Anak tidak ada dalam posisi yang dapat memberikan persetujuan jika berkaitan dengan hubungan seksual. Sekalipun anak memberikan persetujuan, ini termasuk pemerkosaan.
Oleh
LIA ANGGIASIH
·4 menit baca
Kekerasan seksual terhadap anak masih terus terjadi, bahkan menunjukkan peningkatan jumlah kasus pada tahun 2021. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melaporkan ada 6.980 kasus kekerasan seksual atau sekitar 45 persen dari jumlah kasus kekerasan terhadap anak secara keseluruhan yang mencapai 12.566 pada tahun lalu.
Kekerasan seksual terjadi di berbagai tempat, mulai dari area publik, sekolah, tempat ibadah, di dalam rumah, sampai di dunia digital, baik di kota yang sangat modern maupun di desa, bahkan di wilayah yang tertinggal sekalipun. Pelaku juga beragam, mulai dari orang terdekat di dalam keluarga, seperti ayah, paman, atau kakek, hingga orang yang baru dikenal di media sosial.
Pelaku kekerasan seksual banyak yang berkelit membela diri dengan mengatakan ”sudah mendapatkan izin korban”, seolah-olah tidak ada yang salah dengan perbuatan mereka. Dengan tegas kami mengingatkan bahwa persetujuan untuk berhubungan seksual dengan anak tidak dapat dibenarkan. Anak tidak ada dalam posisi yang dapat memberikan persetujuan jika berkaitan dengan hubungan seksual.
Di beberapa negara ada istilah age of consent atau usia ketika anak dianggap sah untuk memberikan persetujuan seksual di luar pernikahan. Di negara yang tidak mengenal istilah tersebut, age of consent mengikuti usia sah menikah berdasarkan Undang-Undang Perkawinan negara tersebut, di Indonesia adalah 19 tahun. Maka, jika ada orang dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan anak, dia dapat dianggap melakukan perkosaan meskipun sudah mendapat persetujuan dari anak tersebut.
Dalam beberapa kasus eksploitasi seksual yang melibatkan anak usia SMP dan SMA, pelakunya mengatakan bahwa anak setuju karena mereka menerima imbalan yang ditawarkan. Hal ini sering terjadi dan membuat orang lupa bahwa anak-anak memang sedang berada di usia belajar untuk mengambil keputusan.
Menurut psikolog perkembangan Elizabeth B Hurlock, puncak perkembangan intelektual seseorang terjadi pada usia 20-25 tahun. Sementara mengacu pada American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, remaja kerap mengambil keputusan atau melakukan tindakan tidak masuk akal, berisiko tinggi, berbahaya bagi orang dewasa. Hal ini disebabkan perkembangan otak remaja belum optimal, yang membuat tindakan mereka didasari oleh dorongan sesaat, cenderung tidak banyak mempertimbangkan konsekuensi.
Mengambil keuntungan di saat remaja ini sedang belajar mengambil keputusan adalah perbuatan biadab yang tidak dapat dibenarkan. Maka, layak sebetulnya jika pelaku kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak ini mendapatkan hukuman tambahan karena manipulasi yang mereka lakukan.
Maka, layak sebetulnya jika pelaku kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak ini mendapatkan hukuman tambahan karena manipulasi yang mereka lakukan.
Sayangnya, kurangnya pemahaman tentang kekerasan seksual membuat orangtua umumnya cenderung tidak menganggap serius laporan dari anak. Sering kali mereka menganggap anak-anak mengarang cerita atau berhalusinasi. Belum lagi jika pelaku berasal dari keluarga, orang yang disegani, atau tetangga sendiri. Maka, cenderung pengaduan anak tidak ditindaklanjuti sampai ke aparat penegak hukum.
Penegak hukum juga sering kali salah memersepsikan restorative justice sebagai upaya damai bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Restorative justice seharusnya merupakan upaya damai yang dilakukan untuk mengakomodasi anak yang secara hukum dinyatakan melakukan pelanggaran, bukan untuk memudahkan pelaku kekerasan seksual dewasa terhadap anak agar mereka dapat lari dari tanggung jawab hukumnya.
Kekerasan seksual terhadap anak adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Maka, tidak seharusnya pelakunya mendapatkan ampunan, apalagi kalau sampai dinikahkan dengan korban. Tidak ada keadilan yang didapatkan korban dari menikah dengan pelaku. Yang dia dapatkan adalah justru trauma yang berulang karena di dalam lembaga perkawinan dia harus diperkosa secara legal oleh pelaku kekerasan seksualnya.
Sementara itu, saat ini Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sudah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR. RUU yang secara komprehensif diharapkan memberikan perlindungan, penanganan, pemulihan bagi korban. Namun, dalam draf revisi RUU TPKS tidak ada pasal yang spesifik menyebutkan pengecualian terhadap persetujuan yang diberikan oleh anak.
Kelak jika RUU ini sudah disahkan, kami berharap penegak hukum tetap mengingat bahwa sekalipun anak telah memberikan persetujuan, hal tersebut tetap masuk dalam pasal perkosaan karena persetujuan anak tidak berlaku. Hal lain lagi yang perlu berkali-kali ingin kita sampaikan, bahwa restorative justice adalah upaya hukum alternatif yang tidak seharusnya digunakan untuk semakin memberikan kerugian terhadap korban, terutama anak.
Dengan semangat yang sama, kita dukung pemerintah untuk memastikan RUU TPKS menawarkan perlindungan anak dari kekerasan seksual.
Lia Anggiasih, Analis Kebijakan Publik Wahana Visi Indonesia