Proses pendidikan siswa, terutama pendidikan karakter, membutuhkan keseiramaan orangtua dan guru. Ini dapat dibangun melalui kerja sama dan komunikasi yang intensif antara orangtua dan guru.
Oleh
RIDUAN SITUMORANG
·5 menit baca
Sebuah berita muncul di beranda media sosial saya: “Guru Dikeroyok Orang Tua Siswa Usai Tegur 8 Orang Murid Merokok di Kelas” (CNN Indonesia, 27 Januari 2022). Melihat judul itu, kita bisa terkecoh dan langsung kasihan pada guru. Pasalnya, kita sering kali tak memeriksa lebih jauh: mengapa orangtua sampai tega mengeroyok guru? Apakah guru tersebut punya rekam jejak yang kurang baik? Apakah guru tersebut menegur dengan bahasa kasar? Masih banyak pertanyaan yang bisa disuguhkan.
Sebab, rasanya kurang masuk akal orangtua begitu saja melakukan kekerasan kepada guru. Sayangnya, dengan berbagai pengalaman, saya merasa bahwa yang kurang masuk akal itu justru sering menjadi kenyataan. Bukan sekali dua kali orangtua datang ke sekolah dan marah kepada guru. Namun, umumnya, orangtua tersebut marah karena misinformasi. Seringkali ternyata siswa melebih-lebihkan persoalan. Persoalannya, misalnya, adalah guru menegur siswa karena merokok, tetapi siswa malah mengadu kepada orangtua dengan alasan lain.
Sebagai orangtua, mereka pasti akan membela anaknya. Timbullah percekcokan, bahkan kekerasan. Apalagi jika orangtua tak memperjelas persoalan kepada pihak sekolah. Nah, pada posisi seperti inilah kiranya dibutuhkan kerja sama dan komunikasi yang intensif antara pihak sekolah dan orangtua. Bagaimanapun, di zaman yang canggih ini, tidak hanya teknologi yang cepat berkembang, tetapi juga bibit-bibit keburukan, bahkan kejahatan. Sebagai misal, di tengah pandemi, tak jarang cara berkomunikasi siswa kepada guru menjadi obyek pembahasan kami.
Cukup banyak siswa yang tak tahu tata krama ketika berhubungan dengan gurunya. Terkadang, misalnya, dalam mengirimkan tugas tanpa bahasa pengantar. Menyapa guru juga hanya dengan "p". Selain itu, cara siswa berbohong juga ternyata makin canggih. Suatu saat, saya pernah bertemu siswa di luar sekolah pada saat jam pembelajaran. Kebetulan, jadwal mengajar saya sedang kosong. Dia mengatakan bahwa ia tak masuk karena sedang antre vaksin di polsek setempat. Memang faktanya, polsek sedang mengadakan vaksin setiap hari. Namun, siswa tersebut ternyata sudah vaksin dua kali.
Dari sana saya belajar bahwa siswa sudah terlalu pintar membuat fakta sehari-hari sebagai alibi dengan sangat meyakinkan. Meyakinkan karena hingga menjelang tiba di kantor polsek, barulah si siswa tersebut mengaku berbohong. Yang lebih mengkhawatirkan, kejahatan juga kini mulai menyentuh anak-anak dan remaja. Mungkin, kita tak merasa bahwa remaja saat ini sudah memperjualbelikan teman wanitanya. Kita juga tak menyangka mereka menjadi pelaku pencurian bermotor (ranmor) yang sadis.
Dari sana saya belajar bahwa siswa sudah terlalu pintar membuat fakta sehari-hari sebagai alibi dengan sangat meyakinkan.
Bahkan, tak jarang kita mendengar bahwa anak-anak dan remaja sudah menjadi pembunuh. Anak-anak yang kita kenal sebagai manusia polos nyata-nyata sudah menjadi pembunuh dan pembohong luar biasa. Perangai mereka sudah banyak yang kasar. Terkesan berlebihan. Sebab, dalam berbagai literatur, anak-anak disebut sebagai sosok paling polos dan baik. Namun, faktanya, anak-anak kini bukan lagi seperti anak-anak dahulu yang masih gampang diarahkan dan diatur. Anak-anak kini sudah sangat susah untuk dididik.
Hal itu terjadi sebagai dampak turunan dari teknologi digital. Pasalnya, teknologi digital menyuntikkan virus-virus kejahatan yang menjadi tontonan keseharian mereka. Tontonan itu pun mereka tiru untuk dipraktikkan dalam kehidupan. Hal itu semakin trengginas karena orangtua pun sudah menyerahkan anaknya kepada gawai. Hampir tak ada lagi kemauan orangtua untuk mendidik anaknya. Berbicara, misalnya, sudah lewat aplikasi. Ketika ada acara keluarga, semua anggota keluarga bahkan sibuk dengan gawai masing-masing.
Praktis, tak ada lagi pendidikan karakter dari keluarga paling inti. Kenyataan inilah kiranya yang harus kita sadari secara penuh. Karena itu, guru dan orangtua sudah harus intens berkomunikasi dan bekerja sama. Jangan lagi orangtua dan guru tidak lagi saling sepaham. Pasalnya, ketidaksepahaman ini potensial mengacaukan tujuan pendidikan. Perundungan dan kekerasan oleh orangtua kepada guru seperti disebutkan di awal tulisan ini hanya satu akibat. Sayang, akibat ini pun justru membuat dampak buruk yang lain.
Guru, misalnya, akan takut menegur siswa nakal karena merasa tidak didukung lagi oleh orangtua. Pada saat yang sama, siswa sudah melek membaca situasi. Sudah tak jarang dialami guru bahwa siswa justru seperti mengadu domba orangtua dan guru. Siswa semakin merajalela. Maka, terjadilah tawuran, bolos, atau merokok di sekolah. Tak jarang juga guru mengaku sering melihat siswanya merokok dan berperangai buruk di luar sekolah. Ketika ditegur, siswa itu malah menghardik dengan jawaban ketus bahwa mereka sedang tidak bersekolah.
Kekeliruan
Rupanya, aturan pendidikan dibaca sebatas protokoler kaku di sekolah. Tentu saja ini adalah kekeliruan. Dikatakan kekeliruan karena pendidikan tidak terbatas pada jam sekolah, justru harusnya bertumbuh sepanjang hayat. Dalam hal ini, tidak sepatutnya lagi guru hanya bisa menegur anak didik pada jam sekolah saja. Apalah gunanya bersekolah jika siswa hanya patuh di sekolah, tetapi tak bertumbuh hingga ke luar gedung sekolah? Maksud saya, setiap kita seharusnya ikut prihatin dan bertanggung jawab dalam menguatkan karakter anak didik di masa kontemporer ini.
Tentu, kerja sama semua pihak menjadi sangat dibutuhkan. Pihak kantin di luar sekolah, misalnya, sudah perlu diedukasi agar tidak melayani siswa, terutama saat jam pelajaran berlangsung. Pasalnya, pihak kantin luar sering kali justru melindungi siswa yang bolos. Pihak kepolisian pun perlu mendisiplinkan siswa supaya tak berkeliaran. Lebih jauh, masyarakat luas mestinya tergerak untuk menegur siswa yang lalu lalang saat jam sekolah. Hanya dengan kerja sama seperti itu kita bisa mendisiplinkan siswa yang kini sedang diracuni oleh polusi kejahatan.
Namun, yang terpenting dari semua itu adalah keseiramaan orangtua dan guru. Keseiramaan itu, misalnya, agar guru dan orangtua tak lagi saling curiga. Percayalah, jika orangtua cenderung seperti mengancam guru yang menegur siswa nakal, sangat mungkin guru tak akan peduli lagi pada siswa tersebut. Karena itu, guru dan orangtua harus intim berkomunikasi. Harus disadari, mendidik siswa saat ini butuh keseiramaan sebelum mereka bertumbuh besar. “It is easier to build strong children than to repair broken adults”, demikian kata F Douglass.
Riduan Situmorang, Guru SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan, Sumatera Utara; Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional; Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF)