Antara Puisi, Agama, dan Politik Sunyi
Puisi-puisi Denny JA lebih menyerupai doa. Biarkan puisi itu mencari jalan kebenarannya sendiri. Sekumpulan syair yang menyuarakan betapa rumitnya menjernihkan konsep agama di tengah ”politik sunyi” di negeri ini.
Puisi bukan kata-kata yang berpilin lidah. Poetry is when an emotion has found its thought and the thought has found words, kata penyair Amerika, Robert Frost (Penyair Amerika dan pengajar yang hidup tahun 1874-1964).
Demikianlah impresi yang tertangkap ketika menikmati narasi Denny JA dalam sejumlah buku (Karena Kucing Anggora, Burung Trilili, Naga Seribu Wajah, Kisah Kitab Petunjuk, Mencari Raja Diraja, Sidang Raya Agama, Balada Wahab dan Wahib, Menyelam di Langit, Terkejut Oleh Riset, Dua Wajah Ahli Agama, Hikmah Singapura, Lotre Kehidupan) Puisi Esai tentang Agama dan Diskriminasi. Genre Puisi Esai yang dimunculkan sang penyair memiliki aksentuasi jelas, yakni menampilkan sikap tema tentang kemanusiaan, religiositas, dan keanekaragaman.
Pilihan tema yang dipilih pun logis, yakni agama dalam konteks imanen dan bersifat personal. Tidak dalam pengertian seragam, satu sama lain memiliki kedalaman pikir intuitif, tafsir, serta keyakinan yang tidak keder oleh kritikan.
Menikmati lima Puisi Esai pertama karya Denny JA, tertangkap kisah-kisah yang menekan dada. Puisi-puisinya mencoba mengusik waham (keyakinan berdasarkan kearifan dan bukan agama), pertentangan dalam keluarga, perubahan arah keyakinan, juga sikap paternalisme masyarakat kita.
//Hidup berasal dari Burung Trilili/ Mati berujung juga pada Trilili/ Karena itu/ Ini sabdaku //… demikian salah satu bait puisi Burung Trilili yang ditulis lincah dan ritmik. Mengingatkan kita pada puisi Kotbah-nya WS Rendra. Imajinasi sang penyair dimainkan pada puisi berikut (Naga Seribu Wajah). Narasi ini mencoba menjelaskan fenomena masyarakat yang penuh khayalan, bergantung pada gugon-tuhon (kepercayaan sekitar). //Ada Naga sembunyi/ Di sungai yang sunyi/ Yang percaya mendapat berkah/ Yang mangkir peroleh celaka.//
Jika kedua puisi itu menawarkan imajinasi tentang misteri Ilahi, akan kita nikmati pula cara penyair menyitir pertikaian sosial halus yang kerap menimpa keluarga. Mulai dari beda tafsir, cara pandang politik, agama, hingga keputusan untuk memilih tidak lagi mengikuti isme secara bersama. Menarik, karena menggunakan idiom binatang kesayangan (Karena Kucing Anggora).
Lebih tajam lagi pada puisi Kisah Kitab Petunjuk, betapa seorang anak perempuan harus meminta maaf kepada ayahnya karena tidak dapat lagi mengikuti keyakinan yang diwariskan orangtua. Antara lain terbaca pada bait:
//Bulan berkata lirih kepada malam/ Ini kisah sebuah keluarga/ Sang Ayah lebih menyintai kitab lama/ Daripada putrinya yang lara/ Malam menitikkan air mata//
Burung Trilili pada puisi Mencari Raja Diraja kembali dimunculkan sebagai pelengkap penderita saat dipertanyakannya sebagai biang akibat dari perpecahan sepasang suami-istri. Dituliskan dengan penggambaran seperti ini:
//Umi pergi berkelana, menjadi sufi/ Percaya pada yang abadi/ Percaya getaran hati/ Percaya gaib yang misteri/ Dan itu bukan burung Trilili/ Ya, itu pasti bukan burung Trilili//
Rupanya kata-kata Albert Eisntein masih relevan, bahwa ”Ilmu tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu adalah buta”.
Apakah itu hanya adagium ataukah perjalanan spiritual seorang saintifis? Agama menjadi penting dan tak terelakkan pada tema-tema puisi esai Denny JA. Yang menjadi persoalan kemudian, agama tidak memberikan tafsir seragam. Bahkan, perbedaan mazhab demikian kompleks. Agama bukan penafsiran tunggal, melainkan keyakinan yang terkesan dipaksakan.
Agama menjadi penting dan tak terelakkan pada tema-tema puisi esai Denny JA.
Dengan keberanian ideologinya, sang penyair mencoba memotret persoalan ini. Islam sebagai agama dijadikan brand untuk menutup kafe, menghantam seorang perempuan dan menjalankan hukum tidak tertulis sesuai tatanan negara (Sidang Raya Agama). Seorang anak kembar yang di masa kecil melewati masa lalu indah, di masa dewasa harus bertikai karena mazhab yang berbeda (Wahab dan Wahib).
Tuhan hanya satu, ”Kita yang tak sama,” demikian Marcel Siahaan menuliskan sebuah lirik pada lagunya. Ini pun tak luput ditulis Denny JA dalam puisi Menyelam ke Langit. Narasi pada puisi ini sangat indah. Permenungannya pun menjanjikan, kisah seorang anak yang galau ingin berpindah agama.
Ketika Tuhan diyakini satu dan di mana-mana, mestinya agama apa pun akan membukakan jendela untuk melihat Tuhan yang di mana-mana itu. Dan insight mengenai kesadaran tersebut akhirnya didapat dengan menulis syair: // Ia tiada perlu pindah agama/ Yang ia perlukan hanya Menyelam/ Menyelam..//
Puisi dengan angle yang sama kita dapati pada Terkejut oleh Riset dan Dua Wajah Ahli Agama. Puisi pertama menuturkan hasil riset lembaga internasional tentang negara-negara yang paling berbahagia. Ternyata negara tidak beragamalah yang menduduki peringkat teratas. Puisi berikutnya mengenai hasil riset KPK yang menyatakan Kementerian Agama-lah lembaga pelaku korupsi tertinggi di negeri ini.
Dilematis, narasi ini memisahkan idealitas dengan realitas. Menjadi menarik karena pada penutup sang penyair memberikan panduanmoral bagi pembaca.
”Pernah di suatu masa
kami ajarkan agama di sekolah
Tapi apa yang dicapai?
Para murid tercerai-berai”
(Hikmah Singapura)
Bolehkah agama hanya tadarus di tempat sepi? Ia tidak peduli terhadap realitas sosial, realitas budaya dan realitas politik? Jika puisi hanya menuliskan tentang bulan dan laut, Rendra mengkritik sebagai puisi kelangenan. Agama, Those who say religion has nothing to do with politics do not know what religion is! (Mahatma Gandhi).
Agama harus kontekstual disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Di Singapura, agama sudah tidak lagi diajarkan di sekolah. Bukan berarti anti, melainkan negara itu meyakini, perbedaan keyakinan pada lembaga pendidikan akan memecah belah siswa (Puisi Hikmah Singapura). Itu masih diperjelas dengan kata-kata Nabi Isa AS, ”Jangan biarkan hatimu bermasalah, percayalah kepada Tuhan, percayai saya.”
Dua baris cantik juga saya temukan di sini, //Kebaikan tak hanya lahir dari kebaikan/ Kesadaran banyak terbit dari kesalahan.// Baris itu terbaca pada satu-satunya puisi bertemakan Nasrani berjudul Balada Aneta. Seorang calon biarawati yang sudah tidak lagi suci bertanya kepada Ibu Asrama, apakah ia masih layak menjadi biarawati. Jawabnya seperti pada bait puisi yang terkutip di atas.
Religiositas pada dasarnya tidak sekadar tata cara peribadatan, lebih jauh dari itu adalah Tuhan dalam aliran darah, agama dalam embusan desah.
Religiositas pada dasarnya tidak sekadar tata cara peribadatan, lebih jauh dari itu adalah Tuhan dalam aliran darah, agama dalam hembusan desah. Puisi dengan tutur menawan, lembut dan indah ada pula pada puisi Mimpi Sepeda Ontel dan Lotre Kehidupan.
Masing-masing berkisah tentang seorang gadis yang senantiasa bermimpi memiliki sepeda ontel. Dalam kehidupan nyata, ia mengalami trauma luar biasa karena bekerja di lembaga keagamaan radikal dan keras.Hanya satu kata yang bisa ia inginkan, mengundurkan diri dari pekerjaan. Sikap tersebut dipersonifikasikan dengan kalimat, ”Burung yang hidup/ Tak lagi tergantung pada sangkar” (Mimpi Sepeda Ontel).
Kemudian Lotre Kehidupan secara lugas menuturkan perjalanan dua sahabat dari masa lalu yang miskin ke masa depan yang berbeda nasib. Mereka dipertemukan kembali karena sebuah permainan lotre seperti di masa kanak-kanak dulu.
Lagi-lagi tentang pertikaian, pada Perguruan Bahagia, akan kita tangkap bagaimana dua murid andal di sebuah perguruan hebat, akhirnya harus bertarung. Kekuasaan untuk memimpin perguruan tersebut menjadikan keduanya berhadap-hadapan. Apa lagi sang guru tidak tegas menentukan keputusan.
Jika pakaian tidak pas dengan badan
Yang dipotong jangan badan
Tapi pakaian yang disesuaikan
Demikianlah tipologi puisi esai yang tidak banyak simbol, tetapi ingin sampai kepada pembaca.
Jika Freud menyebut segala tingkah laku selalu bersifat libido sexualis (selalu dihubungkan dengan hasrat seksual), maka hukum kehidupan biasanya bersifat transaksional.
Demikianlah puisi Ambruknya Sang Raksasa ditulis dengan benang merah di atas. Manusia selalu hidup dalam transaksi. Baik secara sosial, agama, maupun kebudayaan. Interelasi kita dengan Tuhan dikritisi sebagai transactional religion. Ada hubungan timbal-balik, di mana manusia berharap akan surga dan Tuhan menuntut kekuasaan abadi atas manusia.
Puisi Robohnya Menara Kami terurai sedikit pemikiran yang lebih dewasa bahwa agama adalah spiritualism need. Kebutuhan yang tidak semata-mata berdasarkan untung-rugi dan hitung dagang. Kita semakin mendapat gambaran ketika membaca kata-kata: // Jangan botol tapi isi/ Jangan label tapi substansi//, sekaligus menjelaskan betapa mengukur Islami adalah menakar substansi, bukan kemasan (Barat Lebih Islami).
Penyair kian nyaman ”membatik” falsafah, ini tertangkap pada puisi Berburu Bahagia. Ia bicara tentang telur dan mentimun yang nasibnya bergantung air mendidih. Telur bisa berubah keras, mentimun bisa lunak, semua itu ditentukan oleh air yang mendidih. Bermain-main dengan fragmen Mawar Berdarah, justru menjadi titik lemah dari kekuatan narasi yang dibangun sebelumnya. Puisi itu berkisah tentang kematian Mawar yang terlibat cinta segi tiga. Ia menikah dengan seseorang yang tak dicintainya karena sang kekasih berbeda agama.
soal kehendak Tuhan?
soal interpretasi agama?
soal siapa yang benar?
Tak heran punya banyak persepsi
(Mawar Berdarah)
Tentang dua puisi yang tersisa, Ustaz yang Gay dan Berburu Tuhan, akan kita dapatkan pemaknaan yang nyaris sama dengan puisi-puisi sebelumnya.
Puisi-puisi Denny JA lebih menyerupai doa. Biarkan puisi itu mencari jalan kebenarannya sendiri. Sekumpulan syair yang menyuarakan betapa rumitnya menjernihkan konsep agama di tengah ”politik sunyi” di negeri ini.
Handry TM, seorang esais dan penulis fiksi, tinggal di Semarang.