Di Tengah Desakan De-eskalasi, AS-Rusia Perang Retorika di DK PBB
Rusia dan Amerika Serikat perang retorika dalam pertemuan di Dewan Keamanan PBB. Upaya menurunkan ketegangan di perbatasan terus dicoba negara ketiga.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
NEW YORK, SELASA – Rusia dan Amerika Serikat, dua seteru pemilik hulu ledak nuklir, terlibat dalam perang retorika. ”Perang” itu terjadi pada pertemuan khusus Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membahas persoalan Ukraina, Senin (31/1/2022). Di sisi lain, Ukraina, sebagai negara yang terjepit di tengah-tengah, terus mendesak agar para pihak bertikai, seperti AS, Rusia, dan NATO, untuk menurunkan ketegangan karena bisa memicu konflik terbuka.
Seperti yang sudah diperkirakan, Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia dan Dubes AS Linda Thomas-Greenfield saling melontarkan retorika, saling tuding, dan saling mencari pembenaran atas tindakan yang telah dilakukan oleh setiap pihak.
Thomas-Greenfield menyatakan, fakta bahwa militer Rusia telah menempatkan lebih dari 100.000 personel dan perlengkapan militernya di dekat perbatasan Rusia-Ukraina adalah fakta bahwa negara itu telah melakukan mobilisasi militer, terbesar di Eropa dalam beberapa dekade. Tidak hanya itu, Thomas-Greenfield juga menyebut bahwa Rusia siap memobilitasi sekitar 30.000 personelnya di dekat perbatasan Belarusia-Ukraina, yang berjarak kurang dari dua jam dari Ibu Kota Ukraina, Kiev, di awal Februari.
”Jika Rusia menginvasi Ukraina lebih jauh, tidak seorang pun dari kita akan dapat mengatakan bahwa kita tidak melihatnya datang, dan konsekuensinya akan mengerikan,” kata Thomas-Greenfield.
Nebenzia menolak tudingan yang dilontarkan Thomas-Greenfield dan menyatakan tindakan AS sebagai contoh klasik diplomasi megafon dan bahkan cenderung berlebihan. Nebenzia mengatakan, tidak ada ancaman yang pernah dilontarkan oleh pejabat Pemerintah Rusia untuk menyerang negara bekas Uni Soviet. Dia juga menuding AS dan sekutunya tengah melakukan pencucian otak dan melontarkan narasi Rusiafobia.
”Amerika Serikat telah meningkatkan ketegangan dan retorika dan memprovokasi eskalasi,” kata Nebenzia.
Saling lempar tuduhan dan retorika di DK PBB berlangsung ketika Moskwa gagal menghadang berlangsungnya pertemuan tersebut. Pertemuan Senin (31/1/2022) adalah sesi terbuka pertama di mana semua kekuatan protagonis yang terlibat dalam krisis Ukrina berbicara terbuka di sebuah sesi resmi PBB. DK PBB hingga saat ini belum mengambil tindakan.
Pemungutan suara untuk mengadakan pertemuan terbuka itu ditentang oleh dua pemilik hak veto, yaitu Rusia dan China. Tiga anggota tidak tetap DK PBB, yakni India, Gabon, dan Kenya, memilih abstain. Sebanyak sembilan suara sepakat agar pertemuan tersebut dilaksanakan, yang didorong oleh AS dan sekutu-sekutunya.
Nebenzia menyatakan, Pemerintahan Presiden AS Joe Bidenlah yang sebenarnya telah menimbulkan ketegangan dan retorika yang berujung pada eskalasi. Dalam pandangan Nebenzia dan Rusia, Biden dan Pemerintah AS memang menginginkan konflik terbuk itu terjadi.
”Anda ingin itu terjadi. Anda sedang menunggu hal itu terjadi, seolah-olah Anda ingin membuat kata-kata Anda menjadi kenyataan,” kata Nebenzia.
Rusia menyalahkan AS atas ketegangan yang terjadi di Ukraina, tidak hanya di level para pengambil kebijakan, tetapi juga di level akar rumput. Penggulingan pemimpin Ukraina yang pro-Rusia di tahun 2014, yang didukung oleh AS, menurut dia, telah menciptakan ketegangan antara Ukraina-Rusia.
”Jika mereka tidak melakukan ini, kita sampai saat ini akan hidup dalam semangat hubungan bertetangga yang baik dan kerja sama. Namun, beberapa di Barat jelas tidak menyukai skenario positif ini. Apa yang terjadi hari ini adalah upaya lain untuk mendorong irisan antara Rusia dan Ukraina,” kata Nebenzia.
Nebenzia meninggalkan ruang dewan ketika Duta Besar Ukraina Sergiy Kyslytsya mulai berbicara. Kyslytsya mengulangi pesan Presiden Volodymyr Zelenskyy untuk menyerukan de-eskalasi antara para pihak beritikai sehingga pembicaraan atas konflik yang sudah berlangsung di dalam Ukraina dengan separatis pro-Moskwa di wilayah Donbass timur bisa berlanjut.
”Presiden saya telah menegaskan kembali baru-baru ini bahwa dia siap untuk bertemu dengan mitranya dari Rusia," kata Kyslytsya. Dia mengatakan, jika Rusia memiliki hal yang ingin ditanyakan kepada mereka, sebaiknya mereka bertemu dan berbicara. Tindakan membawa pasukan ke perbatasan adalah bentuk intimidasi terhadap rakyat Ukraina.
Kyslytsya juga mengatakan, prioritas pemerintahan mereka saat ini adalah mencapai gencatan senjata yang berkelanjutan dan tanpa syarat di Donbass.
Perundingan
Rusia telah berulang kali membantah bahwa mereka ingin menginvasi Ukraina dan menimbulkan ancaman terhadap keberadaan negara itu. Presiden Rusia Vladimir Putin menganggap Moskwa dan Kiev berasal dari satu garis darah yang sama dan menganggap rakyat kedua negara adalah saudara.
Rencana Ukraina untuk bergabung dengan NATO, aliansi militer negara-negara Atlantik utara, dianggap ancaman bagi keberadaan Rusia dan ancaman bagi Putin. Putin menganggap bahwa tidak seharusnya NATO melebarkan sayap keanggotaan mereka ke Eropa timur, terutama ke negara-negara yang memiliki perbatasan langsung dengan Rusia. Keberadaan pasukan, peralatan tempur atau sistem persenjataan serta intelijen yang canggih, dinilai akan mengurung dan melemahkan Rusia.
Sebaliknya, dalam pandangan AS dan sekutunya, masalah keanggotaan adalah kehendak bebas Ukraina atau negara eks US lainnya. AS dan NATO juga telah mengirimkan surat penolakan tuntutan Rusia.
Kremlin telah mengirim surat balasan kepada AS. Departemen Luar Negeri AS mengonfirmasi bahwa mereka telah menerima balasan dari Kremlin. Tapi, mereka tidak merinci isi surat balasan tersebut.
Upaya untuk mempertemukan para pihak bertikai juga terus dijalankan oleh Perancis. Presiden Emmanuel Macron telah berbicara dengan Putin, pembicaraan kedua dalam lima hari terakhir. Tidak ada penjelasan detail mengenai isi pembicaraan kedua pemimpin itu.
Ancaman sanksi
Sementara itu, Inggris dan Washington memberi isyarat bahwa orang-orang lingkaran terdekat Putin akan menjadi sasaran sanksi apabila Rusia benar-benar menginvasi Ukraina.
Ancaman itu dilontarkan Menlu Inggris Liz Truss. Di hadapan parlemen Inggris, dia menyatakan pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson siap menerapkan rezim sanksi terberat kepada Rusia.
”Mereka yang berada di dalam dan sekitar Kremlin tidak akan punya tempat untuk bersembunyi,” katanya.
Truss tidak menyebutkan secara detail nama-nama orang atau kelompok bisnis yang dekat dengan Putin dan Kremlin, yang akan menjadi sasaran sanksi. Tapi, dia memperlihatkan bahwa para pengusaha yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan Rusia memiliki kegiatan bisnis dan aset yang besar di Inggris dan akan menjadi target.
”Tidak akan ada tempat untuk bersembunyi bagi oligarki Putin,” kata Truss kepada Sky News.
Juru bicara Gedung Putih Jen Psaki juga mengisyaratkan bahwa Washington mengincar kelas orang yang sama untuk kemungkinan sanksi.
”Orang-orang yang kami identifikasi berada di atau dekat lingkaran dalam Kremlin dan memainkan peran dalam pengambilan keputusan pemerintah. Kami telah mengembangkan paket sanksi khusus untuk elite Rusia dan anggota keluarga mereka,” kata Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki.
Kremlin mengecam langkah Inggris sebagai serangan tersembunyi terhadap kegiatan ekonomi Rusia dan telah meningkatkan ketegangan di seluruh Eropa. (AP/AFP/REUTERS)