Apa Kabar N219
Pesawat N219 telah mendapat pengakuan internasional. Tantangan selanjutnya adalah menemukan nilai ekonomi dan menemukan pasar.
Pada 22 Desember 2020 di kantor Kementrian Perhubungan dilakukan acara penyerahan Type Cerificate (TC) N219 dari Dirjen Perhubungan Udara, Novi Riyanto, kepada Dirut PT Dirgantara Indonesia (DI), Elfin Goentoro. Tidak jauh dari situ, di Gedung BJ Habibie, Jalan Thamrin, pada saat yang sama diadakan acara Aerosummit 2020, yang di gagas oleh Pusat Teknologi Penerbangan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), sebuah pertemuan tahunan dari para pemangku kepentingan yang menggagas ekosistem dan kebangkitan industri penerbangan.
Dua peristiwa yang saling menguatkan satu sama lain terjadi pada saat yang sama, dan dilakukan oleh Lapan, Kemenhub, dan PT DI, tiga institusi yang menorehkan sejarah baru dunia Industri penerbangan, yaitu dengan terbitnya TC N219.
Type Certificate (TC), pengakuan internasional terhadap produk pesawat terbang, bukan saja menunjukkan secara teknik bahwa pesawat tersebut layak terbang dan aman, lebih dari itu, TC juga menunjukkan kemampuan pembuat dan perancangnya telah mencapai level tertinggi, diakui analisisnya, diakui dokumentasinya, diakui runtutan kinerja engineering-nya, dan diakui produknya telah melalui proses regulasi yang ditetapkan yang bersandar pada satu kata, yaitu “save” atau aman.
Maka tidak heran, sertifikasi ini disambut dengan bangga oleh tim engineering PT DI – Budi Sampurno, Palmana, dkk – dan seluruh karyawan PT DI, sebagai sejarah besar. Setelah lebih dari 40 tahun PT DI berdiri, baru kali ini mendapatkan TC untuk produk pesawatnya. Capaian ini sekaligus menguatkan PT DI menjadi Aircraft Company yang mampu membangun pesawat secara utuh di wilayah Asia.
Baca juga: Sejarah Baru Industri Penerbangan Indonesia
Type Certificate dalam pandangan regulator, seperti yang disampaikan oleh Ketua Tim Sertifikasi Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU), juga merupakan taruhan dari seluruh jajaran DKPPU Kemenhub kepada dunia penerbangan internasional, bahwa keputusan regulator Indonesia sudah tepat dan benar dalam menilai kelayakan sebuah pesawat terbang. Sekali pesawat terbang mendapat TC, maka pesawat terbang tersebut layak terbang diseluruh dunia, maka sudah sewajarnya momen ini juga menjadi sejarah besar bagi DKPPU Kemenhub.
Dalam konteks Lapan, TC sekaligus membuktikan bahwa institusi ini masih punya semangat dan peran yang besar dalam dunia penerbangan. Sebagai institusi yang diamanahi sebagai pemilik program, Lapan, khususnya Pusat Teknologi Penerbangan, menunjukkan peran yang cukup signifikan dalam mengawal program ini sehingga berhasil. Nama Nurtanio yang dipergunakan dalam nomenkaltur N-219, juga menguatkan akan kiprah lembaga ini dalam pembangunan dunia penerbangan nasional sejak jaman sebagaimana, Bapak Nurtanio – Ketua Lapan pertama kali -hingga kini.
Dalam konteks Lapan, TC sekaligus membuktikan bahwa institusi ini masih punya semangat dan peran yang besar dalam dunia penerbangan.
Dunia penerbangan tidak lepas pula dari peran BJ Habibie – sebagai bapak industri penerbangan – selain Bapak Nurtanio yang dikenal sebagai -bapak insinyur teknologi penerbangan – dua tokoh yang telah menunjukkan kiprah dan energi bagi pembangunan teknologi penerbanan nasional.
N219 pun tidak lepas dari usaha terus menerus PT DI untuk mempertahankan keunggulan bangsa ini. Gagasan N219 lahir pada 2006-2008 (P Said D Djenie, P Andi Alisyahbana, dkk). Ketika disadari bahwa para engineer N-250 sudah menginjak usia dan sudah terpencar ke berbagai negara, muncul kesadaran perlunya membangun generasi baru yang mampu membangun pesawat terbang dari awal hingga akhir. Pesawat - relatif kecil - dengan 19 penumpang dipilih sebagai batu ujian sekaligus tempat belajar kembali -seperti yang sering disampaikan P Andi Alisyahbana- bagaimana membangun pesawat terbang bagi generasi baru PT DI (dari buku N219 Behind Scene).
Namun demikian pesawat ini pun tidak lepas dari analisis kebutuhan riil penerbangan nasional, sebagaiman tercantum dalam dokumen N219, pesawat ini didedikasikan untuk pesawat komuter untuk perintis khususnya untuk penerbangan Indonesia Timur khususnya Papua. Keganasan geografi Papua sangat menantang bagi pesawat-pesawat serupa dalam melakukan manuver terbang di antara gunung dan perbukitan, dan mampu membawa cukup muatan logistik bagi warga Papua, serta mendarat dalam kondisi lapangan terbang dengan minim navigasi serta relatif pendek dan kondisi landasan terbang.
Energi positif N219
N219 pada awalnya belum begitu terdengar, namun setelah Bappenas di bawah kepemimpinan Ibu Armida Alisjahbana memutuskan pembiayaan N219 ke Lapan, pembangunan pesawat ini pun masif dilakukan. PT DI dengan generasi barunya bersemangat membuktikan PT DI masih ada. Energi ini bukan hanya menyembur di dalam PT DI dan Lapan, namun begitu hangat menular ke teman-teman DKPPU dan juga menyentuh semua pemangku kepentingan penerbagan nasional dan Internasional.
Para alumni N-250 yang berada di Jerman dan Eropa pada umumnya, Amerika, Canada, Brasil berlomba-lomba memberikan masukan dan dukungan bagi suksesnya N219. Ikatan Ahli Sarjana Indonesia (IASI) yang berpusat di Hamburg dan Ikatan Diaspora Indonesia di Amerika yang bekerja di Boeing, Embraer Canada menginisiasi Ekosistem Penerbangan.
Ini sebuah keniscayaan agar N219 tidak berhenti pada produk pesawat, namun juga menggerakkan sektor lain yang terkait dunia penerbangan lain seperti MRO, suku cadang, kebandaraan, regulasi dan riset. Inisiasi ini sebagai wujud implementasi knowledge mereka sepanjang bekerja di Boeing maupun Airbus, dua raksasa industri penerbangan yang menguasai dunia dan melahirkan rantai ekonomi yang menjalar bukan sebatas eropa dan Amerika namun telah melibatkan banyak negara.
Baca juga: Pesawat N219 Dorong Industri Penerbangan Nasional
Energi ini juga menjalar ke para penggiat industri manufaktur, sehingga pada tahun 2016 berdirilah Inacom (Indonesia Aircraft Component Manufacture) sebagai bagian penting dari rantai pasok industri penerbangan, yang diikuti pula dengan berdirinya Indonesia Aeronautika Engineering Center ( IAEC ) pada 2017 dengan Lapan sebagai Pembinanya, bercita-cita menjadi engineering service Indonesia yang ingin bermain global dan menjadi partner dunia.
Energi ini nggak habis-habis, sehingga menjalar ke semua pemangku kepentingan penerbagan nasional, tak kurang tiga kali mengadakan pertemuan nasionall Aerosummit 2017-2020. Inilah pertemuan terbesar sepanjang republik ini yang membicarakan masalah penerbangan dari semua aspek dan kluster penerbangan, mulai dari supply chain, teknologi, riset, kebandaraan hingga MRO. Aerosummit ini terus berlanjut hingga dibuat Roadmap Industri Penerbangan Indonesia, yang kemudian diperluas cakupannya menjadi Industri Kedirgantaraan Indonesia.
Setidaknya pada titik ini, N219 seperti energi besar bagi penerbangan nasional untuk bangkit, sehingga layaklah program ini sering disebut dengan lahirnya kebangkitan kedua teknologi penerbangan Indonesia pasca usaha besar saat program N250.
Pasca TC N219
Pasca Desember 2020, tantangan belum selesai, dari sudut pandang riset, N219 belum menjadi sebuah inovasi karena belum menemukan nilai ekonomi dan menemukan pasar. Dari sudut pandang ekosistem, N219 belum menjadi driver riel bagi siklus ekosistem berputar dan berjalan.
Ada beberapa diskusi menarik terkait berputarnya ekosistem, beberapa kalangan melihat ekosistem penerbangan dapat ditiru dari India dan Malaysia atau Singapura. Mereka memutar ekosistem dari keterlibatan mereka dalam world supply chain component pesawat terbang dengan menjadi bagian dari rangkaian supply chains pemain besar pesawat terbang internasional, yaitu Airbus. Atau memutar ekosistem melalui pangsa pasar MRO yang sangat besar di Indonesia seiring dengan persentase transportasi Indonesia yang masih mencatatkan pertumbuhan tinggi.
Kehadiran N219 juga merupakan arus kuat bagi berputarnya ekosistem, setidaknya pernah ditawarkan sekitar 800 komponen yang bisa disebar ke pembuat komponen dalam negeri, jumlah yang sangat banyak dan dapat dibayangkan berapa UKM yang bisa berdiri dengan “hanya” menjadi penyuplai komponen khusus N219. Tidak hanya itu, MRO N219 juga dapat menjadi area tersendiri bagi berkembangnya ekosistem industri perawatan pesawat, terutama mungkin di daerah-daerah yang memang menjadi target operasi N219.
Kehadiran N219 juga merupakan arus kuat bagi berputarnya ekosistem, setidaknya pernah ditawarkan sekitar 800 komponen yang bisa disebar ke pembuat komponen dalam negeri.
Jelas diskusi di atas memerlukan driver besar, yaitu pasar. Dalam konteks pasar untuk kelas 19, menurut analisis yang pernah dirilis, ternyata cukup besar, yaitu sekitar 2.000 pesawat hingga 2025, sementara pasar dalam negeri mencapai 200. Hal ini merupakan pasar yang sangat besar, dengan harga pesawat 6 juta dollar AS maka perputaran ekonomi yang didapat sangat luar biasa, belum terhitung dengan aktifitas MRO dan penyediaan suku cadang sepanjang pesawat itu life atau operasional. Intinya, pasar menanti dari usaha kita menghadirkan segera pesawat tersebut ke masyarakat.
Sebagai hasil riset dan rancang bangun, N219 wajib hukumnya segera di realisasi menjadi barang yang hadir untuk pemanfaatan, sehingga perputaran riset-invensi-inovasi berjalan dengan baik, sehingga dapat lahir serial-serial baru N219 sebagai hasil riset berikutnya.
Ingat pasar, maka teringat pesan Gus Dur dengan anekdot Tetuko yang disatirkan menjadi “sing teko ora tuku-tuku“ dan “sing tuku ora teko-teko“ – (yang beli tidak kunjung datang, yang datang tidak kunjung membeli) – jangan sampai demikian. Mestinya kali ini harus beda mengingat status sertifikasinya juga beda, dan faktor geopolitik pasar pesawat juga konon beda, yaitu N219 tidak mengancam pangsa pasar raksasa Boeing maupun Airbus. Faktor persaingan hanya sebatas dengan Twinooter, Cessna, dan Grand Caravan, yang secara teknis masih bisa disebandingkan.
Baca juga: Pesawat N219 Amfibi Dikembangkan
Namun, yang perlu dikembangkan adalah faktor kesiapan PT DI melayani customer pasca penjualan, yaitu terkait dengan supply chain suku cadang, servis manual, jaringan MRO, dll. Tentu PT DI harus banyak belajar bagaimana melayani aktivitas purna jual yang volumenya mungkin jauh lebih banyak dari yang dilakukan sekarang.
N219 telah menghiasi koran, menghiasi pameran, menghiasi media sosial sejak 2014 ketika N219 masif dikerjakan, dalam konteks ini sangat berhasil, bahkan menjadi kepedualian banyak pihak, mulai dari pelajar, mahasiswa, mentri hingga Presiden. Bahkan, Presiden yang memberi nama N219 sebagai pesawat Nurtanio, dan semua merasa ambil peran dalam menghasilkan N219 yang tersertifikasi.
Sampai tahun 2021 pun Ristek yang telah berubah menjadi BRIN disorot dan mulai dipertanyaakan bagaimana kelanjutan N219. Semua sepakat dan memang kenyataannya cukup memprihatinkan ketika produk ini “terkatung katung” siapa pembeli dan bagaimana PT Di mampu memproduksinya, jangan sampai produk ini masuk ke “lembah kematian “ secara perlahan.
Pekerjaan rumah besar N219
Ada tiga pekerjaan rumah besar yang harus segera dilakukan agar momentum pasar dan momentum dukungan publik masih bisa didapat oleh PT DI, yaitu (1) me-maintain apa yang dicapai N219, (2) menyiapkan ekosistem dan marketing N19, (3) mencari terobosan dalam kaitan mass production dan pasar yang lebih luas – pasar dunia – agar nilainya mampu mendorong ekosistem Indonesia bangkit.
Orang bilang status N219 tinggal selangkah lagi, yaitu masuk ke pasar, tetapi inilah ujian yang sesungguhnya. Kita semua harus membantu PT DI agar ada yang memanfaatkan pesawat yang masih “bayi” ini benar-benar layak dioperasikan, sehingga gegap gempita capaian TC ini benar benar riil adanya. Namun sebagaimana dilansir beberapa sumber, masalah pendanaan menjadi faktor utama PT Di dan juga faktor eksternal terkait dengan pola dan sistem pembiayaan bagi customer.
Orang bilang status N219 tinggal selangkah lagi, yaitu masuk ke pasar, tetapi inilah ujian yang sesungguhnya.
Hal yang menarik adalah ide bagaimana N219 ”apa adanya” tersebut harus menjadi alat baik PT DI dalam melatih MRO N219, membuktikan operasionalisasi N219, memberikan feedback teknis selama operasi, sekaligus kampanye yang tidak pernah putus bahwa N219 adalah karya unggulan anak bangsa.
Operasi ini juga terkait bagaimana membuat perkiraan dan metode pemeliharaannya dari sisi managemen operasi, hal yang sangat penting bagi para operator dalam menajalankan pesawat terbang. Ini menjadi menarik karena bisa menjadi pengalaman pertama PT Di melakukan purna jual pesawat sipil yang notabene hasil desain sendiri, sehingga ini bisa menjadi hal bersejarah kedua bagi PT DI, setelah sejarah pertama menghasilkan TC.
Baca juga: Dukungan Pemerintah Tentukan Masa Depan Pesawat N219
Hal yang menarik berikutnya adalah bagamana menyiapkan ekosistemnya dan pemasaran PT DI yang andal. Sebagaimana produk teknologi tinggi lain, purna jual services menjadi sangat penting, apalagi jika masuk pada skala produksi yang cukup banyak. PT DI harus berubah dan menyiapkan strategi khusus untuk ini.
Pekerjaan rumah besar ketiga adalah bagaimana N219 mampu terbang beyond Indonesia, yaitu di Eropa atau Amerika, tentu dengan sertifikasi EASA dan FAA, dan meraih pangsa pasar pesawat 19 penumpang yang cukup banyak, sehingga menimbulkan dampak ekosistem bagi Tier 2 bahkan bagi Tier 3, serta tentu berputarnya riset pesawat ini.
BRIN dan produksi N219
Kehadiran BRIN di tengah sorotan langkah lanjut N219 sangat terasa. Bagamanapun N219 masih tercatat sebagai asetnya eks Lapan yang sekarang sudah menjadi BRIN. BRIN tidak bisa “lepas colong playu” sebagaimana istilah Jawa. BRIN – yang mempunyai kata inovasi di belakangnya- harus tuntas mengawal produk ini menjadi Inovasi sesungguhnya, diinvensi agar pasar menerima dalam skala bisnis dan operasional.
Ide membentuk SPC (special purpose company) yang bagi produk-produk riset, bisa diawali khusus dengan mengawal N219 sampai ke pasar, mengingat level TRL-nya sudah maksimal di angka 9, sudah ada sertifikasi, ada potensi pasar, maka tinggal “menjual” barang ini. Jika PT DI belum mampu sendiri maka bisa berkolaborasi dengan pihak lain yang menguasai dan berpengalaman dalam pasar pesawat terbang -Airbus-Boeing-, SPC BRIN bisa menjadi wahana untuk fokus komersialisasi ya.
Baca juga: N219 Nurtanio Kian Dekat Jadi ”Jembatan Udara” Nusantara
BRIN harus mengkomunikasikan hal ini ke Kementerian BUMN sebagai komanda PT DI, bagaimnapun bola sudah di PT DI sebagai entitas bisnis, urusan purna jual, MRO readines, pasar bukan lagi urusan BRIN, namun BRIN harus mendukung bersama kementrian lain.
Bangsa ini yakin bangsa besar, yang harus mampu mengelola kebesarannya. Tulisan ini hanya mengingatkan pekerjaan kita belum selesai, bahkan N219 bisa masuk dalam lembah kematian. Semua sangat tergantung kepada kita….
Gunawan Setyo Prabowo, Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan (2013-2021); Penangung Jawab Program N219 (2014-2020)