Bara di Ukraina
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina berpotensi berdampak serius dan memiliki ramifikasi luas. Apabila situasi-nya tak terkontrol akan membawa implikasi terhadap keamanan internasional, termasuk kawasan Asia Tenggara.
Pengerahan pasukan dan peralatan militer Rusia secara besar-besaran ke perbatasan Ukraina, secara geopolitis, tak bisa dipandang remeh. Krisis yang terjadi, apalagi bila meletus menjadi perang, bukan hanya urusan antara kedua negara itu, karena pasti berdampak serius dan memiliki ramifikasi luas. Yang dikhawatirkan, perkembangan yang tak terkontrol akan membawa implikasi terhadap keamanan internasional, termasuk di kawasan Asia Tenggara.
Setelah Perang Dingin berakhir pada 1991 dengan bubarnya Uni Soviet, peta Eropa bagian timur telah berubah sangat signifikan. Posisi negara-negara eks Uni Soviet dan satelitnya (Ukraina dan Belarus) menjadi amat strategis, baik bagi Rusia maupun Amerika Serikat (AS) dan Pakta Perta -hanan Atlantik Utara (NATO).
Sejak tahun 2000, Presiden Vladimir Putin telah berusaha keras dan sistematis untuk membalikkan (reverse) situasi yang tercipta 30 tahun lalu. Indikasinya, AS dan NATO mulai menempatkan penasihat militernya di negara-negara Baltik, seperti Latvia dan Estonia.
Sedangkan Rusia pada tahun 2014 menganeksasi Semenanjung Krimea, diikuti dengan mendukung kelompok pro-Rusia di Provinsi Donetsk dan Luhansk (kawasan Donhas) di Timur Ukraina.
Krisis yang terjadi, apalagi bila meletus menjadi perang, bukan hanya urusan antara kedua negara itu, karena pasti berdampak serius dan memiliki ramifikasi luas.
Perang Dingin Baru
Lepas dari kontroversi mengenai Perang Dingin Baru (The New Cold War), indikasi saat ini memperlihatkan pola yang sama dengan yang sebelumnya (1949-1991) yang berakhir dengan “kekalahan” Uni Soviet.
Pertama, di masa lalu, untuk menahan ancaman AS dan NATO, Uni Soviet menjadikan negara-negara Pakta Warsawa (Albania, Polandia, Cekoslovakia, Hungaria, Bulgaria, Romania, dan Jerman Timur) sebagai zona penyangga (buffer zone). Saat ini seluruh negara eks Uni Soviet (plus Slovakia, dan Jerman Timur yang menjadi Jerman) telah menjadi anggota NATO.
Kedua, Rusia mendapatkan semacam “berkah terselubung (blessing in disguise)” karena negara-negara pecahan Uni Soviet itu kemudian menjadi semacam “buffer zone” baru di perbatasannya.
Oleh karena itu, negara-negara itu segera “dirangkul” dalam Commonwealth of Independent States/CIS (1991); dan dalam Collective Security Treaty Organization/CSTO (1992) —beranggotakan Rusia, Armenia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Uzbekistan, Azerbaijan, Belarus dan Georgia— yang tidak membolehkan anggotanya bergabung dalam aliansi militer lain.
Baca juga : Ketegangan Ukraina dengan Rusia Semakin Meningkat
Lebih luas, bersama China, Rusia membentuk Shanghai Cooperation Organization/SCO (1996) beranggotakan lima negara (China, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan dan Tajikistan), yang kini menjangkau negara-negara Asia Selatan (India, Pakistan dan Uzbekistan) dan terakhir Iran (2021). Selain itu ada pula negara pengamat/observer (Belarus dan Mongolia) dan mitra dialog Armenia, Azerbaijan, Kamboja, Nepal, dan Sri Lanka, serta Turki, yang notabene anggota NATO.
Makanya, Edward Lucas dalam bukunya The New Cold War (2009) mengatakan “uneasy confrontation between the West and the Kremlin” (konfrontasi pelik antara Barat dan Kremlin) sebagai Perang Dingin Baru, ditandai dengan “the return to the Soviet-era methods” (kembalinya cara-cara era Soviet).
Dalam hal ini Rusia telah terprovokasi dan NATO telah “mengusik” (meddling) di “Russian backyard” (halaman belakang Rusia); dan terlihat dalam kebijakan AS di Kosovo dan aksi Rusia di Georgia. Inilah yang disebut Lucas sebagai “tit for tat”, di mana NATO menggempur Serbia (sekutu Rusia) dan mendukung berdirinya Kosovo; sementara Rusia menyerang Georgia (kawan NATO) dan mendukung pemisahan Abkhasia dan Ossetia.
Bahkan dalam buku yang sama, sudah sejak 1998, Jendral L Ivashov, Presiden Academy for Geopolitical Problems, menyatakan bahwa Perang Dingin baru di Eropa tidak terhindarkan apabila NATO menempuh langkah keras (baca: militer) tanpa dukungan PBB, atau apabila mereka menempatkan diri sebagai “European Policemen” (polisi Eropa).
Sementara Giorgi Arbatov, Direktur Think-tank ISKRAN, berpandangan bahwa Perang Dingin baru ini disebabkan karena sikap “masa bodoh” (indifference) NATO terhadap kepentingan Rusia dan agresivitasnya membawa pengaruh buruk terhadap hubungan Rusia dan Barat.
Perkembangan NATO
Sejak berakhirnya Perang Dingin 1991, keanggotaan NATO (didirikan 1949) telah berkembang pesat dari 16 menjadi 30 negara, di mana tujuh dari delapan negara Pakta Warsawa (didirikan 1955) kini telah menjadi anggota NATO, yaitu Ceko, Hungaria, Polandia, Bulgaria, Romania, Albania dan Jerman Timur (yang bergabung dengan Jerman Barat).
Sementara NATO sendiri sejak bubarnya negeri Tirai Besi ini telah memberlakukan kebijakan “open door” (pintu terbuka) terhadap mantan negara-negara pecahannya.
Hasil KTT NATO 1994 di Brussel menegaskan “mengharapkan dan menyambut baik ekspansi NATO yang akan menjangkau negara-negara demokratis di Timur.” Bahkan pada 1998 pakta pertahanan ini menyepakati sebuah Membership Action Plan (MAP) untuk membantu negara-negara yang berminat untuk bergabung. Saat ini Bosnia dan Herzegovina, Georgia dan Ukraina diberitakan berminat bergabung dengan aliansi militer ini.
Saat ini Bosnia dan Herzegovina, Georgia dan Ukraina diberitakan berminat bergabung dengan aliansi militer ini.
Sesuai isi Piagam NATO (Washington Treaty, 1949), terutama Pasal 5, prinsip pertahanan kolektif merupakan inti dari pembentukan NATO, yang mengikat anggotanya dan menekankan solidaritas untuk melindungi satu sama lain.
Berdasarkan prinsip ini NATO telah mengambil langkah-langkah pertahanan kolektif pada berbagai kesempatan, misalnya dalam menanggapi perang di Suriah (yang berbatasan dengan Turki) dan mengantisipasi krisis Rusia-Ukraina.
Memang diakui Ukraina memiliki aspirasi untuk bergabung dengan aliansi pimpinan AS ini, makanya sekitar 150 penasihat militer AS sudah berada di tempat pelatihan Lviv, di barat negara itu, yang jauh dari garis depan. Dalam kelompok ini termasuk pasukan khusus (Green Beret), serta pelatih Garda Nasional dari satuan tempur Brigade Infanteri ke-53 Florida.
Selain itu, penasihat militer dari sekitar sejumlah negara sekutu juga berada di Ukraina, —termasuk Inggris, Kanada, Lithuania dan Polandia (New York Times, 23/1/2022). Masuknya Ukraina ke dalam organisasi ini akan menjadikannya sebagai negara NATO terbesar dan terpenting yang berbatasan langsung dengan Rusia, setelah Estonia dan Latvia.
Ukraina juga akan menggantikan posisi Turki yang tidak lagi menjadi anggota NATO yang terdepan, karena “terhalang” oleh Georgia yang sejak perang 2008 “dikuasai” Rusia dan Azerbaijan yang “netral”.
Baca juga : Di Tengah Desakan De-eskalasi, AS-Rusia Perang Retorika di DK PBB
Kecurigaan Rusia terhadap motivasi NATO untuk “menarik” anggota baru dari Eropa Timur, menurut Prof JL Black dalam bukunya yang berjudul Russia Faces NATO Expansion (2000), sudah merupakan tradisi sejarah yang panjang.
Federasi Rusia mewarisi segalanya dari Uni Soviet, kecuali integritas teritorial, perbatasan yang aman, dan perasaan sebagai kekuatan yang tak terkalahkan (impregnable).
Wilayah penyangga besar yang diperoleh dengan kekuatan senjata oleh St Petersburg dan Moskow selama periode 150 tahun (sejak Perang Dunia I) hilang dalam sekejap. Oleh karena itu, prospek perluasan NATO ke Timur tidak akan pernah dapat diterima oleh Rusia, dan merupakan ancaman terhadap keamanan nasionalnya.
"Leverage" Rusia dan kendala NATO
Namun Rusia memiliki beberapa kelebihan (leverage). Kelebihan itu, yaitu: pertama, Ukraina sangat tergantung kepada Rusia dalam suplai gas dan jaringan pipa melalui negara ini juga digunakan untuk menyuplai gas ke sejumlah negara NATO, seperti Polandia, Slovakia, Hungaria dan Romania.
Kedua, sekitar 50 persen penduduk Ukraina di bagian timur berdarah atau berbahasa Rusia. Ketiga, secara “de facto” Ukraina juga sudah “terkepung” dari tiga arah, yaitu dari Moskow (utara), Kawasan Donhas (timur) dan Semenanjung Krimea (selatan).
Keempat, adanya jaringan pipa Nord Stream-2 yang menghubungkan suplai gas Rusia langsung ke Jerman, yang dapat mengurangi soliditas NATO.
Presiden Putin sudah menegaskan posisi dasarnya (bottom line) ingin menghentikan Ukraina bergabung dengan NATO dan mendapatkan jaminan bahwa AS dan aliansi itu tidak akan pernah menempatkan senjata ofensif di negara tersebut, yang mengancam keamanan Rusia. Putin juga berharap dapat memulihkan pengaruhnya di kawasan itu, sesuai peta strategis Eropa yang belum diubah pada 1990-an.
Hal yang sama terlihat ketika Rusia mengirimkan pasukan koalisi CSTO untuk menyelesaikan pergolakan yang terjadi di Kazakhstan awal Januari lalu. Menurut John Daniszewski, analis senior AP, bagi Rusia apa yang terjadi di Ukraina merefleksikan semangat Perang Dingin dan munculnya kembali harapan yang berasal dari Konferensi Yalta 1945 bahwa “the West should respect a Russian sphere of influence in Central and Eastern Europe” (Barat harus menghormati lingkup pengaruh Rusia di Eropa Tengah dan Eropa Timur) (AP, 25/1/2022).
Hingga kini Kremlin menyangkal akan melakukan serangan terhadap Ukraina, sementara Presiden AS Joe Biden menegaskan akan mengedepankan diplomasi, yang diimbangi dengan sanksi.
Hal senada disampaikan oleh Sekjen NATO Jens Stoltenberg "We have a wide range of options: economic sanctions, financial sanctions, political restrictions." (Kita memiliki banyak opsi: sanksi ekonomi, sanksi finansial, restriksi politik) (CNN, 22/1/2022), dan menegaskan bahwa Rusia akan menanggung biaya yang mahal (high price) apabila menyerang Ukraina.
Bagi Kremlin, jika AS dan NATO tidak mengubah sikapnya di Ukraina, Menlu Rusia Sergey Lavrov telah memperingatkan bahwa Moskow memiliki "hak untuk memilih cara untuk memastikan kepentingan keamanannya yang sah." (ABC7, 26/1/2022)
Perang kata-kata, memang sering terjadi antara pemimpin kedua negara adidaya ini; masalahnya, “gaung” krisis ini sudah dirasakan di kawasan lain.
Perang kata-kata, memang sering terjadi antara pemimpin kedua negara adidaya ini; masalahnya, “gaung” krisis ini sudah dirasakan di kawasan lain. AS sudah melibatkan NATO (serta Jepang dan Australia) dalam latihan militer di Laut China Selatan (LCS), untuk menunjukkan kesiapannya kepada China dan Rusia, dalam menghadapi tantangan di Laut Hitam, Mediterania, LCS dan China timur (Global Times, 05/8/2021).
Sementara negara-negara SCO (Rusia, China dan Iran) sudah menggelar latihan militernya di Timur Tengah, yang jauh dari Eropa. Terakhir diberitakan bahwa Presiden Putin telah menelepon pemimpin-pemimpin Venezuela, Nikaragua dan Kuba (New York Times, 24/1/2022) untuk membicarakan “a ‘military-technical’ response to the Ukraine crisis”.
Artinya, insiden militer kecil sekalipun dapat menyebabkan bara di Ukraina menyala dan masyarakat internasional akan terkena getahnya. Nah!
Dian Wirengjurit Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional