Andai Perhatian terhadap Kusta Sama Seperti terhadap Covid-19
Jumlah kasus kusta di Indonesia berada di peringkat ketiga dunia. Kematian fisik memang tak banyak. Namun, kematian harapan dan semangat orang yang pernah mengalami kusta tidak terhitung banyaknya.
Seorang kawan, orang yang pernah mengalami kusta atau OYPMK, suatu hari berkata bahwa nasib OYPMK di Indonesia akan lebih baik seandainya kusta terkenal seperti tuberkulosis atau Covid-19. Seandainya begitu, kusta pasti diperhatikan pemerintah.
Survei kecil penulis kepada beberapa kenalan yang bekerja di berbagai lembaga pemerintah membenarkan pernyataan kawan itu. Mereka memang tidak mengetahui situasi kusta yang sebenarnya di Indonesia. Mereka bahkan menyangka bahwa kusta adalah kisah masa lalu Indonesia.
Beberapa dari mereka mengetahui data Kementerian Kesehatan yang menyebut bahwa Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta sejak tahun 2000 (eliminasi: jumlah kasus kusta kurang dari 1 per 10.000 penduduk).
Sebagian juga mendengar bahwa hingga akhir 2020, ada tujuh provinsi yang belum mencapai eliminasi. Namun, hanya sedikit yang mengetahui bahwa hingga akhir 2020, masih ada 109 kabupaten/kota tersebar di 26 provinsi yang belum mencapai eliminasi.
Baca juga: Mewaspadai Gunung Es Kusta
Sangat sedikit yang tahu bahwa dalam 20 tahun terakhir, jumlah kasus kusta relatif konstan di kisaran 15.000 – 17.000 kasus per tahun. Dari jumlah ini, 10-12 persen terjadi pada anak-anak; dan 2-4 persen ditemukan sudah dalam keadaan disabilitas tingkat-2 (disabilitas tertinggi dengan ciri-ciri antara lain: kelopak mata tidak dapat menutup sempurna, penglihatan sangat terganggu, tangan dan kaki mengalami luka terbuka dan jari membengkok permanen).
Hal yang lebih mengejutkan mereka adalah bahwa selama lebih dari 10 tahun terakhir Indonesia bertahan di peringkat tiga dunia dalam jumlah kasus kusta terbanyak. Ini sama persis dengan kedudukan Indonesia pada peringkat tiga dunia dalam kasus tuberkulosis!
Stigma
Itu masih soal angka kasus, belum soal diskriminasi dan penolakan sosial terhadap OYPMK. Mereka belum pernah mendengar, misalnya, OYPMK dijauhi warga saat menonton pertunjukan rakyat karena dianggap akan menularkan kusta; OYPMK dikurung karena dianggap sebagai aib keluarga; perempuan terdiagnosa kusta diceraikan suami karena dianggap sedang mendapat kutuk dari Tuhan; dan seterusnya.
Anggapan keliru atau stigma itu sangat menyakitkan sampai-sampai ada OYPMK yang berkata bahwa rasa sakit akibat stigma jauh lebih sakit daripada kerusakan organ tubuh yang digerogoti kusta. Tak sedikit OYPMK bahkan menjadi depresi dan ingin bunuh diri akibat rasa sakit itu.
Rasa sakit akibat stigma jauh lebih sakit daripada kerusakan organ tubuh yang digerogoti kusta.
Begitulah. Kawan OYPMK itu menduga banyak pihak tidak tahu situasi kusta yang sebenarnya di Indonesia.
Sejumlah 109 bupati/walikota dan 26 gubernur itu tidak tahu. Itulah sebabnya kebijakan dan program daerah belum berpihak pada kusta.
Banyak menteri tidak tahu. Karena itulah kerja sama lintas sektor/program di pusat dan daerah belum optimal.
Presiden juga belum tahu. Sekiranya sudah, tentulah pada peringatan Hari Kusta Sedunia (30 Januari) Presiden telah menggendong seorang anak yang sedang mengalami kusta di Kota Ambon, misalnya, seperti Presiden menggendong Adul, anak dengan disabilitas pada peringatan Hari Disabilitas Internasional di Bekasi pada 2018.
