Entitas produk token yang tak dapat dipertukarkan atau non-fungible token (NFT) di Indonesia kini semakin diminati oleh berbagai lapisan masyarakat untuk menjadikan sebagai aset investasi, terlebih setelah riuh fenomena Ghozali Everyday. Jauh sebelum ada fenomena Ghozali Everyday, NFT sudah terlebih dahulu populer, yaitu sejak tahun 2017. Sehingga kepopuleran NFT tersebut turut mendorong eksistensi dari perdagangan aset kripto lainnya seperti mata uang kripto di Indonesia.
Hal itu kemudian segera disikapi secara cepat oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) selaku regulator untuk meregulasinya secara progresif dengan mendorong realisasi bursa aset kripto melalui eksistensi PT Digital Futures Exchange (DFX). Menjadi menarik ketika ditelisik DFX tidaklah berbeda jauh dengan fungsi PT Bursa Efek Indonesia (BEI) di bursa saham.
Bahkan lebih jauh ketika melihat ketentuan Perbappebti No 8/2021, bursa aset kripto yang ditunjang oleh self regulatory organization (SRO) yang meliputi lembaga kliring berjangka, pedagang fisik aset kripto, dan kustodian adalah mengadopsi struktur penyelenggara bursa saham. Namun yang menjadi pertanyaanya adalah apakah benar bursa aset kripto adalah bentuk lain dari bursa saham dengan mengadopsi strukturnya?
Baca juga: Investor dan Volume Perdagangan Aset Kripto Terus Meningkat
Jawabannya sangat sederhana, yaitu mutlak tidak benar. Hal ini karena ada perbedaan yang mendasar pada karakteristik saham dan aset kripto. Salah satu karakter yang paling jelas berbeda adalah pada letak kepemilikannya. Dalam kepemilikan saham, suatu emiten menjadi pemilik saham yang diperdagangkan sebelum dilepaskan kepada investor atau trader di pasar saham.
Tidak demikian dengan aset kripto yang nanti akan diperdagangkan melalui bursa aset kripto oleh pihak pedagang fisik aset kripto yang belum tentu berkedudukan sebagai pemegang hak milik atas aset kripto terkait, dan pelanggan aset kripto yang melakukan jual beli bisa saja mendapatkan aset kripto dari pelanggan aset kripto lainnya. Hal tersebut membuat saya kemudian tertegun dengan potensi hukum yang dapat terjadi di tengah besarnya semangat para regulator untuk membangun bursa aset kripto di Tanah Air.
Hak kekayaan intelektual
Potensi hukum yang saya maksud disini adalah apabila aset kripto yang menjadi obyek perdagangan mengandung masalah hukum. Tidak seperti saham pada emiten, aset kripto seperti NFT erat hubungannya dengan hak kekayaan intelektual (HKI) yang melekat padanya. Mari kita sejenak menyibak potensi masalah hukum bursa aset kripto dengan menggunakan NFT sebagai contoh ilustrasi.
Tidak seperti saham pada emiten, aset kripto seperti NFT erat hubungannya dengan hak kekayaan intelektual (HKI) yang melekat padanya.
Suatu NFT dalam bentuk karakter kartun kemudian diperdagangkan oleh seseorang melalui pedagang fisik aset kripto di bursa aset kripto. Adapun karakter kartun dalam NFT dimaksud menggunakan desain pakaian dari suatu merek tercatat. Tidak lama setelah NFT tersebut beralih, pencipta desain tersebut kemudian mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga atas dasar pelanggaran hak cipta. Hal ini tentu akan menimbulkan tiga sengketa hukum sekaligus; yaitu sengketa antara pencipta desain dan pihak yang “menciptakan” NFT, sengketa antara pelanggan aset kripto dengan pedagang fisik aset kripto, dan sengketa antara pedagang aset kripto dan pelanggan aset kripto sebagai tangan kedua yang memperdagangkan NFT tersebut dengan pencipta desain.
Dari ilustrasi tersebut kemudian bisa jadi muncul diskursus bahwa tentu Bappebti akan melakukan penilaian risiko, namun Perbappebti No 8/2021 belum secara jelas mengatur penilaian risiko pelanggaran HKI di dalamnya. Selain itu akan timbul suatu pertanyaan ketika pelanggan aset kripto yang telah membeli suatu NFT menanggung kerugian yang berasal dari kesalahan pelanggan aset kripto lainnya akibat NFT yang dibelinya menjadi aset kripto yang bermasalah hukum, pihak manakah yang akan bertanggung jawab mulai dari apakah unsur SRO hingga pedagang fisik aset kripto itu sendiri yang dapat dituntut pertanggungjawabannya.
Baca juga: Perlu Perlindungan terhadap Investor Aset Kripto yang Terus Meningkat
Tak ayalnya, bursa aset kripto rentan oleh oknum pihak pelanggan aset kripto untuk menjadikannya sebagai sarana penjualan aset kripto yang tidak unclean dan unclear. Sehingga dapat dikatakan, membangun aset kripto seperti halnya berdiri diantara dua ruangan, yang satunya adalah ruangan panas dan yang lain adalah ruang dingin. Pada akhirnya, eksekusi yang tepat dari para regulator dan itikad baik dari seluruh pihak terkait akan menentukan mau dibawa ke mana jalannya bursa aset kripto Tanah Air.
Kristianus Jimy Pratama, Peneliti Center for Law, Technology, RegTech & LegalTech Studies UGM; Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM