Korban Insiden Dili Sekitar 50 Orang Tewas (Arsip Kompas)
Komisi Penyelidik Nasional Insiden 12 November 1991 di Dili melaporkan hasil kerja mereka ke Presiden Soeharto. Jumlah korban meninggal dunia disebutkan sekitar 50 orang dan luka-luka lebih dari 91 orang.
*Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi 27 Desember 1991. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
Jakarta, Kompas -- Peristiwa/Insiden 12 November 1991 di Dili yang mengakibatkan sejumlah korban meninggal dunia dan luka, jelas bukan merupakan sesuatu yang terjadi atas dasar perintah atau pun kebijakan Pemerintah atau ABRI baik di Pusat maupun di Daerah Propinsi Timor-Timur. Peristiwa/Insiden 12 November 1991 di Dili pada hakekatnya merupakan suatu musibah yang patut disesalkan.
Demikian bunyi salah satu butir kesimpulan yang tercantum dalam Laporan Pendahuluan Komisi Penyelidik Nasional Peristiwa/Insiden 12 November 1991 di Dili, yang dilaporkan kepada Presiden Soeharto hari Kamis (26/12) di Ruang Jepara, Istana Merdeka, Jakarta.
Mengenai jumlah korban meninggal dunia disebutkan sekitar 50 orang dan yang luka lebih dari 91 orang.
"Setelah mendengar laporan pendahuluan Komisi Penyelidik Nasional (KPN) mengenai Insiden Dili, Timor Timur, 12 November lalu, Presiden Soeharto hari Kamis kemarin menyampaikan rasa belasungkawa yang mendalam kepada segenap anggota masyarakat Timtim, kepada keluarga masyarakat yang tewas dalam insiden tersebut, terutama yang tidak berdosa. "Presiden juga menyampaikan rasa keprihatinannya terhadap keluarga yang sanak keluarganya sampai saat ini belum diketahui berada di mana. Namun bisa saja, mereka sedang mengungsi ke desa lain," demikian Menteri/Sekretaris Negara Moerdiono dalam jumpa pers di Istana Merdeka Kamis kemarin.
Para anggota KPN yang melapor kepada Presiden kemarin ialah M Djaelani SH (Ketua, Hakim Agung dari Mahkamah Agung) serta para anggota lainnya terdiri dari Drs Ben Mang Reng Say (DPA), Clementino Dos Reis Amaral (anggota DPR), Harisoegiman (Depdagri), Drs Hadi A Wayarabi Alhadar (Deplu), Anton Sujata SH (Departemen Kehakiman) dan Laksda Sumitro (Mabes ABRI). Dalam pertemuan selama hampir lebih dari satu jam itu, Komisi didampingi oleh Mensesneg Moerdiono.
Baca juga: Liputan Referendum Timor Timur, Menatap Saudaraku Semakin Jauh Melangkah
Posisi terhormat
Dalam jumpa pers kemarin Mensesneg mengatakan, komisi ini diterima oleh Presiden di Ruang Jepara, Istana Merdeka, tempat yang lazim untuk menerima tamu negara. "Ini merupakan tanda dari sikap Presiden menempatkan komisi ini pada posisi yang sangat terhormat," ujar Moerdiono.
Menurut Moerdiono, selama pertemuan dengan KPN, Presiden mengajukan sejumlah pertanyaan. Sambil mendengarkan uraian tersebut, Presiden juga membuat catatan-catatan. "Ini merupakan hal yang tidak lazim dilakukan Bapak Presiden," kata Mensesneg.
Tanggapan Presiden terhadap laporan kemarin antara lain mengatakan, jelas sebelum peristiwa 12 November ada semacam prolog. Jelas pula ada kegiatan yang meningkat dari mereka yang bersikap anti- integrasi dan juga dari bekas Fretilin.
Sesungguhnya, kata Presiden yang dikutip Mensesneg, akhir-akhir ini, telah dilakukan pembinaan teritorial dengan pendekatan cinta kasih dan keterbukaan. "Namun suasana ini telah disalahgunakan oleh mereka yang anti-integrasi atau sisa-sisa Fretilin."
Dijelaskan pula, Presiden akan mempelajari laporan tertulis dari KPN ini. "Ini memerlukan waktu dua hari ini," katanya.
Presiden dalam waktu yang singkat ini, kata Moerdiono, akan membicarakan hasil penyelidikan KPN dengan Menhankam, Panglima ABRI, Kepala Staf TNI Angkatan Darat dan Jaksa Agung. "Karena di dalamnya ada aspek-aspek lanjutan di bidang hukum," ujar Moerdiono.
Dikatakan pula, Presiden menginstruksikan kepada Mensesneg untuk menyebarluaskan hasil penyelidikan KPN itu "secara apa adanya" kepada masyarakat luas. KPN, tambahnya, masih akan melanjutkan tugasnya. "Mungkin sebulan atau setengah bulan lagi, karena laporan yang disampaikan sekarang merupakan kesimpulan dari Komisi sekarang, laporan selengkapnya nanti akan sangat tebal, memuat secara detail dari segala yang dilihat, didengar dan dicatat selama KPN melaksanakan tugasnya.
Kepala Negara juga menginstruksikan kepada Menko Ekuin untuk meningkatkan lagi koordinasi pelaksanaan pembangunan di Timtim. Selama ini pun, kata Moerdiono, Timtim sesungguhnya mendapat perhatian yang besar dari pemerintah, khususnya dalam penyediaan anggaran pembangunan.
Presiden juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada KPN yang telah melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. "KPN sungguh-sungguh independen, selama ini Presiden tidak mengusahakan bertemu KPN justru ingin agar KPN melaksanakan tugasnya secara independen," kata Moerdiono.
Lihat juga: 20 Tahun Referendum Timor Timur
Kesimpulan
Kesimpulan yang termaktub dalam laporan sebanyak 16 halaman ketik dengan dua lampiran, disebutkan bahwa Komisi mempunyai alasan dan dasar yang kuat untuk sampai pada kesimpulan sebagai berikut :
1. Peristiwa/Insiden 12 November 1991 di Dili merupakan puncak dari rangkaian demonstrasi/insiden sebelumnya yang dilakukan oleh kelompok anti-integrasi/GPK Fretilin.
GPK Fretilin yang semakin terdesak, mengubah pola operasinya dari gerilya hutan menjadi gerilya kota, telah menyalahgunakan kebijakan pembangunan Timor-Timur yang menggunakan pola pendekatan berdasarkan cinta-kasih dan kesejahteraan dan memanfaatkan situasi, kondisi serta kesenjangan generasi muda dengan mempengaruhi mereka untuk menentang integrasi, sekaligus menarik perhatian dunia internasional akan eksistensinya.
2. Peristiwa/insiden yang mengakibatkan sejumlah korban meninggal dunia dan luka ini, jelas bukan merupakan sesuatu yang terjadi atas dasar perintah atau pun kebijakan Pemerintah atau ABRI baik di Pusat maupun di Daerah Propinsi Timor-Timur. Peristiwa/insiden ini pada hakekatnya merupakan suatu musibah yang patut disesalkan.
3. Demonstrasi tanggal 12 November 1991 di Dili tersebut mengandung unsur provokasi yang sudah direncanakan sebelumnya oleh kelompok anti-integrasi/GPK Fretilin dan bukan merupakan suatu prosesi yang teratur dan bertujuan damai untuk mengenang arwah Sebastio Gomes.
4. Para demonstran yang sebagian besar terdiri dari kaum muda, telah berlaku beringas, emosional dan destruktif, sebagian diduga karena hasutan dari kelompok anti-integrasi/GPK Fretilin dan sudah terbina cukup lama. Di samping itu mereka secara sadar menggelarkan bendera Fretilin dan Falentil, gambar pimpinan GPK Fretilin Xanana, spanduk-sapnduk serta meneriakkan yel-yel anti-integrasi dan menghina aparat keamanan.
Baca juga: Timor Timur: Tanah Perebutan, Kesepakatan, dan Kehilangan
5. Beberapa orang warga negara asing telah aktif ikut serta dalam demonstrasi tersebut.
6. Dalam kondisi ketegangan yang memuncak diawali adanya penusukan terhadap seorang perwira dan melukai seorang tamtama ABRI, keberingasan massa yang provokatif, dan perlawanan massa yang dirasakan oleh aparat keamanan dapat membahayakan keselamatan senjata dan jiwa, maka telah terjadi reaksi spontan prajurit untuk tanpa kendali komando melakukan pembelaan diri dan penembakan berlebihan terhadap massa demonstran, sehingga menimbulkan korban mati dan luka.
Bersamaan dengan itu, sekelompok anggota aparat keamanan yang tidak teratur dan di luar komando telah pula melakukan penembakan dan penganiayaan, sehingga mengakibatkan semakin bertambahnya korban.
