Perangkat Desa Jadi Aktor Operasi ”Serangan Fajar”
(Tulisan 8 dari 16) Investigasi ”Kompas” mengungkap peran aparat desa dalam ”serangan fajar” untuk memenangkan caleg.
KUDUS, KOMPAS — Aparat desa terlibat dalam ”serangan fajar” yang terorganisasi dalam memenangkan calon anggota legislatif Pemilu 2024. Mereka membentuk tim pemenangan dari tingkat kabupaten hingga rukun tetangga/RT untuk menyalurkan uang tunai kepada calon pemilih.
Operasi pembagian amplop berisi uang tunai menjelang waktu pencoblosan atau dikenal dengan istilah ”serangan fajar” ini dikendalikan perangkat desa. Sebelum operasi itu, mereka mendahului dengan pemetaan warga yang dapat dipengaruhi lewat pembagian uang tunai.
Baca juga: Caleg DPR Membajak Program Bantuan Sosial
Seorang perangkat desa di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, berinisial AD, menjadi aktor serangan fajar di Pemilu 2024 dan Pemilu 2019. Pada dua pemilu ini, dia bekerja untuk caleg DPR RI dari partai yang berbeda.
Kompas menemukan dokumen berisi daftar tim dan formulir pendataan pemilih caleg DPR RI di rumah AD. Dokumen daftar tim itu berisi nama-nama 61 anggota tim di salah satu desa. Nama AD tercantum sebagai koordinator kecamatan.
AD membawahi satu koordinator desa, lima koordinator RW, dan 55 koordinator lapangan. Setiap koordinator ditugaskan untuk mencari calon pemilih potensial. Nama mereka kemudian ditulis dalam formulir pendataan pemilih. Nama di formulir itu menjadi target operasi serangan fajar.
Hingga Rabu (27/12/2023) malam, AD sudah mengumpulkan sekitar 18.000 nama calon pemilih untuk tingkat kecamatan. Artinya, ada 18.000 amplop berisi uang yang disiapkan untuk dibagikan kepada calon pemilih dengan perkiraan nominal Rp 50.000 per orang.
”Targetnya 14.000 orang, tetapi terkumpul 18.000. Kalaupun yang jadi nanti 10.000 suara, itu sudah bagus,” kata AD saat ditemui akhir Desember 2023.
Pada Pemilu 2024, AD masuk sebagai tim sukses calon anggota DPR RI petahana Daerah Pemilihan Jawa Tengah II yang mencakup Kudus, Jepara, dan Demak. Pada Pemilu 2019, AD juga masuk dalam struktur tim serupa guna memenangkan caleg DPR dari partai yang berbeda lewat strategi serangan fajar. Saat itu dia menjadi koordinator desa untuk tim pemenangan LH, caleg yang sekarang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024.
Profesional
AD melakukan serangan fajar dengan melibatkan koordinator tim dari tingkat kabupaten, kecamatan, desa, rukun warga/RW hingga RT. Mereka bergerak berdasarkan basis data yang dikumpulkan koordinator lapangan di bawah komando koordinator RT.
Koordinator lapangan adalah orang yang ditunjuk koordinator RT untuk mencari calon pemilih. Jumlahnya mencapai 5-6 orang di setiap RT. Mereka bertugas mendata 20 calon pemilih yang siap menyumbang suara untuk caleg.
Untuk serangan fajar, mendapatkan koordinatornya, untung-untungan saja.
Selaku koordinator desa, AD bertugas mengumpulkan data calon pemilih dari tiap RT dan RW. Data kemudian disetorkan ke posko pemenangan. Menjelang pencoblosan, dia kemudian mendistribusikan amplop kepada koordinator RT.
Amplop berisi uang dan foto caleg dibagikan kepada sasaran, sehari menjelang pencoblosan. AD yang kala itu turut mendata 50 calon pemilih ikut membagikan amplop dengan cara mendatangi rumah mereka satu per satu.
AD lalu menempel stiker caleg di pintu rumah calon pemilih. Tujuannya, tidak ada tim sukses dari caleg lain yang memengaruhi pilihannya. AD juga terus memperingatkan para calon pemilih untuk tidak berpindah ke caleg lain.
AD dan para koordinator kemudian memantau hasil rekapitulasi suara di tempat pemungutan suara (TPS). Mereka diberi target 50 persen dari serangan fajar dapat menghasilkan suara.
Untuk seluruh rangkaian pekerjaan ini, AD mendapat honor Rp 500.000 di luar biaya operasional dan transportasi. Jika target suara terpenuhi, mereka mendapat bonus.
Saat dikonfirmasi, pada Kamis (11/1/2024), LH mengatakan, jumlah anggota tim pemenangan yang bekerja di lapangan sangat banyak. Dia tak mengetahui informasi serangan fajar yang mengatasnamakan dirinya di Kudus.
”Tim saya, pada 2019 itu banyak, saya tidak memperhatikan (satu per satu). Namun, saya memastikan tak ada (serangan fajar),” kata LH.
Baca juga: Pejabat Mobilisasi Ketua RT demi Meloloskan Anak
Menurut LH, pada masa Pemilu Legislatif 2019, strategi yang dia gunakan untuk meraup suara warga dilakukan dengan beragam cara. Selain menyebar alat peraga, ia dan tim menggelar pertemuan tatap muka bersama warga. Strategi kampanye itu mengantarnya menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024.
Tidak ada jaminan
DG (33), anggota tim sukses caleg dalam Pemilu 2019 di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, juga mengeksekusi serangan fajar secara berjejaring dan terorganisasi. Namun, tidak semua anggota jaringan dikenalnya sehingga tak ada jaminan setiap individu dapat memenuhi target.
Ia memandang timnya kala itu secara alamiah bersistem ring. Ring satu sebagai orang-orang terdekat caleg dan ketua tim sukses yang berjumlah empat orang. Untuk ring-ring setelahnya, mereka terus merekrut hingga tingkat RT agar target sebanyak 6.000-an orang yang akan diberikan serangan fajar tercapai. ”Untuk serangan fajar, mendapatkan koordinatornya untung-untungan saja,” ujar DG.
DG kala itu menjadi anggota tim sukses untuk tiga caleg berbeda tingkatan, yaitu SD, caleg DPRD Kota Samarinda, serta caleg DPRD Provinsi Kalimantan Timur dan caleg DPR RI. Setiap caleg, menurut dia, mengalokasikan Rp 600 juta hanya untuk ongkos serangan fajar. Dengan anggaran per caleg Rp 100.000 per pemilih, satu penerima mendapat total Rp 300.000.
Amplop berisi uang didistribusikan seminggu sebelum pencoblosan. Amplop tersebut hanya berisi uang. Tim dilarang memasukkan bahan kampanye, seperti stiker atau kartu nama caleg, ke amplop. ”Risikonya besar kalau tertangkap ada kartu namanya. Jika hanya amplop, kita bisa mengelak,” kata DG.
Saat dikonfirmasi, SD membantah menerapkan serangan fajar pada 2019. Ia mengaku total modalnya untuk nyaleg hanya sekitar Rp 200 juta kala itu. ”Coba bayangkan, uang Rp 200 juta cukup tidak untuk mengeksekusi 3.000 (suara)?” ucapnya.
Meski demikian, menurut SD, peluang memenangi pemilu tanpa serangan fajar kecil. ”Sekarang orang yang maju, apalagi sudah punya modal, tak mungkin tidak mau menang. Mungkin menghalalkan segala cara,” katanya.
Baca juga: Jalan ”Ninja” Caleg-caleg Kere Bermodal Dengkul
Dari pemilu ke pemilu, praktik politik uang selalu terjadi. Persaingan antarcaleg pada sistem proporsional terbuka sengit. Seorang caleg hanya membutuhkan margin suara yang tipis untuk mengalahkan teman satu partai. Dalam hal ini, politik uang penting meski efek untuk memengaruhi pemilih hanya 10 persen.
”Selisih kemenangan caleg yang lolos ke Senayan mengalahkan teman se-partainya itu rata-rata hanya 1,6 persen,” ucap Guru Besar Bidang Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Burhanuddin Muhtadi.
Temuan Burhanuddin, pada Pemilu 2014 dan 2019, ada 63,5 juta pemilih yang terlibat dalam politik uang untuk pileg. Dari sisi jumlah, politik uang di Indonesia menjadi yang terbesar di dunia.
Mengutip riset Burhanuddin pada Pemilu 2014, rata-rata caleg menghabiskan 30-40 persen anggaran dana kampanye untuk jual-beli suara. Besaran uang yang digelontorkan Rp 6-10 miliar.