Polemik data statistik yang dirilis pemerintah dapat diantisipasi jika ada auditor statistik independen untuk mengaudit data agar sinkron sebelum diterbitkan.
Oleh
BAMBANG SUHARNO
·5 menit baca
Polemik data statistik yang dirilis pemerintah kerap terjadi di Indonesia. Contohnya produksi jagung versi pemerintah mencapai 25 juta ton setahun, sementara USDA (Kementerian Pertanian Amerika Serikat) memprediksi data produksi jagung Indonesia “hanya” 12 juta ton.
Dunia usaha pertanian diduga lebih mempercayai data USDA. Logikanya, seandainya benar produksi mencapai 25 juta ton, hampir bisa dipastikan harga jagung akan jatuh akibat suplai berlebih (over supply). Hal ini karena produsen pakan sebagai pengguna jagung utama Indonesia hanya membutuhkan jagung sekitar 10 juta ton.
Belum lama ini Kemenko Perekonomian menyebutkan angka konsumsi telur masyarakat Indonesia sebesar 17-18 kilogram per kapita per tahun. Sementara itu Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) merilis angka konsumsi telur rumah tangga Indonesia sebesar 7 kg per kapita per tahun.
Seandainya benar konsumsi telur masyarakat Indonesia sebanyak 18 kg per kapita per tahun itu adalah prestasi luar biasa karena angka tersebut setara dengan konsumsi telur masyarakat Amerika Serikat. Namun lagi-lagi banyak pihak masih belum yakin dengan angka tersebut.
Dirunut ke belakang, angka konsumsi 18 kg itu berasal dari data produksi telur yang menyebutkan angka 5 juta ton setahun, dibagi populasi penduduk Indonesia sebanyak 273,5 juta orang. Pertanyaannya kemudian, benarkah produksi telur nasional sudah mencapai 5 juta ton?
Produksi telur naik tiga kali lipat?
Biro Pusat Statistik (BPS) melalui situs web bps.go.id menampilkan data perkembangan populasi ayam ras petelur dan produksi telur ayam ras yang sangat menarik. Terjadi kenaikan yang amat sangat tajam di tahun 2016-2017. Populasi ayam ras petelur naik dari 161 juta ekor (2016) menjadi 259 juta ekor (2017) alias naik 61 persen dalam setahun, sedangkan produksi telur naik dari 1,486 juta ton (2016) menjadi 4,633 juta ton (2017) atau naik sebesar 211 persen.
Keanehannya setidaknya ada dua hal, pertama, kenaikan yang sangat tinggi baik populasi maupun produksi. Apakah memungkinkan dalam satu negara terjadi kenaikan sebesar itu dalam setahun? Sedangkan dalam beberapa tahun sebelumnya tidak ada lonjakan impor bibit ayam (Grand Parent Stock/GPS).
Keanehan kedua, jika benar populasi naik 60 persen mengapa produksi naik 211 persen. Kalau dipukul rata berarti tahun 2016 satu ekor ayam petelur menghasilkan 8,8 kg telur setahun, sedangkan tahun 2017, satu ekor ayam menghasilkan 17,9 kg. Logiskah?
Keanehan kedua, jika benar populasi naik 60 persen mengapa produksi naik 211 persen.
Koreksi data berkali-kali
Menelusuri buku Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan(PKH) terbitan 2017 hingga 2021, terjadi keanehan koreksi data. Biasanya di buku statistik ada istilah “angka sementara” dan “angka tetap”. Misalkan buku terbitan 2017, data yang terbaru populasi dan produksi tahun 2017 disebut sebagai angka sementara, kemudian pada terbitan tahun 2018, angka tersebut dikoreksi dan dijadikan sebagai angka tetap. Artinya setelah setahun, data dianggap sudah benar, tidak diubah lagi.
Namun angka populasi dan produksi telur tahun 2017 dikoreksi mulai dari edisi 2018 hingga 2021. Buku Statistik PKH2017 menyebutkan, populasi ayam ras petelur tahun 2017 sebanyak 166,7 juta ekor, sedangkan menurut buku Statistik PKH 2018, populasi ayam ras petelur 2017 sebanyak 176,9 juta ekor.
Buku Statistik PKH 2019 menyebutkan, populasi ayam petelur 2017 sebanyak 258,8 juta, buku Statistik PKH 2021 berubah lagi angkanya menjadi 374 juta ekor. Terjadi perbedaan angka dengan selisih 208 juta ekor untuk populasi ayam petelur yang sama-sama tahun 2017 di buku Statistik PKH 2017 dan buku Statistik PKH 2021.
Bagi pembaca yang setiap tahun mencermati data statistik terbitan pemerintah, saya yakin akan bertanya-tanya mengapa terjadi hal seperti itu.
Data dan parameter kurang sinkron
Terjadi keanehan berikutnya. Dalam buku Statistik PKH dicantumkan parameter: populasi betina ayam produktif sebanyak 71,9 persen dari total populasi ayam ras petelur, dan satu ekor induk ayam ras petelur menghasilkan 215 butir telur per tahun
Menggunakan parameter tersebut berarti populasi 345 juta ekor, betina produktifnya sebanyak 248 juta ekor dan produksi telurnya sebanyak 3,3 juta ton. Ini jauh di bawah data produksi yang tercantum dalam buku yang sama yaitu sebanyak 5 juta ton. Jika produksi 3,3 juta ton, maka konsumsi telur menjadi 12 kg per kapita per tahun (3,3 miliar kg dibagi jumlah penduduk 273,6 juta). Jauh beda dengan angka yang belum lama dirilis sebanyak 18 kg.
Ini baru contoh mengenai ayam peterlur, mungkin saja data statistik lainnya juga terjadi kekurang sinkronan data.
Auditor Independen bidang statistik
Dalam sistem keuangan perusahaan, orang yang memegang uang pasti berbeda dengan yang mencatat dan menghitung uang, sehingga ada bagian keuangan dan bagian akunting. Hal ini tujuannya agar seminimal mungkin terjadi kekeliruan pencatatan. Setelah dicatat dan dilaporkan dalam pembukuan, masih ada satu langkah lagi, yaitu adanya auditor keuangan independen. Auditor ini berperan antara lain mengkonfirmasi apakah semua transaksi dalam perusahaan tersebut wajar, apakah bukti bukti transaksi dapat diterima.
Bagaimana dengan data statistik peternakan? Populasi dan produksi ternak dihitung sendiri oleh pihak yang memproduksi, yaitu jajaran Kementan. BPS mempublikasikan data sektoral seperti populasi dan produksi ternak berdasarkan laporan Kementan.
Selain itu, sistem pendataan peternakan kemungkinan belum dilakukan crosschek dengan parameter yang mereka miliki sendiri. Contoh di atas, produksi telur tidak dinkron dengan kalkulasi berdasarkan parameter. Lantas kalau berbeda jauh, bagaimana penjelasannya?
Melihat situasi ini, maka perlu dipertimbangkan kehadiran profesi auditor independen di bidang statistik, baik untuk bidang peternakan maupun bidang lainnya. Auditor statistik adalah orang-orang yang ahli dan berpengalaman dalam bidang tertentu sehingga dapat menganalisa ketidaksesuaian antara data yang satu dengan yang lainnya.
Jika auditor statistik menemukan kejanggalan, maka pihak pembuat data dapat menelusuri hingga ditemukan penyebabnya. Dengan demikian sebagaimana layaknya auditor keuangan perusahaan, maka auditor statistik sebagai profesi baru haruslah orang independen dan bersertifikat dari lembaga tertentu yang ditetapkan pemerintah.
Dengan hadirnya auditor statistik independen, maka data statistik yang diterbitkan pemerintah dapat dipertanggungjawabkan, sehingga baik pemerintah maupun swasta dapat mengambil kesimpulan dan keputusan yang tepat terhadap berbagai tantangan yang dihadapi.
Bambang Suharno, Sekretaris Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI); Direktur agribiznetwork.com; Pengamat Peternakan