7. Dalam menangani huru hara yang terjadi peristiwa/insiden 12 November 1991, sekalipun sudah ada satuan-satuan pengendali huru hara, namun komisi tidak melihat dipergunakannya prosedur/tata cara penanganan huru hara secara optimal. Tindakan sejumlah anggota aparat keamanan melebihi batas kepatutan mengakibatkan jatuhnya korban, baik meninggal dunia, luka tembak, luka tusuk/tikam maupun luka karena pukulan benda tumpul.
Walaupun perhitungan jumlah korban hingga kini adalah 19 orang, dan 91 orang luka, demikian lanjut kesimpulan nomor tujuh tersebut, namun komisi merasa cukup mempunyai alasan kuat untuk berpendapat, jumlah korban meninggal dunia sekitar 50 orang dan luka lebih dari 91 orang.
8. Terhadap yang telah meninggal dunia, ternyata kurang cermat dalam penanganannya karena meskipun telah dibuat visum et repertum, tapi tidak diidentifikasi sebagaimana mestinya. Di samping itu juga kurang diberikan kesempatan kepada pihak keluarga/teman para korban untuk mengenalinya.
9. Komisi berpendapat bahwa demi tegaknya hukum, terhadap semua yang terlibat dalam Peristiwa/Insiden 12 November 1991 di Dili dan yang diduga melanggar hukum, perlu diambil tindakan dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di negara hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada bagian penutup, laporan itu menyebutkan, dalam melaksanakan tugasnya KPN mendapat bantuan sepenuhnya dari semua pihak, baik Pemerintah maupun ABRI, Pemuka Gereja dan Masyarakat. Namun diakui bahwa KPN menemui hambatan karena sejumlah saksi yang akan diminta kesaksiannya tidak bersedia sebab mereka masih diliputi perasaan was- was dan khawatir dianggap terlibat langsung dalam Peristiwa/Insiden 12 November 1991 di Dili atau takut dianggap tergolong kelompok anti- integrasi.
Tanpa kendali komando
Ketua KPN M. Djaelani yang kemarin juga memberikan penjelasan kepada pers ketika ditanya mengenai tindakan sejumlah anggota aparat keamanan melebihi batas kepatutan, antara lain mengatakan, aparat keamanan biasanya mengejar para anggota gerombolan pengacau keamanan (GPK) Fretilin atau lainnya di hutan-hutan, kini mereka melihat bendera Merah Putih diturunkan dan diganti lambang Fretilin dan gambar Xanana di depan mata mereka di tengah kota.
Dikatakan, ketika terjadi perampasan senjata dari aparat keamanan oleh para demonstran yang juga terdiri dari anak-anak SMP, maka panaslah para aparat keamanan, karena senjata bagi mereka juga merupakan nyawa mereka, maka terjadilah rasa panas mereka (aparat keamanan) melakukan serangan dengan popor, dengan pisau dan seterusnya. "Tapi secara keseluruhan, anggota ABRI mana pun tahu bahwa hal itu sudah di luar batas kepatutan, mereka harus tenang, tidak boleh panas. Kalau tenang tidak akan terjadi seperti itu, apalagi yang di depan mereka anak-anak SMP, kalau dibrol begitu saja banyak yang kena, " ujar Djaelani.
Kemudian anggota-anggota KPN, Laksda Sumitro menambahkan, pemukulan-pemukulan terhadap para korban bisa dibuktikan adanya yang luka-luka dan adanya ketakutan dari para korban. "Inilah dasar utama kita untuk menyimpulkan tindakan berlebihan itu, sedangkan mengapa terjadi penembakan berlebihan, secara riil kita tidak melakukan penyelidikan," ujarnya.
Pelaksanaan tugas KPN
KPN dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 53 Tahun 1991, beranggota tujuh orang. Mulai melaksanakan tugasnya pada tanggal 21 November 1991. Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan pengumpulan data di Jakarta tanggal 21 November sampai 27 November 1991. Penyelidikan di Timor-Timur (Dili dan sekitarnya) dari 28 November sampai 14 Desember 1991.
KPN melakukan penyelidikan secara bebas, cermat, adil dan tuntas, untuk memperoleh data dan fakta yang obyektif mengenai Peristiwa/Insiden 12 November 1991 di Dili. Dalam melaksanakan tugasnya, KPN melakukan kegiatan penyelidikan meliputi segala aspek yang berkaitan dengan peristiwa itu, dan bukan melakukan penyelidikan.
Laporan pendahuluan yang disampaikan kepada Presiden kemarin terdiri dari pendahuluan, pelaksanaan kegiatan, uraian peristiwa/insiden 12 November 1991 di Dili, kesimpulan dan penutup.
Kegiatan di Jakarta sebelum berangkat ke Timtim, KPN antara lain menghadap Wakil Presiden, memperoleh penjelasan dari Menhankam dan Menlu ad-interim, Mendagri dan Panglima ABRI.
Selama di Dili, KPN mengadakan pertemuan dengan Gubernur (lima kali), dengan Bupati Dili, Wali Kota Dili, sejumlah camat dan kepala desa Daerah Tingkat II Dili secara selektif dan terpisah. Juga mengadakan pertemuan dengan Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo (empat kali) serta para pastor yakni Alberto Ricardo da Silva, Albrecht Kareem, Markus Wanandi, Locatelli, Jose Carbonell dan Jose Antonio da Costa. Pertemuan diadakan pula dengan Pangkolakops (lima kali) para Staf Kolakops (beberapa kali) dan jajarannya, termasuk dengan Polisi Wilayah serta Tim Yustisi yang dibentuk untuk melakukan penyidikan peristiwa/insiden tersebut. KPN juga bertemu dengan Pangdam IX/Udayana di Denpasar.
Pertemuan lainnya diadakan dengan Ketua DPRD Tingkat I Timtim, Ketua DPRD Tingkat II Dili, Organisasi Massa/Orpol, tokoh-tokoh masyarakat serta bertemu dan wawancara dengan 132 orang saksi. KPN juga mengadakan kunjungan ke Rumah Sakit Tentara Wira Husada di Dili, Rumah Sakit Umum Pusat Dili dan beberapa Puskesmas, serta tempat penahanan di Polwil.
KPN juga menelusuri rute demonstrasi dari jalan di depan Gereja Motael sampai pekuburan umum Santa Cruz dan melakukan beberapa kali rekonstruksi di tempat kejadian. KPN juga mengadakan penelitian dan mencatat adanya tanda bekas peluru sebanyak kurang lebih 70 buah di tembok dan pintu-pintu pekuburan Santa Cruz di pohon dan tiang listrik.
Selain itu KPN melakukan peninjauan di pekuburan umum Hera dan menggali satu di antara 18 korban meninggal dunia. Ternyata korban dikebumikan di dalam peti, jenazah berpakaian lengkap sesuai tata cara agama Katolik. Dan ternyata di liang kubur tersebut hanya terdapat satu jenazah. KPN juga melakukan peninjauan dan penggalian di lokasi- lokasi sekitar Hera, Pasir Putih, Tasi Tolu dan Tibar atas dasar informasi yang diperoleh dari masyarakat bahwa tempat tersebut merupakan kuburan massal para korban peristiwa/insiden Dili, yang ternyata tidak diperoleh bukti adanya penguburan di lokasi tersebut.
Tekanan luar
Ditanya mengenai kemungkinan adanya tekanan dari dunia internasional sehingga KPN menyimpulkan jumlah korban sekitar 50 orang walaupun mayat yang diketemukan hanya 19, Djaelani antara lain mengatakan, "Kami tidak sempat mengikuti berita-berita dari luar negeri sama sekali, sehingga tidak ada pengaruh kepada KPN, di Dili koran yang ada hanya beberapa, antara lain Surya dan Jawa Pos...dan Kompas kalau ada terlambat datangnya dan harganya mahal."
Mengenai jumlah korban sebanyak 50 orang itu, kata Djaelani, berdasarkan saksi mata dan bervariasi, sebagian besar mengatakan 50 orang. "Ada yang mengatakan 300 orang atau 350 orang, tapi itu tidak kami percayai," ujarnya.
Mengenai pernyataan yang dipercayai, katanya, berasal dari orang- orang yang cukup dewasa dan saksi yang dapat dipercaya dan melihat mayat-mayat tersebut. Ini bisa dipakai. Di antara mereka seseorang yang mencari anaknya dan sempat menghitung mayat. Juga ada seorang pastor yang memperkirakan jumlah sebanyak itu (50 orang). "Gubernur Timtim dan pejabat setempat juga melihat satu truk berisi mayat, meski sulit menduga berapa tetapi memperkirakan sekitar itu juga. Jadi jumlah ini diambil dari saksi-saksi yang lebih banyak menyebut 50 orang dari yang menyebut jumlah lainnya," kata Djaelani. "Karena tidak bisa membuktikan jumlah yang tepat, tentunya kita tidak bisa menyebut angka pasti, yang pasti ya 19 orang itu, tapi banyak saksi yang melihat jumlahnya 50, 60 bahkan 100. Lalu diambil angka yang bisa dipakai dan dipertanggungjawabkan 50 orang," ujarnya lebih lanjut. (osd)
Arsip Kompas bagian dari ekshibisi “Indonesia dalam 57 Peristiwa”, 28 Juni 2022.