sejak tahun 2014, Rusia meningkatkan kehadiran militernya di Crimea, wilayah Ukraina.
Tindakan itu dikecam oleh masyarakat internasional. Bahkan, Majelis Umum PBB pada 7 Desember 2020 mengeluarkan resolusi yang menegaskan bahwa Crimea adalah wilayah Ukraina, mengecam ”pendudukan tersebut”, dan tak mengakui aneksasi itu.
Masuknya tentara Rusia ke Ukraina terjadi setelah Presiden Ukraina Viktor Yanukovych, yang pro-Moskwa, digulingkan pada Februari 2014. Namun, banyak pihak yang berpendapat bahwa penggulingan Yanukovych hanya sebagai dalih atas keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menggerakkan tentaranya ke Ukraina, yang merupakan cita-cita lama.
Maka, ketika kini menurut berita yang tersiar pasukan Rusia ada di dekat perbatasan Ukraina bagian timur, hal itu dianggap sebagai upaya Rusia untuk menuntaskan sisanya (wilayah Ukraina yang lain), menguasai Ukraina.
Menurut kacamata Barat, pemicu krisis Ukraina saat ini adalah Rusia, sifat agresif Rusia.
Tentu, pandangan lewat kacamata Barat itu berbeda dengan pandangan Moskwa, yang akan melihat bahwa Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, Eropa Barat, memiliki andil besar dalam menciptakan krisis Ukraina sekarang ini.
Ada tiga akar masalah yang memberikan sumbangan besar bagi krisis Ukraina. Pertama, perluasan keanggotaan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Kedua, ekspansi Uni Eropa. Dan, ketiga, promosi demokrasi oleh Barat ke wilayah-wilayah bekas republik Uni Soviet, termasuk Ukraina.
”Tanah Rusia”
Dengan rontoknya Uni Soviet pada tahun 1991, Rusia kehilangan kontrol atas 14 bekas republiknya. Akan tetapi, bagi Rusia, kehilangan Ukraina bagaikan menelan pil yang begitu pahit. Dewan legislatif Ukraina pada 16 Juli 1990 memproklamasikan kedaulatan Ukraina.
Kemudian, pada 24 Agustus 1991, Ukraina menyatakan merdeka. Sebuah langkah politik yang kemudian ditegaskan oleh plebisit pada 1 Desember 1991. Dan, dengan pembubaran Uni Soviet pada Desember 1991, Ukraina memperoleh kemerdekaan penuh.
Baca juga: Hujan Sanksi Barat dan Dampak Pukulannya bagi Rusia
Mengapa dengan kehilangan Ukraina, Rusia seperti menelan pil sangat pahit? Kedua negara sejak abad kesembilan sudah ada hubungan ketika Kiev menjadi ibu kota Kyivan Rus, negara Slavic timur pertama yang pada abad ke-10 dan ke-11 merupakan negara terbesar dan terkuat di Eropa. Pada tahun 988, penguasa Kyivan Rus, yakni Pangeran Agung Vladimir, memperkenalkan Kristen Ortodoks ke Rusia.
Lebih dari 700 tahun kemudian, pada 18 Januari 1654, Rusia dan Ukraina menandatangani Perjanjian Pereyaslav (PerejasLaw). Perjanjian yang dilakukan Rada (Dewan) tentara Cossack di Ukraina ini menjadi dasar penyerahan Ukraina ke kekuasaan Rusia yang ketika itu di bawah kekuasaan Tsar Alexis (1629-1676).
Kedua negara berbicara bahasa yang dekat, bisa saling memahami. Banyak orang Rusia merasakan hubungan yang istimewa dengan Ukraina; suatu perasaan yang tidak mereka rasakan dalam hubungan dengan negara-negara bekas Uni Soviet lainnya di Baltik, Kaukasus, dan Asia Tengah.
Karena itu, Putin dalam sebuah artikel, 12 Juli 2021, ”On the historic unity of Russians and Ukrainians” yang dipublikasikan di laman Kremlin menyatakan, Rusia dan Ukraina adalah satu bangsa yang berbagi ”satu ruang bersejarah dan spiritual”. Dan, munculnya ”tembok” di antara mereka beberapa tahun terakhir adalah tragis.
Meskipun Putin menyebut karyanya ”analitis dan berdasarkan fakta sejarah, peristiwa, dan dokumen”, hal itu memunculkan diskusi di kalangan sejarawan. Beberapa menyatakan bahwa dalam artikel itu ”ada kesalahan mendasar”, ”manipulasi”, dan ”fobia”. Kiev juga menolak tegas argumen Putin tersebut dan menyatakan, apa yang dikatakan Putin sebagai argumen versi sejarah yang bemotivasi politik dan terlalu disederhanakan.
Artikel Putin itu ditanggapi koran Inggris, Observer (5/12/2021): ”Rusia berpandangan bahwa Ukraina adalah wilayah curian (dicuri dari Rusia) yang memiliki hak alami telah berakar pada zaman Tsar dan sebelumnya. Orang Ukraina (dan orang Belarusia) biasa disebut ’orang Rusia Kecil’.”
Narasi pribumi menekankan sejarah bersama dan keyakinan bersama yang menghubungkan dua ras Slavia timur yang bersaudara. Putin telah berulang kali menyatakan, ”Rusia dan Ukraina adalah satu bangsa”.
Karena itu, obsesi Putin terhadap Ukraina yang disebut sebagai ”tanah Rusia” adalah diambil kembali. Diambil kembali dari kekuasaan pengaruh AS dan negara-negara Eropa sekutunya. Karena Ukraina adalah ”tanah Rusia”, Rusia berhak memutuskan masa depannya dan menjadi seperti apa.
Karena itu, obsesi Putin terhadap Ukraina yang disebut sebagai ”tanah Rusia ” adalah diambil kembali.
Dunia Rusia menyatakan orang-orang Ukraina (orang-orang Rusia Kecil) dan orang-orang Belarusia (orang-orang Rusia Putih) di bawah kepemimpinan Rusia (Rusia Raya). Inilah yang oleh Putin—seperti di era para Tsar—sebagai bangsa pan-Rusia atau obshcherusskiy narod (Taras Kuzio, 2022).
Selain itu, setidaknya sepertiga dari seluruh penduduk Ukraina (sekitar 44 juta jiwa) sebagian besar tinggal di bagian timur yang dekat dengan perbatasan Rusia, berbicara bahasa Rusia, dan merasa sebagai orang Rusia. Orang Ukraina yang tinggal di bagian barat dan utara juga berbicara bahasa Rusia secara luas.
Makna geostrategis
Maka dari itu, perluasan NATO ke timur dipandang Moskwa sebagai sebuah ancaman nyata. Sejak Perang Dingin berakhir, NATO telah memperluas ke timur dengan mengambil di 14 negara baru, termasuk negara-negara bekas Pakta Warsawa dan tiga negara Baltik (Estonia, Latvia, dan Lituania) yang pernah menjadi bagian republik Soviet.
Perluasan itu oleh Moskwa dianggap sebagai pelanggaran, yakni melanggar ”garis merah”. Selama ini Rusia selalu menyatakan bahwa AS dan NATO telah berjanji tidak akan berekspansi ke timur, di luar perbatasan bekas Jerman Timur, di akhir era Perang Dingin.
Sejak penyingkiran Presiden Ukraina yang pro-Moskwa pada tahun 2014, Ukraina bergerak makin mendekati Barat.
Rusia berasumsi bahwa negara-negara itu tidak dapat memilih sendiri aliansi (militer) mana yang akan mereka masuki. Sementara AS dan NATO berpendapat bahwa Rusia tidak dapat memutuskan siapa yang bergabung dengan aliansi militer itu. Negara-negara itu memiliki kebebasan penuh untuk memilih. Namun, Rusia tidak bisa menerima itu (Alexandra M Vacroux, 2022).
Ukraina bukan (belum) anggota NATO. Tetapi, pada KTT NATO di Bucharest, Romania (2008), dikeluarkan sebuah deklarasi yang menyatakan, ”NATO menyambut baik aspirasi Georgia dan Ukraina untuk menjadi anggota NATO. Kami hari ini menyetujui bahwa negara-negara itu akan menjadi anggota NATO.”
Sejak penyingkiran Presiden Ukraina yang pro-Moskwa pada tahun 2014, Ukraina bergerak makin mendekati Barat. Bahkan, ikut latihan militer bersama NATO dan menerima bantuan rudal anti-tank Javelin dari AS dan pesawat tak berawak dari Turki yang merupakan anggota NATO.
Tentu hal itu membuat Moskwa tidak sangat senang. Rusia memiliki kepentingan strategis untuk tetap menguasai Ukraina. Dengan tetap mengontrol Ukraina, maka Rusia akan tetap mempertahankan Ukraina sebagai buffer antara NATO, Uni Eropa, dan Rusia. Jelas bagi Rusia, Ukraina memiliki nilai strategis penting. Ukraina (juga Belarusia) menjadi pintu masuk dari Eropa ke Rusia.
Karena itu, kalau pada akhirnya pecah perang, tujuannya adalah untuk menegaskan kembali kendali dan pengaruh Rusia di Ukraina yang disebutnya sebagai ”tanah Rusia”. Dan, bagi Moskwa, perang hanya bisa diurungkan kalau: NATO mengakhiri ekspansinya, kembali sebelum ekspansi, dibongkarnya senjata nuklir AS dari Eropa, dan penegasan kembali wilayah pengaruh Rusia.
Rusia tetap akan berusaha keras bahwa sekurang-kurangnya tiga negara—Ukraina dan Belarusia (pintu barat) serta Georgia (pintu selatan)—tidak akan pernah masuk dan menjadi bagian dari blok militer dan ekonomi Barat, tetapi tetap dapat dikendalikan oleh Moskwa. Rusia telah kehilangan tiga negara Baltik.
Maka, jika Ukraina, juga Belarusia, bergabung juga (dengan NATO dan Uni Eropa), front Barat Rusia akan tampak lebih lemah dan tidak aman di mata Kremlin. Namun, apakah Ukraina—juga Belarusia—akan segera menjadi anggota NATO, yang berarti akan memicu konflik besar? Rasanya, untuk saat ini, selagi Ukraina masih ”menjadi wilayah panas”, mimpinya menjadi anggota NATO masih harus melalui malam panjang.
Apabila hal itu terjadi, maka akan melegakan Putin yang ingin menegaskan kembali kendali dan pengaruhnya di Ukraina yang disebutnya sebagai ”tanah Rusia”, tentu demi pertimbangan geostrategis. Dan, selama dia berkuasa tidak akan semakin ”dipermalukan” karena negara-negara bekas Uni Soviet akhirnya berturut-turut masuk ke Barat.
Trias Kuncahyono,Wartawan Senior