Di tengah ingar-bingar pemanasan politik tahun ini, kita perlu kembali ke pangkal: menata ulang model koalisi politik di dengan mendorong koalisi dini yang lebih produktif dan sehat berdasarkan kesamaan ide dan platform.
Oleh
ARYA FERNANDES
·6 menit baca
Di tengah riuh rendah pemanasan politik menjelang Pemilu 2024, kita perlu memikirkan format dan skenario baru pola koalisi antarpartai. Koalisi politik selama ini cenderung tak punya pijakan platform politik yang sama dan dilakukan terburu-buru menjelang pendaftaran calon. Padahal, untuk membuat perencanaan politik jangka panjang, dibutuhkan platform bersama antarpartai untuk berinteraksi sebelum masa pemilihan. Salah satu caranya dengan membentuk koalisi dini pilpres.
Jika mengacu pada rencana jadwal pemilu yang diusulkan oleh KPU, pendaftaran capres memang baru akan dilakukan pertengahan September tahun depan. Namun, pemanasan politik sudah dimulai. Hal itu tampak dari safari politik para kandidat presiden dan bermunculannya prediksi dan tren elektabilitas calon presiden yang terekam dari banyak publikasi hasil survei opini publik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Di tengah pemanasan politik ini, untuk saat ini, nama-nama yang akan dicalonkan secara resmi oleh partai dapat dibilang masih buram dan belum pasti. Ketidakpastian itu akan memengaruhi fluktuasi tingkat elektabilitas tiap-tiap kandidat. Suara pemilih mungkin baru akan mantap jika sudah ada sinyal kepastian dari partai untuk mencalonkan seseorang.
Dari sisi peluang pencalonan, potensi untuk bisa dicalonkan oleh koalisi partai setidaknya harus memenuhi dua hal utama: elektabilitas dan dukungan partai politik.
Dari sisi peluang pencalonan, potensi untuk bisa dicalonkan oleh koalisi partai setidaknya harus memenuhi dua hal utama: elektabilitas dan dukungan partai politik. Saat ini muncul beberapa kondisi.
Pertama, terdapat calon-calon yang mendapat dukungan partai karena posisi sebagai ketua umum atau elite partai, tetapi memiliki elektabilitas yang rendah.
Kedua, terdapat calon yang memiliki elektabilitas tinggi (di atas 10 persen), tetapi masih mencari dukungan partai.
Ketiga, calon memiliki dua prasyarat itu, tetapi mengalami gejala stagnasi elektabilitas.
Kondisi yang rumit itu mungkin membuat parpol masih menahan diri memberikan dukungan kepada kandidat presiden. Namun, menurut hemat saya, partai harus mencari solusi untuk mengurangi ketidakpastian politik. Dalam kasus AS, pelaksanaan pemilihan pendahuluan (kaukus) dan konvensi capres memberikan kepastian pencalonan bagi capres.
Dalam waktu dekat, belum adanya kepastian siapa yang akan didukung partai akan berpengaruh pada beberapa hal. Di level pemilih, persentase pemilih bimbang dan mengambang diprediksi masih membesar. Sebagian pemilih memutuskan wait and see, menunggu adanya calon definitif. Di tingkat partai, cukup susah meningkatkan soliditas pemilih partai.
Beberapa hasil survei menunjukkan sebagian besar suara pemilih partai belum solid pada kandidat tertentu dan masih menyebar ke banyak nama. Sementara pada level kandidat, belum adanya kepastian membuat kandidat masih menahan diri melakukan sosialisasi dan bimbang apakah akan mencalonkan diri sebagai presiden atau maju di pilkada gubernur.
Untuk memberikan ruang yang banyak bagi kandidat dalam melakukan sosialisasi dan kesempatan publik untuk mengenal kandidat, partai bisa menginisiasi pembentukan koalisi dini antarpartai pada Pemilu 2024. Gagasan koalisi dini bisa memunculkan komitmen partai untuk mendorong kebijakan politik tertentu jika nanti berhasil memenangi pemilihan.
Selain itu, partai-partai juga terdorong untuk membangun koalisi berdasarkan kesamaan platform, ideologi, atau program. Dengan adanya koalisi dini, capres dapat sedini mungkin membicarakan arah portofolio kabinet ke depan dan prioritas program pemerintahan. Koalisi lebih dini dapat menghindari munculnya free rider yang baru bergabung saat pemerintahan baru akan dibentuk setelah pemilu selesai.
Dalam kasus Indonesia, tidak jelasnya arah koalisi eksekutif dan adanya kebutuhan presiden untuk mengamankan kebijakan di parlemen mendorong presiden terpilih mengakomodasi lebih banyak partai menjadi anggota koalisi. Presiden Joko Widodo, misalnya, berhasil meningkatkan dukungan politik di parlemen dari 34 persen kursi pada Oktober 2014 menjadi 63 persen kursi pada pertengahan 2016 (Mietzner, 2016).
Sementara pada periode kedua dukungan terhadap pemerintahan Jokowi meningkat lagi menjadi 81,91 persen kursi atau 471 dari 575 kursi DPR. Dampaknya, koalisi yang terlalu besar tentu membutuhkan resources yang banyak untuk memastikan koalisi dapat bertahan dalam waktu yang panjang (Bertholini dan Pereira, 2017).
