Seksualitas tidak semata terkait relasi jender laki-laki dan perempuan ”an sich”, tetapi juga formula diskursif dan konstruksi sosial, politik, budaya, bahkan Tuhan.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·4 menit baca
Seksualitas memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah manusia. Ia tidak hanya sebuah proses sosial-budaya yang mengarahkan hasrat atau birahi manusia, tetapi juga berhubungan erat dengan tatanan nilai, norma, pengetahuan, aturan di mana seseorang hidup dan berinteraksi.
Sejak awal peradaban, tingkah laku, pemikiran, dan seluruh ekspresi manusia selalu dirasuki oleh identitas seksual berupa konsep kelelakian dan keperempuanan. Implikasinya, seksualitas berbanding lurus dengan dengan konteks sosial yang melingkupinya. Seksualitas berkelindan dengan persoalan filsafat, psikologi, ekonomi, agama, dan bahasa.
Dengan hal-hal tersebut, seksualitas bisa dibaca dalam konteks multidimensional. Hal ini yang membuat seksualitas berpotensi mampu ”bercerita” dan mengungkap personalitas ekspresi, humanisme relasi seksual, hingga wujud sikap dan logika patologi seksual.
Belakangan terjadi berbagai macam kasus kekerasan seksual di masyarakat. Tidak hanya di jalanan, kekerasan seksual juga terjadi di perkantoran, institusi pendidikan, pesantren, bahkan di rumah. Pelakunya bukan lagi orang asing, melainkan justru pihak yang dikenal, dipercaya, dihormati, dan disegani, mulai dari guru, dosen, kepala pesantren, saudara kandung atau sepupu, paman bahkan kekasih dan ayah. Tidak hanya di dunia nyata, hal ini juga terjadi di dunia maya.
Seksualitas seperti tidak pernah kehabisan dan kehilangan daya sensasionalnya bagi siapa pun dan kapan pun. Sigmud Freud menyebut energi terbesar yang menggerakkan sejarah manusia adalah libido dan hasrat seksual manusia. Foucault mengungkapkan, seks merupakan bagian dari ciri manusia sebagai makhluk yang berhasrat (desiring subject). Pada zaman Yunani kuno, orang-orang mengolah hasrat seks menjadi bagian dari kegiatan yang sejajar dengan filsafat, ekonomi, dan pengelolaan kesehatan (dietetics). Seks mempunyai prestise yang tinggi pada masanya.
Pemaknaan
Meskipun sexual act yang mendasar sebenarnya hanya begitu-begitu saja, selalu ada saja perkembangan baru dalam wacana seksualitas di masyarakat. Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini menunjukkan dinamika ”konseptual” tersebut. Meskipun pada saat yang sama, hal ini menunjukkan ada yang salah dengan pemaknaan kita terhadap seksualitas.
Foucault (1996) merumuskan bahwa wacana seksualitas tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Seksualitas tidak semata relasi jender laki-laki dan perempuan dari sisi berahi atau tubuh an sich, tetapi juga formula diskursif dan konstruksi sosial, politik, budaya, bahkan Tuhan. Kekuasaan bukan suatu struktur, institusi ,atau kekuatan yang dimiliki, tetapi sebuah strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan cara menandai dan mekanisme tertentu.
Foucault menyebutnya bio power, satu strategi kekuasaan yang didukung dengan norrnalisasi (penciptaan binerisme berupa pengategorian dan logika praktik kekuasaan dalam pengetahuan) oleh wacana ilmu pengetahuan modern, terutama kedokteran, psikiatri, psikologi, dan kriminologi. Ia juga melibatkan kekuasaan (pemerintah, agama, keluarga, masyarakat), pengetahuan (pedagogis, analisis klinis, pendapat kedokteran), hingga aspek normatif-kulturalnya.
Hal ini bermuara pada hampir seluruh regulasi yang terkait dengan perempuan mengandung materi bias jender. Seperti ketika pemerintah dan masyarakat memberikan judgement dan standar-standar atas dasar ”moral Pancasila” dan ”moral agama”, ”menyelamatkan perempuan dari hal-hal yang buruk dan amoral”. Berbagai regulasi negara menyangkut isu perempuan seperti polemik poligami, kekerasan dalam rumah tangga, hak-hak reproduksi perempuan ,hingga ”pemanfaatan” perempuan dalam intrik politik (Arivia, 2005). Perempuan menjadi subyek yang menantang dan penuh kontroversi karena berada di dalam persilangan antara yang keramat dan yang profan.
Akibatnya terjadi pelembagaan spirit dehumanisasi perempuan dalam bentuk dekontruksi makna seksualitasnya di hampir semua elemen kehidupan. Perempuan menjadi komoditas yang tidak mempunyai ruang mewujudkan subyektivitas dan peran eksistensialnya. Ditambah dengan kondisi dan tata nilai masyarakat yang makin rapuh, seksualitas lalu menjadi naturalisasi hasrat dan hawa nafsu yang dilakukan secara banal dan vulgar. Pemerkosaan bapak terhadap anak kandungnya, guru/dosen kepada murid/mahasiswinya, hingga pemilik pesantren kepada para santriwatinya, membuktikannya.
Apa yang beroperasi di baliknya adalah semacam ”teknokrasi seksualitas” (technocracy of sexuality)—di dalamnya sistem nilai dibayangi logika seksualitas, yang menciptakan semacam ”erotisasi kebudayaan”. Berbagai bentuk konstruksi nalar lewat voyeurisme diciptakan, yang mengondisikan orang mengidentikkan diri dengan seksualitas melalui tampilan citra dan sistem simbol. Hal itu membuktikan bahwa persoalan seksualitas di negara ini tidak bisa dilihat sebagai persoalan yang sederhana, dan sangat bergantung kepada kuasa-kuasa pengetahuan yang berperan pada suatu kelompok masyarakat.
Bagaimanapun seksualitas manusia adalah hak pribadi yang lebih bersifat biologis, fisiologis, dan psikologis. Dengan itu manusia mengekspresikan kemanusiaannya sendiri dalam tata sosial yang menghormati pluriformitas pikiran. Tinggal kini bagaimana kita harusnya mampu memaknai dan mengeliminir kekerasan destruktif agar tidak menjelma menjadi realitas empiris yang mengerikan. Jangan sampai tercipta konstruksi logika setiap orang sehingga memandang perempuan hanya memainkan citra sebagai obyek. Konsepsi seksualitas dimaknai sedemikian rupa dan kemudian menghadirkan logika libidonomik yang absurd di benak setiap orang.
Purnawan Andra, Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek