Singapura menyimpan jejak peradaban Islam yang tersembunyi. Itu diwakili oleh tiga masjid tua di Kampong Glam.
Oleh Tim Harian Kompas
04 Apr 2024 14:48 WIB · Internasional
Berkunjung ke Singapura di bulan Ramadhan memang tidak akan memberikan pengalaman religius, seperti di Indonesia, Malaysia, atau Brunei Darussalam. Di kawasan perkantoran, seperti Raffles Palace dan City Hall, atau pusat-pusat wisata, misalnya Orchard Road, Pulau Sentosa, dan Marina Bay, tak tampak gemerlap hiasan khas Ramadhan.
Namun, Singapura tetap memiliki hidden gem bagi wisatawan yang ingin melakukan safari Ramadhan. Nuansa bulan Ramadhan yang sakral dan penuh kebersamaan amat terasa jika Anda berada di Kampong Glam.
Baca juga: Memuliakan Marbot, Pengemban Tugas Mulia
Kawasan itu adalah salah satu kampung atau permukiman tertua di Singapura yang sejak awal menjadi pusat akulturasi berbagai etnis, antara lain ialah Melayu, Bugis, Jawa, Banjar, Tamil, hingga Malayalam. Sejumlah etnis itu datang ke Singapura pada awal abad ke-19 sebagai pedagang. Kemudian, mereka menetap dan melestarikan kultur Islam yang mereka bawa dari daerah asal mereka masing-masing.
Berkunjung ke Singapura di bulan Ramadhan memang tidak akan memberikan pengalaman religius, seperti di Indonesia, Malaysia, atau Brunei Darussalam. Di kawasan perkantoran, seperti Raffles Palace dan City Hall, atau pusat-pusat wisata, misalnya Orchard Road, Pulau Sentosa, dan Marina Bay, tak tampak gemerlap hiasan khas Ramadhan.
Namun, Singapura tetap memiliki hidden gem bagi wisatawan yang ingin melakukan safari Ramadhan. Nuansa bulan Ramadhan yang sakral dan penuh kebersamaan amat terasa jika Anda berada di Kampong Glam.
Baca juga: Memuliakan Marbot, Pengemban Tugas Mulia
Kawasan itu adalah salah satu kampung atau permukiman tertua di Singapura yang sejak awal menjadi pusat akulturasi berbagai etnis, antara lain ialah Melayu, Bugis, Jawa, Banjar, Tamil, hingga Malayalam. Sejumlah etnis itu datang ke Singapura pada awal abad ke-19 sebagai pedagang. Kemudian, mereka menetap dan melestarikan kultur Islam yang mereka bawa dari daerah asal mereka masing-masing.
Khusus untuk jejak Islam itu masih lestari hingga saat ini. Itu ditandai dengan keberadaan tiga masjid tua, yaitu Masjid Sultan, Masjid Hajjah Fatimah, dan Masjid Malabar. Apabila menarik garis imajiner, lokasi ketiga masjid itu berbentuk segitiga. Bisa disebut tiga masjid itu adalah segitiga emas dalam pelestarian agama Islam di Singapura hingga masa kini.
Baca juga: Masjid Bayan Beleq, Penanda Awal Islam di Lombok
Menariknya, tiga lokasi masjid itu juga menjadi representasi tiga kawasan yang didiami oleh tiga kelompok masyarakat berbeda di Singapura pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Masjid Malabar yang ada di sisi paling utara merupakan peninggalan dari masyarakat etnis India Selatan, seperti Tamil dan Malayalam. Dahulu, di sekitar kawasan masjid itu dikelilingi toko-toko milik warga India muslim.
Kemudian, Masjid Sultan adalah masjid milik Kesultanan Johor karena sejatinya masjid itu berada dalam satu kawasan Istana Kampong Glam (kini Malay Heritage Centre). Terakhir, Masjid Hajjah Fatimah merupakan rumah ibadah di kawasan para pedagang dan saudagar etnis Indonesia dan Malaysia saat ini, misalnya Melayu, Bugis, hingga Jawa
Baca juga: Potret Toleransi di Kayutangan Malang
Tiga waktu salat
Saya melakukan perjalanan ke tiga masjid itu dengan berjalan kaki pada Rabu (20/3/2024) lalu. Jarak ketiga masjid itu kurang dari 1,5 kilometer. Jika hanya sekedar melewati tampak depan masjid itu, maka ketiga masjid itu bisa didatangi hanya dengan menempuh jalan kaki santai selama 20 menit.
Namun, kali ini saya akan mengunjungi tiga masjid itu untuk menunaikan tiga waktu salat, yakni Ashar, Magrib, dan Isya yang dilanjut Tarawih. Tentu di sela itu, saya mengakhiri puasa di salah satu masjid itu.
Masjid Malabar menjadi destinasi pertama ketika waktu menunjukkan pukul 16.00. Masjid, yang memiliki kubah emas dan dinding keramik ikonik berwarna biru, hanya berjarak sekitar 400 meter dari Stasiun MRT Lavender. Kedatangan saya bersamaan juga dengan puluhan orang lain yang hendak menjalankan ibadah salat Ashar berjemaah. Di Singapura, waktu salat Ashar sekitar pukul 16.15.
Baca juga: Warga Surakarta Kembali Menikmati Bubur Banjar Samin Saat Berbuka Puasa
Lokasi masjid itu berada di persimpangan antara Victoria Street dan Jalan Sultan. Apabila menilisik sejarah Kampong Glam, Masjid Malabar bisa disebut “bungsu” dari trio masjid di kawasan itu. Sebab, masjid itu baru dibuka pada 1963. Penggunaan nama “Malabar” juga untuk merepresentasikan masjid itu berada di kawasan masyarakat etnis India Selatan, utamanya Malayalam yang berada di Pesisir Malabar.
Terdapat tiga lantai ruangan salat di dalam bangunan utama masjid. Lantai dasar dan satu untuk jemaah pria, lalu lantai dua khusus untuk jemaah perempuan. Masjid itu pun ramah orang tua dan disabilitas karena terdapat lift untuk mengakses tiga lantai itu.
Khusus di bulan Ramadhan, pengurus masjid juga menambahkan tenda putih di pelataran masjid sebagai lokasi iftar atau buka puasa bersama dan salat Tarawih berjemaah. Adapun karpet di ruang utama salat dipadankan dengan nuansa biru yang menjadi ciri khas masjid.
Setelah menunaikan salat Ashar, jemaah mengambil kantong merah yang telah ditata di meja dekat pintu keluar masjid. Ada puluhan kantong merah yang di dalamnya terlihat tempat makanan plastik bening berukuran 750 ml.
Baca juga: Lestarikan Sejarah, Arab Saudi Pugar Masjid Berusia Lebih dari 1.000 Tahun
Saya sempat melewati meja itu untuk mengambil sepatu di rak. Tetapi, sebelum meninggalkan pelataran masjid, Umar, salah seorang petugas masjid, memanggil dan memberikan satu kantong plastik itu.
“Ini bubur untuk iftar,” katanya.
Dalam pembicaraan singkat, Umar mengungkapkan pembagian bubur—yang disebut bubur lambuk—adalah tradisi khas di Singapura. Bubur itu dibagikan kepada jemaah setelah melaksanakan salat Ashar. Umat Islam yang ketinggalan salat Ashar berjamaah pun bisa juga mengambil bubur lambuk selama masih tersedia.
Berbekal bubur lambuk, saya meninggalkan Masjid Malabar menuju destinasi kedua, Masjid Hajjah Fatimah. Berbeda dengan Masjid Malabar yang berdiri di dekade 1960-an, Masjid Hajjah Fatimah adalah salah satu masjid tertua di Singapura karena pertama kali digunakan pada 1846.
Masjid itu menggunakan nama saudagar perempuan asal Melaka, Malaysia, Hajjah Fitimah binti Sulaiman, yang mewakafkan rumahnya untuk menjadi masjid. Sebelum dibangun rumah ibadah, lokasi masjid itu adalah kediaman Fatiham bersama suaminya, Karaeng Chanda Pulih, salah satu diaspora generasi pertama asal Bugis (Sulawesi Selatan) yang hijrah ke Singapura pada awal 1800-an.
Baca juga: Sembahyang dan Pelesiran di Masjid Kapal Semarang
Masjid Hajjah Fatimah pun merupakan masjid pertama di Singapura yang menggunakan nama seorang muslimah. Dalam perjalanan Singapura setelah merdeka pada 1965, Masjid Hajjah Fatimah diresmikan sebagai monumen nasional pada 1973 atau lebih dulu dua tahun dari Masjid Sultan. Adapun Hajjah Fatimah telah masuk dalam Singapura Women’s Hall of Fame pada 2014. Itu adalah daftar perempuan-perempuan paling berpengaruh bagi Singapura.
Arsitektur masjid itu memiliki keistimewaan karena memadukan gaya Islam, misalnya Melayu, Bugis, dan Turki, dengan nuansa Eropa. Satu ciri khas lainnya Masjid Hajjah Fatimah adalah keberadaan minaret atau menara miring di muka bangunan masjid.
Menara masjid itu miring bukan disengaja, tetapi akibat pondasi awal masjid yang berbahan pasir. Tetapi, setelah renovasi pada dekade 1970-an, pondasi masjid telah diperbaiki demi menjaga kekokohan bangunan.
Selain itu, Masjid Hajjah Fatimah adalah satu-satunya bangunan lama di wilayah Jalan Jawa, Singapura, yang tersisa. Dulu, masjid itu dikeliling rumah dan pertokoan.
Sekarang, di sekitar masjid, dipenuhi bangunan tinggi menjulang yang merupakan apartemen, pusat perbelanjaan, hingga perkantoran. Meski terkesan tersembunyi, bangunan masjid berwarna krem-cokelat itu tetap masih menampakkan kemegahannya.
Baca juga: Potret Masjid Tertua di Papua
Minuman bandung
Di Masjid Hajjah Fatimah, saya menunggu waktu berbuka puasa. Ketika tiba, di masjid itu juga masih membagikan bubur lambuk. Karena saya telah memiliki bekal bubur lambuk dari Masjid Malabar, maka saya tidak mengambil bubur lambuk lagi.
Sekitar pukul 18.00 waktu setempat, hidangan berbuka puasa mulai tersedia di pelataran masjid. Ada bubur jagung, mie goreng merah, kurma, dan pastel untuk hidangan buka puasa. Selain itu, ada dua jenis minuman tersedia, yaitu es sirup bandung dan teh tarik hangat.
Waktu buka puasa di Singapura ialah pukul 19.15. Ketika adzan berkumandang dari ruang utama Masjid Hajjah Fatimah, saya menikmati menu berbuka puasa yang sudah tersedia di depan mata.
Saya mulai menyantap bubur lambuk yang dari wujudnya serupa dengan bubur sayur asal Manado. Bubur dipadukan dengan sejumlah sayuran, seperti wortel, jagung, dan bayam. Tetapi, bubur lambuk memiliki rasa berbeda karena adanya rasa rempah yang serupa ketika menyantap nasi biryani.
Hal yang menarik perhatian saya adalah sirup bandung. Minuman sirup merah yang dipadukan kental manis itu rasanya berbeda dengan sirup coco pandan dan kental manis yang ada di Indonesia. Sebab, ada rasa kapulaga dan kayu manis yang memperkaya rasa minuman itu.
Baca juga: Ramadhan Meriah di "Serambi Mekkah"
Saya kepo tentang penamaan minuman itu menggunakan kata “bandung”. Ketika bertanya ke salah seorang petugas di Masjid Hajjah Fatimah, tentang kaitan penamaan minuman itu dengan kota terbesar di Jawa Barat, ia hanya tersenyum sembari menggeleng tidak tahu. Selanjutnya, saya baru mengetahui bandung dalam bahasa Melayu berarti pasangan atau campuran.
“Minuman itu biasa disediakan khusus di bulan Ramadhan,” ucap seorang petugas masjid yang diamini oleh seorang rekannya.
Setelah perut terisi, saya melaksanakan salat Magrib berjemaah di dalam bangunan masjid. Usai salat, beberapa orang masih berdiam di dalam masjid untuk membaca Alquran. Ada pula yang berbincang di pelataran masjid sembari memakan kurma.
Beraktivitas di dalam masjid itu amat nyaman. Selain terdapat pendingin ruangan dan kipas, karpet tebal juga menutup bagian lantai di bangunan utama masjid. Di pelataran suasana juga terasa sejuk karena banyak pepohonan rindang di sekitar kawasan masjid.
Bazaar Ramadhan
Titik akhir perjalanan safari Ramadhan saya di Singapura adalah Masjid Sultan. Ketika memasuki kawasan sekitar Masjid Sultan, seperti di Haji Lane, suasana Ramadhan amat terasa. Pasalnya, tempat itu merupakan pusat Bazaar Ramadhan di Singapura.
Ratusan kedai makanan hingga pakaian tersaji di sekitar kawasan masjid yang dibangun pada 1824 hingga 1826 itu. Merujuk sejarah sebagai masjid peninggalan Sultan Johor dan luas bangunan, Masjid Sultan adalah masjid nasional Singapura. Tak heran, kegiatan selama bulan Ramadhan berpusat di sekitar masjid itu.
Berhubung perut sudah terisi penuh, saya tidak sempat memberikan perhatian kepada kedai-kedai makanan di bazaar itu. Saya memilih untuk langsung menuju masjid demi menunaikan salat Isya yang dilanjutkan Tarawih dan Witir.
Masjid Sultan memiliki tiga lantai bangunan utama. Di lantai dasar adalah kantor pengurus masjid. Adapun jemaah pria, salat di lantai satu, sedangkan jemaah perempuan menunaikan salat di lantai dua.
Suara lantang dan jelas dari imam membuat suasana salat khusyuk. Selain itu, untuk jemaah yang duduk di sisi belakang, mereka bisa tetap melihat wajah khatib atau penceramah serta imam karena tersedia televisi yang menggantung di sisi belakang bangunan utama masjid.
Televisi itu menginformasikan imam dan bilal salat. Tak ketinggalan juga tampilan halaman Alquran yang menyesuaikan surah yang dibaca imam.
Setelah salat rampung, di halaman Masjid Sultan terdapat pembagian minuman dan buah-buahan dari petugas masjid. Mereka membagikan buah apel dan susu kedelai untuk jemaah yang hendak meninggalkan masjid.
Meskipun nuansa Ramadhan di Singapura amat tersembunyi, perjalanan ke tiga masjid legendaris itu membuat rohani dan perut saya kenyang.
Baca juga: Dari Granada ke Cordoba
Rekomendasi Artikel Pilihan
Nikmati tulisan lainnya dalam rubrik Tutur Visual di bawah ini.