Koalisi dini juga dipandang dapat mengeliminasi dampak buruk dari efek regulasi pendaftaran pasangan capres dan kepala daerah yang tinggi, yaitu 20 persen kursi atau 25 persen suara. Studi kasus pada koalisi-koalisi pilkada di daerah menunjukkan terjadinya fragmentasi politik yang tinggi akibat tidak diberlakukannya ambang batas parlemen 4 persen.
Sementara kombinasi fragmentasi politik yang tinggi dengan syarat pencalonan 20 persen membuat pembentukan koalisi menjadi sangat rumit. Efek sulitnya pembentukan koalisi ini membuat akhirnya kombinasi kandidat tak lagi berdasarkan platform/gagasan politik yang sama, tetapi untuk memenuhi minimal persyaratan pencalonan kepala daerah. Proses politik yang tak sehat ini menyebabkan hubungan yang kurang harmonis antara kepala daerah dan wakil kepala daerah hingga polarisasi di level SKPD yang mengganggu jalannya roda pemerintahan (CSIS, 2021).
Di level pusat kita perlu mendorong agar partai-partai bisa membuat inisiatif untuk mendorong koalisi dilakukan sedini mungkin guna memastikan kandidat punya waktu banyak untuk melakukan sosialisasi. Pola koalisi yang tak terencana tampak dalam beberapa pilpres, di mana skema koalisi dan dukungan partai bisa berubah pada menit-menit akhir menjelang pendaftaran pasangan calon.
Dengan dinamika politik yang sangat cepat berubah, memang tak mudah bagi partai untuk mendorong koalisi sejak awal. Karena itu, perlu didesain/dibicarakan insentif politik bagi partai-partai yang bersepakat mendorong pasangan tertentu dalam koalisi, misalnya pembicaraan bersama arah portofolio kabinet ke depan dan kebijakan strategis lain.
Dengan dinamika politik yang sangat cepat berubah, memang tak mudah bagi partai untuk mendorong koalisi sejak awal.
Adanya koalisi dini dapat membuat adanya pengikat di antara partai-partai sehingga bisa memengaruhi loyalitas dan disiplin anggota koalisi terkait kebijakan eksekutif. Koalisi dini juga diperkirakan bisa memberikan efek elektoral bagi suara partai dalam pemilu legislatif (coattail effect).
Saat ini, selain kepemimpinan presiden, politik distributif melalui program-program pork-barrel kepada partai-partai dianggap menjadi pengikat utama soliditas kabinet. Ini tentu tidak sehat bagi demokrasi kita, di mana pengikat koalisi bukan karena kesamaan agenda politik dan kebijakan, tetapi dorongan untuk mengakses sumber-sumber finansial melalui program-program pemerintah dalam skema APBN.
Faktor kandidat
Menjelang pilpres mendatang saya menduga faktor kandidat menjadi pendorong utama terbentuknya koalisi capres. Dalam dua kasus koalisi pilpres (2004 dan 2014), faktor kandidat presiden selalu menjadi penjelas penting dan menjadi jangkar koalisi dibandingkan faktor partai.
Dalam pilpres langsung pertama pada 2004, figur SBY bisa menjadi salah satu jangkar koalisi, padahal Partai Demokrat saat itu hanya mendapatkan 7 persen suara. Begitu juga dalam Pilpres 2014, figur Jokowi berhasil menjadi jangkar koalisi antarpartai.
Ada beberapa asumsi yang dapat menjelaskan mengapa peran aktor/kandidat menjadi krusial dalam pembentukan koalisi.
Pertama, kandidat yang populer dan yang berpeluang menang dapat menjadi magnet elektoral untuk meningkatkan perolehan suara partai dalam pemilu.
Kedua, posisi partai yang sama-sama seimbang, baik partai papan atas maupun menengah, sehingga tak mudah mencari titik temu koalisi.
Menjelang pilpres mendatang, saya menduga faktor kandidat menjadi pendorong utama terbentuknya koalisi capres.
Ketiga, faktor kandidat nonpartai, baik sebagai presiden maupun wakil presiden, dapat membuat negosiasi antarpartai menjadi lebih mudah karena dianggap tidak berpihak pada satu partai politik mana pun.
Keempat, tidak ada ketua umum partai yang memiliki tren elektabilitas yang tinggi, yang dapat membuat partai menjadi jangkar koalisi.
Selain kandidat, faktor pendorong koalisi lainnya adalah kesamaan ideologi dan platform. Studi Altman (2000) menunjukkan bahwa faktor kedekatan ideologi antara aktor politik serta distribusi kekuasaan yang fair dapat memengaruhi stabilitas koalisi. Di tengah ingar-bingar pemanasan politik tahun ini, kita perlu kembali ke pangkal: bahwa kita perlu menata ulang model koalisi politik di Indonesia dengan mendorong koalisi dini yang lebih produktif dan sehat berdasarkan kesamaan gagasan dan platform.
Arya Fernandes,Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Indonesia