Pihak non pemerintah juga belum tahu. Akibatnya, jarang terdengar ikatan profesi, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, apalagi pihak swasta, melakukan inisiatif-inisiatif untuk kusta.
Cerita Pak Aman dan Pak Ais, dua wakil penyelia (wasor/wakil supervisor) kusta Provinsi Maluku Utara dan Maluku yang memasuki masa pensiun, juga mendukung klaim kawan OYPMK itu. Dalam sebuah lokakarya pada Desember 2021, mereka bercerita bagaimana mereka bahagia sekaligus sedih saat memasuki pensiun. Bahagia, karena mereka berkesempatan menunaikan pekerjaan mulia menembus dusun terpencil menemui pasien kusta. Sedih, karena mereka menyaksikan perkembangan penanganan kusta masih begitu-begitu saja, sejak mulai bekerja puluhan tahun lalu hingga mereka pensiun.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan pada Desember 2021 mengadakan sebuah diskusi dengan mitra-mitra nasional dan daerah serta tim fasilitator/evaluator dari UGM untuk mengevaluasi dan memperbaharui program kusta.
Baca juga: Pandemi Hambat Penanganan Kusta di Indonesia
Dalam diskusi itu dibahas berbagai faktor penghambat keberhasilan program kusta, yang dikelompokkan ke dalam beberapa kluster persoalan, yaitu: (i) koordinasi lintas sektor/program pusat-daerah; (ii) kapasitas dan jumlah sumber daya manusia; (iii) pendanaan pusat-daerah; (iv) ketersediaan obat; (v) edukasi dan promosi kesehatan; dan (vi) tata kelola kasus kusta.
Jika dicermati, isi setiap kluster itu sebetulnya sudah lama diketahui, bahkan sudah dipertimbangkan saat merancang program kusta yang ada sekarang. Sehingga, diskusi itu menimbulkan sedikit frustrasi dan tanya: mengapa masalah yang sama masih muncul dari tahun ke tahun?
Diskusi itu menimbulkan sedikit frustrasi dan tanya: mengapa masalah yang sama masih muncul dari tahun ke tahun?
Meski demikian, diskusi itu juga berhasil membangun optimisme, karena dua alasan. Pertama, tim evaluasi yang dibentuk berisi para ahli dari berbagai latar berlakang, termasuk dari kelompok OYPMK. Ini memberi harapan bahwa rekomendasi yang dihasilkan akan kaya sudut pandang.
Kedua, ada harapan bahwa program kusta yang baru akan memberi perhatian secara adil kepada tiga komponen utama penanganan kusta, yaitu triple zero: zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil eksklusi). Harapan ini ada karena Kemenkes akan merujuk kepada dokumen terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berjudul Towards zero leprosy. Global leprosy strategy 2021–2030. Di dalam dokumen itu tegas disebutkan bahwa definisi zero leprosy adalah triple zero! Artinya, kusta wajib ditangani dari ketiga aspek itu sekaligus. Holistik. Dan, ini menggembirakan.
Akankah harapan itu menjadi kenyataan? Tidak mudah sepertinya. Karena, pendekatan holistik artinya pelibatan lintas sektor. Semenara itu, lemahnya kerja sama lintas sektor ini justru merupakan salah satu dari enam kluster faktor penghambat program kusta, sebagaimana disebutkan di atas.
Karena itu, perihal kerja sama multi-sektor ini perlu menjadi prioritas utama pemerintah. Salah satu opsi untuk ini adalah dengan memastikan bahwa roadmap (peta jalan) dan program kusta nasional mendatang dengan tegas menguraikan peran dan tanggung jawab para pihak: siapa (kementerian/dinas/lembaga) melakukan dan mendanai apa; kapan dan bagaimana aktor beririsan; serta, bagaimana teknis/operasionalisasinya di lapangan.
Baca juga: Jejak Kusta di Nusantara
Kepada kawan OYPMK itu penulis mengatakan bahwa mustahil kusta bisa sepopuler tuberkulosis atau Covid-19, karena tidak banyak kasus kematian akibat kusta.
Kawan itu menoleh lalu berkata, “Kematian fisik memang tak banyak. Namun, kematian harapan dan semangat OYPMK sudah tidak terhitung banyaknya.”
Asken Sinaga, Direktur Eksekutif NLR Indonesia – Until No Leprosy Remains