Praktik bagi-bagi uang menjelang pencoblosan atau serangan fajar masih menjadi pilihan banyak caleg untuk mendulang suara warga. Serangan fajar ini disusun secara terstruktur dan sistematis hingga ke tangan pemilih
Oleh Tim Harian Kompas
11 Feb 2024 08:00 WIB · Investigasi
Bagi-bagi uang tunai menjelang pencoblosan atau serangan fajar kian mengakar dan terus terjadi pada setiap pemilihan umum. Suara rakyat yang kerap dianggap sebagai suara Tuhan justru dinodai oleh aktor-aktor yang mengagungkan uang sebagai alat tempur politik untuk meraih kekuasaan.
Praktik bagi-bagi uang dalam pemilihan umum turut terekam dalam Pemilu 2014 dan 2019. Dari data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kasus politik uang menempati urutan teratas dari sepuluh besar kasus pidana pemilu di Indonesia.
Tak hanya kasus pidana yang meningkat. Indonesia bahkan menduduki peringkat pertama negara dengan jumlah politik uang tertinggi di dunia. Temuan itu merupakan hasil riset dari Guru Besar Bidang Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Burhanuddin Muhtadi.
Dalam temuannya, Burhanuddin menyebutkan, kalau pada pemilu 2014 dan pemilu 2019, ada 63,5 juta pemilih yang terlibat dalam politik uang untuk pemilihan legislatif atau pileg. Lalu, mengapa pemilu justru melanggengkan praktik bagi-bagi uang?
Praktik politik uang masif terjadi di Pileg karena persaingan antar caleg pada sistem proporsional terbuka cukup sengit. Seorang caleg hanya membutuhkan margin suara yang tipis untuk mengalahkan teman satu partai. Dalam hal ini, politik uang menjadi penting meskipun efek untuk memengaruhi pemilih hanya 10 persen.
Politik uang bisa saja dianggap penting bagi sebagian caleg yang mengincar kursi empuk Senayan. Apalagi, pada Pemilu 2024, ada 9.917 caleg DPR yang bertarung dengan peluang menang hanya 5,8 persen.
Bagi-bagi uang tunai menjelang pencoblosan atau serangan fajar kian mengakar dan terus terjadi pada setiap pemilihan umum. Suara rakyat yang kerap dianggap sebagai suara Tuhan justru dinodai oleh aktor-aktor yang mengagungkan uang sebagai alat tempur politik untuk meraih kekuasaan.
Praktik bagi-bagi uang dalam pemilihan umum turut terekam dalam Pemilu 2014 dan 2019. Dari data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kasus politik uang menempati urutan teratas dari sepuluh besar kasus pidana pemilu di Indonesia.
Tak hanya kasus pidana yang meningkat. Indonesia bahkan menduduki peringkat pertama negara dengan jumlah politik uang tertinggi di dunia. Temuan itu merupakan hasil riset dari Guru Besar Bidang Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Burhanuddin Muhtadi.
Dalam temuannya, Burhanuddin menyebutkan, kalau pada pemilu 2014 dan pemilu 2019, ada 63,5 juta pemilih yang terlibat dalam politik uang untuk pemilihan legislatif atau pileg. Lalu, mengapa pemilu justru melanggengkan praktik bagi-bagi uang?
Praktik politik uang masif terjadi di Pileg karena persaingan antar caleg pada sistem proporsional terbuka cukup sengit. Seorang caleg hanya membutuhkan margin suara yang tipis untuk mengalahkan teman satu partai. Dalam hal ini, politik uang menjadi penting meskipun efek untuk memengaruhi pemilih hanya 10 persen.
Politik uang bisa saja dianggap penting bagi sebagian caleg yang mengincar kursi empuk Senayan. Apalagi, pada Pemilu 2024, ada 9.917 caleg DPR yang bertarung dengan peluang menang hanya 5,8 persen.
Namun, bagi demokrasi, praktik ini pula yang memunculkan politik berbiaya tinggi hingga meredupnya politik adu gagasan. Serangan fajar juga jadi penyebab pejabat yang terpilih kerap merasa tak lagi punya kontrak sosial dengan pemilih dan menurunkan fungsi representasi.
Politik yang transaksional ini pun berdampak pada berjaraknya masyarakat dengan pejabat yang mereka pilih. Alhasil, masyarakat lebih pragmatis dan tak lagi percaya pada wakil-wakil rakyat yang sejatinya punya kewenangan memperjuangkan hak mereka di parlemen.
Tim investigasi Kompas mengungkap praktik operasi serangan fajar dari sejumlah aktor lapangan. Seorang perangkat desa di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, berinisial AD terlibat dalam operasi serangan fajar pada Pemilu 2019 dan 2024 untuk caleg DPR RI dari partai yang berbeda.
Operasi pembagian amplop kepada pemilih dilakukan secara terstruktur. Beberapa bulan sebelum pencoblosan, tim sukses caleg membentuk tim dari tingkat kabupaten hingga RT. Tim ini terdiri dari koordinator kabupaten, koordinator kecamatan, koordinator desa, koordinator RW, koordinator RT hingga koordinator lapangan.
Kompas menemukan dokumen berisi daftar tim dan formulir pendataan pemilih caleg DPR RI di rumah AD. Dokumen daftar tim itu berisi nama-nama 61 anggota tim di salah satu desa. Nama AD tercantum sebagai koordinator kecamatan.
AD membawahi satu koordinator desa, lima koordinator RW, dan 55 koordinator lapangan. Setiap koordinator ditugaskan untuk mencari calon pemilih potensial. Nama mereka kemudian ditulis dalam formulir pendataan pemilih. Nama di formulir itu menjadi target operasi serangan fajar.
Momen pemilu juga dimanfaatkan oleh OS (53), seorang tokoh masyarakat di Kudus untuk menjadi operator serangan fajar. Sebagai pemuka agama, mantan ketua RT, mantan anggota permusyawaratan desa, hingga pranatacara di kampungnya, OS mengaku bisa mencarikan 300 suara untuk caleg.
Seperti halnya AD, OS akan membentuk tim sebanyak dua orang di tiap TPS. Masing-masing ditugaskan menyerahkan amplop ke 20 warga yang sudah didata sebelumnya.
Koordinator lapangan yang jumlahnya mencapai 5-6 orang menjadi tumpuan. Mereka ditugaskan mendata 20 orang yang dijadikan sasaran serangan fajar. Data tersebut kemudian diserahkan secara berjenjang kepada koordinator RT, koordinator RW dan koordinator desa.
Pada Pemilu 2019, AD menjadi koordinator desa. Setelah mengumpulkan data calon pemilih dari koordinator di tingkat bawahnya, dia menyerahkan data tersebut ke posko pemenangan caleg. Data tersebut ditukar dengan amplop berisi uang dan kartu nama caleg. Amplop-amplop itu lalu didistribusikan kepada koordinator RT dan koordinator lapangan untuk dibagikan pada H-1 pencoblosan.
"Misalkan satu RT mendata 50 orang, nanti akan saya kasih 50 amplop ke dia untuk dibagikan. Berbeda-beda tiap RT. Ada yang 30 amplop, ada yang 20 amplop," ungkap AD.
Untuk menghindari tim sukses caleg lain memengaruhi para warga yang sudah didata, para koordinator lapangan menempelkan stiker di rumah-rumah warga. "Pada Hari-H mereka ditanyain lagi dengan sedikit intimidasi. Kayak, awas lho kalau kamu bohong," tambahnya.
Di Samarinda Kalimantan Timur, Kompas berjumpa dengan DG, bekas anggota tim sukses calon anggota legislatif pemilu 2019. Pria usia 30-an itu mengisahkan alur pemberian serangan fajar caleg ke pemilih tertarget.
Baca juga: Serbuan Sembako Caleg di Rusun Jakarta
DG bertugas memenangkan tiga caleg, yaitu caleg DPRD Kota Samarinda berinisial SD, serta caleg DPRD Provinsi Kaltim dan DPR RI. Caleg SD merekrutnya karena mereka dekat dan berasal dari organisasi yang sama sewaktu sekolah.
Cash (tunai). Kami ndak berani kalau transfer, risikonya besar. Ada jejaknya kan.
Selain DG, setidaknya tiga orang dekat SD juga jadi timses inti. Karena mereka saling kenal, keempatnya secara alamiah jadi ring satu. Adapun koordinator-koordinator yang mereka rekrut untuk cakupan wilayah lebih sempit hingga tingkat RT kebanyakan tidak dikenal DG, sehingga tergolong ring dua, tiga, dan seterusnya.
Mencari koordinator bukan perkara gampang di tengah persaingan dengan caleg lain yang juga berburu timses. Akhirnya, beberapa koordinator merupakan orang yang “seadanya” dan mau tidak mau dipercaya, termasuk dalam menyalurkan pembagian uang ke pemilih.
Ia mengelola uang khusus serangan fajar sebesar Rp 600 juta dari setiap caleg, sehingga totalnya Rp 1,2 miliar. Setiap pemilih yang disasar menerima Rp 300.000, sehingga amplop meluncur kepada 6.000-an orang.
Tim mengeksekusi bagi-bagi uang seminggu sebelum pencoblosan. “Cash (tunai). Kami ndak berani kalau transfer, risikonya besar. Ada jejaknya kan,” ujar DG.
Amplop pun hanya berisi uang. Tim dilarang memasukkan bahan kampanye, seperti stiker atau kartu nama caleg, ke amplop. ”Risikonya besar kalau tertangkap ada kartu namanya. Jika hanya amplop, kita bisa mengelak,” kata DG.
Calon anggota dewan juga bisa menggunakan jasa sukarelawan bayaran atau calo suara untuk melancarkan serangan fajar. Calo suara bisa bekerja untuk caleg dari partai yang berbeda-beda bahkan di masa pemilu yang sama. Syaratnya, nominal dana yang disepakati memuaskan.
Lewat penyamaran sebagai tim sukses caleg, Kompas menemui FE (52), salah satu calo suara di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. Ia berupaya menyeleksi agar caleg yang dibantunya berasal dari partai yang satu koalisi dalam pemilihan presiden. Maklum, di dinding teras rumahnya sudah terpasang spanduk penanda ia sukarelawan salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden.
Namun, karena kami mengaku dari timses caleg yang tidak satu koalisi, ia mempertimbangkan untuk menerima dengan syarat ada kesanggupan dalam pendanaan. Jika harga cocok, kerja sama tetap bisa berlanjut. “Jatuhnya saya main belakang,” ucap FE.
Dari perhitungannya, FE berpeluang menggalang 25 suara per tempat pemungutan suara (TPS) di sekitar tempat tinggalnya. Ia percaya diri untuk mencarikan suara di 40 TPS, sehingga akan menjangkau total seribuan pemilih.
Baca juga: Calo Suara Hanya Bertuan kepada Cuan
Pemberian wajib dari caleg ke warga jika mengikuti strategi FE bukan hanya bagi-bagi uang jelang pencoblosan, melainkan juga bahan kebutuhan pokok (sembako) di tahap sosialisasi. Standarnya, amplop serangan fajar berisi Rp 100.000 dan sembako minimal satu liter minyak goreng untuk setiap pemilih.
FE menyanggupi dengan tawaran Rp 150 juta, tetapi itu baru untuk operasional tim dan anggaran serangan fajar. Caleg perlu menyiapkan dana tambahan untuk pembagian minyak goreng.
Untuk beroperasi, FE bakal merekrut koordinator tingkat kelurahan dan tingkat RW. Mereka yang bakal saling berkoordinasi untuk pembagian minyak goreng dan pengucuran uang serangan fajar.
Caleg kemungkinan butuh menyiapkan dana cadangan sebab dari penjelasan FE, muncul komponen biaya lain lagi. Contohnya, koordinator RW sekaligus mencarikan saksi caleg untuk ditempatkan di TPS-TPS sasaran.
Pelaku-pelaku politik uang ini, orang-orang yang tidak terdaftar secara resmi di tim pemenangan caleg. Jika masih masa kampanye, atau minggu tenang, kami tidak bisa berbuat apa-apa,
Tahap pencoblosan, menurut FE, wajib dipantau saksi. Caleg harus siapkan anggaran honor dan konsumsi saksi. “Percuma juga caleg sosialisasi, ujungnya pas coblos kagak ada suara,” kata FE.
Baca juga: Ongkos Miliaran untuk Menembus Senayan
Upaya memberantas politik uang, terutama pembagian uang tunai menjelang pencoblosan pun selalu diingatkan pemerintah di setiap masa pemilu. Pada pemilu 2024 saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menggelar kampanye Hajar Serangan Fajar yang bertujuan meningkatkan kesadaran publik untuk mencegah politik uang.
Beragam langkah sosialisasi itu rasanya masih belum cukup. Selain pencegahan, juga perlu memperkuat pengawasan dengan penegakan hukum. Sayangnya, langkah penegakan hukum untuk melawan praktik politik uang menyisakan banyak kelemahan.
Sejumlah aparatur pengawas pemilu bahkan mengeluh ketika berdiskusi terkait upaya mengawasi praktik politik uang. Di Sijunjung, Sumatera Barat, misalnya, Ketua Bawaslu Sijunjung Gusni Fajri menyebut kalau menangkap para pelaku politik uang tak mudah.
"Pelaku-pelaku politik uang ini, orang-orang yang tidak terdaftar secara resmi di tim pemenangan caleg. Jika masih masa kampanye, atau minggu tenang, kami tidak bisa berbuat apa-apa," kata Gusni, di akhir Desember 2023 lalu.
Keluhan para pengawas pemilu rasanya beralasan. Di Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tepatnya Pasal 523 ayat 3 menyebutkan, kalau sanksi politik uang baru dapat dikenakan kepada setiap orang jika dilakukan di hari pemungutan suara. Artinya, selagi belum tiba waktunya untuk pencoblosan, sanksi politik uang hanya bisa menjerat pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu.
Celah ini mudah diakali oleh peserta, pelaksana, dan tim pemenangan. Sebab, dari temuan Kompas, setidaknya mereka yang berperan dalam memuluskan praktik politik uang berasal dari tim-tim khusus yang tak terdaftar.
Menurut Koordinator Akademi Pemilu dan Demokrasi, Masykurudin Hafidz, penegakan hukum dugaan tindak pidana politik uang cukup rumit sehingga pelaku berpeluang besar mengelak dari sanksi. Di satu sisi, situasi politik saat ini juga masih kompleks sehingga berpeluang menciptakan politik transaksional.
Langkah konkret yang dapat ditempuh para peserta pemilu untuk mencegah adanya politik uang, yakni mengganti amplop dengan barang yang bisa dikategorikan sebagai bahan kampanye, seperti jilbab, buku, dan pakaian yang jumlahnya disesuaikan dengan regulasi.
Praktik politik uang akan melahirkan figur yang "tidak tepat" sebagai pemenang. Pemerintahan yang dihasilkan pun kurang representatif dan akuntabel
Warga juga perlu terus diedukasi untuk tidak tergoda dengan nilai uang yang ditawarkan caleg. Jika pun uang itu diterima, warga harus menganggap itu hanya hadiah yang tidak memengaruhi pilihannya di bilik pemungutan suara.
"Kalau sejak awal dia memilih partai A, dia mau dikasih siapa pun terima saja, tapi pilihannya tetap Partai A. Itu mendidik sedikit, tapi lumayan untuk menghukum si pemberi (uang)," ujar Masykur.
Pengajar Ilmu Politik di King's College London Profesor Sarah Birch dalam tulisannya mengenai Electoral Corruption (korupsi elektoral) pada buku "The SAGE Handbook of Comparative Politics", menilai, korupsi politik biasanya dilakukan melalui praktik politik uang. Praktik tersebut akan melahirkan figur yang "tidak tepat" sebagai pemenang. Pemerintahan yang dihasilkan pun kurang representatif dan akuntabel.
Baca juga: Batal "Nyaleg" karena Tak Sanggup Menanggung Mahalnya Biaya Politik
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amir Arief mengatakan, serangan fajar sebagai bagian dari upaya membeli suara masyarakat (vote buying). Praktik politik uang lewat serangan fajar justru berdampak buruk bagi masyarakat sendiri karena dapat menghasilkan figur pemimpin yang pragmatis bukan yang berintegritas.
Praktik serangan fajar yang disusun secara terstruktur dan sistematis oleh tim pemenangan caleg biasanya disiapkan untuk diberikan ke pemilih mendekati pencoblosan lewat operasi yang tidak terdeteksi oleh badan pengawas pemilu. Tak heran, jika serangan fajar ini dianalogikan seperti kentut, bau busuknya tercium tetapi wujudnya tidak terlihat..!!
Rekomendasi Artikel Pilihan
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.