Bahaya Budaya Narsis
Bahaya budaya narsis, tidak ada lagi dikotomi moral secara jelas antara benar dan salah. Semua diserahkan kepada individu, memilih apapun yang dianggapnya bagian dari dirinya,terlepas apakah itu sesuai dengan nilai umum.
Dengan berat hati, saya pribadi mengakui bahwa kita tengah merayakan budaya narsis. Hal ini sebenarnya gejala global. Setiap kita individu, harus diakui pelaku dari budaya narsis.
Terlepas dari kadar atau tingkatan tertentu juga terlepas dari apa yang dinarsiskan, semua orang memiliki tipe atau ukuran narsisnya tersendiri. Bahkan tulisan ini juga bagian dari budaya narsis itu. Sebab, ikhwalnya semua manusia ingin dikenal dan dihargai.
Terlebih dengan hadirnya dunia internet, jaringan informasi yang luas, dan teknologi tinggi, budaya narsis semakin mudah dan mendalam. Hampir tiap orang dipastikan memiliki akun media sosial. Jika belum bisa buat sendiri, anak bayi biasanya dibuatkan akun media sosialnya. Tak ada yang salah. Sekali lagi tergantung tipe dan kadar narsisnya.
Apa itu budaya narsis? Narsistik atau narsisme adalah produk dari budaya postmodernisme yang ditandai dengan berkurangnya kepercayaan terhadap nilai-nilai universal dan sistem pengetahuan dan cenderung mengutamakan lokalisme, partikularisme, dan relativisme (Hollander, 2002).
Intinya, narsisme atau narsistik adalah penjungkir balikan arah dari nilai, sistem, atau budaya yang awalnya dimanifestasikan kepada sosial, kebersamaan secara luas dan kesamaan ke arah nilai, sistem, dan budaya yang beragam dan individual atau partikular. Dengan kata lain dari sentripetal menuju sentrifugal. Pecah dan memencar pada pengejaran eksistensi pribadi.
Terlepas dari kadar atau tingkatan tertentu juga terlepas dari apa yang dinarsiskan, semua orang memiliki tipe atau ukuran narsisnya tersendiri.
Kepatuhan terhadap budaya, kesepakatan, atau panduan berkurang dan beralih pada pengejaran pengakuan atau pengkultusan pada diri sendiri atau partikularistik. Jika ada kalangan yang mengacu atau masih memedomani hal-hal konsensus, kesepakatan, dan kesepakatan bersama, ia sering dicap kaku, tidak membumi, kurang pergaulan, dan tidak gaul.
Menurut Denton dan Voth (2017), narsis ditandai oleh beberapa ciri, yakni egois, sombong dan percaya diri, menilai lebih dari orang lain, merasa lebih berhak, terobsesi atas kepentingan sendiri, sikap empati yang rendah, tujuan hidup berpusat pada uang, ketenaran, dan pencitraan, tujuan hidup yang kurang realistis, pengakuan harga diri yang lebih tinggi, dan mudah menyalahkan orang lain.
Dengan kata lain, dalam budaya narsis, tidak ada lagi dikotomi moral secara jelas antara yang benar dan salah. Semua diserahkan kepada individu, memilih apapun yang dianggapnya bagian dari dirinya, terlepas apakah itu sesuai dengan nilai umum atau tidak. Tolok ukurnya hanya satu, yakni ini diriku dan tidak mengganggu orang lain.
Baca juga : Pesta Pasti Berakhir
Di sini awal bahaya narsistik. Segalanya bersifat relatif. Semua didasarkan pada motivasi, kalkulasi individu dan kepentingan pribadi. Motivasi, kepentingan atau kalkulasi pribadi ini kemudian ditunjukkan secara jamak dan masif secara bersamaan. Motivasi, kepentingan atau kalkulasi itu sesungguhnya bisa disebut dorongan akan pengakuan pribadi oleh publik.
Tidak lebih. Narsisme mengajarkan hal itu. Egois, sombong dan percaya diri, menilai lebih dari orang lain, merasa lebih berhak, terobsesi atas kepentingan sendiri, sikap empati yang rendah, tujuan hidup berpusat pada uang, ketenaran, dan pencitraan, tujuan hidup yang kurang realistis, pengakuan harga diri yang lebih tinggi, dan mudah menyalahkan orang lain bagian tidak terpisahkan.
Untuk mendapatkan pengakuan partikular atau individu tersebut, di dalam media sosial, semua menonjolkan apa pun yang ada pada dirinya apakah kekayaan, kecantikan, bagian tubuh. Apa pun. Hal ini sangat ramai di dunia media sosial saat ini.
Misal, orang-orang kaya atau sering disebut crazy rich dengan mudah dan begitu gemar memamerkan kekayaan. Barang mewah, mobil mewah, belanja mewah, dan lainnya. Tujuannya apa? Tidak ada selain ingin pengakuan dari publik sebagai orang berhasil, kaya atau dalam istilah sekarang ingin disebut "sultan" atau lord. Bahkan ada yang mengklaim sendiri istilah itu.
Narsis dan ketimpangan sosial
Terkesan hal ini menghibur dan cukup ramai digandrungi. Namun hal ini cukup mengkhawatirkan. Bermunculannya kaum crazy rich yang dengan seenaknya memamerkan dan menghabiskan miliaran rupiah untuk membeli barang mewah dalam sekejap mata, di satu sisi hak mereka.
Namun jika dibalik, apakah mereka menyadari bahwa mereka sedang mempertontonkan ketimpangan sosial? Jika mereka ingin memotivasi atau berbagi kebahagiaan, jangan lupa ditambah dengan edukasi bahwa hal itu didapatkan dengan proses perjuangan panjang, jatuh-bangun. Kalau hanya didapatkan dari orangtua mereka? Apa hebatnya.
Apa nilai edukasi yang ingin disampaikan? Semua orang bisa kaya? Apakah mungkin semua orang menjadi kaya? Kalau semua orang kaya, maka tidak akan ada kebanggaan-kebanggaan yang mereka pertontonkan itu. Jadi sebenarnya mereka tidak sedang mengajarkan tentang cara untuk menjadi kaya karena mereka membutuhkan orang di sisi lain mereka, agar mereka terakui. Maka wajar kemudian sedikit dari mereka yang memberikan cara, tips dalam berusaha, atau true story mereka, menjadi kaya.
Ironisnya hal itu (baca: budaya pamer) muncul di tengah pandemi. Wajar memang. Di tengah pandemi, di tengah kesulitan mendapatkan pekerjaan, duit, orang-orang yang mengaku sultan tersebut mendapatkan momentum. Di tengah impitan ekonomi yang luar biasa, ilusi atau imajinasi untuk kaya memang lebih kuat dan mendalam.
Di tengah pandemi, di tengah kesulitan mendapatkan pekerjaan, duit, orang-orang yang mengaku sultan tersebut mendapatkan momentum.
Tapi sekali lagi mereka cenderung lebih mempertontonkan ketimpangan sosial dan keinginan mendapatkan pengakuan-pengakuan sosial. Dari segi keadilan sosial, hal ini kurang tepat dalam budaya Indonesia. Selain itu, informasi atau cerita yang disampaikan terkesan sepotong-sepotong kepada masyarakat.
Konten yang disebarkan adalah seakan sebuah konfirmasi bahwa 1 persen orang Indonesia menguasai sekitar 50 persen kekayaan nasional, sementara 50 persen sisanya dimiliki oleh 99 persen penduduk lainnya? Apakah mereka bangga menjadi bagian dari 1 persen tersebut, dengan apa yang disebarkan di media sosial?
Banyak problematika tentang ketimpangan di Indonesia, mulai dari ketimpangan sosial, dan juga banyaknya orang kaya di Indonesia yang menyembunyikan kekayaannya di luar negeri, dan memanipulasi harta kekayaan demi menghindari pajak. Di tengah banyaknya pertanyaan tersebut, justru akan menimbulkan permasalahan baru.
Kita dari kalangan masyarakat biasa yang mengharapkan kehidupan dari kehadiran negara, sangat ingin melihat crazy rich atau sultan tersebut pamer ketaatan bayar pajak atas kekayaan mereka.
Kita dari kalangan masyarakat biasa yang mengharapkan kehidupan dari kehadiran negara, sangat ingin melihat crazy rich atau sultan tersebut pamer ketaatan bayar pajak atas kekayaan mereka. Jika ini benar dilakukan akan sangat edukatif ditengah rendahnya kepercayaan masyarakat membayar pajak dan atau ditengah sulitnya realisasi penerimaan dari pajak.
Tulisan ini tidak ditujukan kepada orang-orang yang the real sultan. Orang yang benar memulai dari bawah, kerja keras, dan mereka yang mengubah nasib dengan kerja keras serta menunaikan kewajibannya sebagai warga negara. Orang-orang yang membangun bersama dengan orang dari pinggiran, membuka dan memberi usaha bagi yang membutuhkan.
Pesan yang dipertontonkan melalui konten-konten mereka cenderung pada budaya konsumtif. Ini juga bagian dari bahaya budaya postmodernisme yang cukup mengkhawatirkan. Budaya yang dengan mudah untuk mengkonsumsi atau membeli apapun yang trend, mewah supaya dianggap berhasil. Sederhanya, keberhasilan direduksi sekadar pencapaian atau eksistensi di media sosial dan perjuangan atau kerja keras dialihkan menjadi pertarungan di media sosial. Afirmasinya ada efek sosial yang luas dari kebiasaan pamer mereka atau narsis. Tidak sesederhana yang bayangkan. Tabik!
Toba Sastrawan ManikPraktisi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan