Mendamba Belajar Menyenangkan dan Bermakna yang Masih Jadi Mimpi
Ki Hadjar Dewantara membayangkan pendidikan yang menyenangkan dan bermakna sesuai kodrat bagi anak-anak Indonesia.
Murid merasa berat bangun di pagi hari, memakai seragam sekolah terasa tegang di hati.
Karena anak itu tahu, sesaat lagi dia akan masuk ruang kelas yang menakuti.
Setiap kesalahan dikenai hukuman, setiap pertanyaan dipermalukan.
Relevansi dari ajaran semakin membingungkan, dari hari ke hari dia semakin ketinggalan.
Bukan hanya anak yang ketakutan, ibu guru pun tak bisa napas mengejar pembelajaran.
Materi ajar serasa kereta tanpa batas kecepatan, beban birokrasi membuat guru seperti tahanan.
Tetapi di dalam hati setiap anak ada mimpi tersembunyi, keinginan untuk belajar tanpa dihakimi.
Kepercayaan kuat bahwa dia punya kompetensi, keinginan untuk dilihat sebagai manusia mandiri.
Dan setiap guru punya firasat di dalam hati bahwa mungkin metode kuno sudah tidak relevan lagi.
Bahwa pembelajar sepanjang hayat tidak mungkin diproduksi dengan kekakuan, penghafalan, dan standarisasi.
Baik anak maupun guru harus diberikan ruang untuk berkreasi, berinovasi, bahkan untuk berjuang.
Ruang kelas menjadi panggung dan peluang untuk menemukan jati diri setiap orang.
Puisi yang menggambarkan kondisi belajar sebagian besar siswa dan guru di ruang-ruang kelas dan sekolah-sekolah di Indonesia hingga era dunia sudah memasuki era kecerdasan buatan tersebut dibacakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim sesaat sebelum pertujukan konser musikal ”Memeluk Mimpi-Mimpi: Merdeka Belajar, Merdeka Mencintai”di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 25 April 2024 lalu.
Pertunjukan musik dengan cerita tentang perjuangan mewujudkan mimpi (Merdeka Belajar) merupakan persembahan siswa dan guru SMKN 2 Kasihan Bantul, DI Yogyakarta. Mereka berkolaborasi dengan sejumlah artis/penyanyi ternama ini sebagai rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional yang dirayakan pada Kamis (2/5/2024) dengan tema ”Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”.
Baca juga: Kesiapan Implementasi Kurikulum Merdeka Masih Beragam
Menteri pendidikan datang silih berganti dengan kebijakan dan kurikulum yang juga sering kali berganti. Niatnya mulia, menjanjikan sistem pendidikan nasional yang lebih baik dan mumpuni untuk menyiapkan sumber daya manusia unggul yang cerdas dan berkarakter.
Namun, realitas yang ada, belajar yang menyenangkan, belajar yang membuat siswa aktif belajar dan siap jadi pembelajar sepanjang hayat, masih jauh dari harapan. Bahkan, kecakapan dasar belajar dan hidup, yakni penguasaan kompetensi literasi dan numerasi, generasi muda bangsa di tingkat global masih di urutan bawah alias terpuruk.
Dalam berbagai kebijakan dan program pendidikan yang ditawarkan pemerintah, perubahan kurikulum nasional menjadi salah satu hal yang sering kali diyakini strategis. Mimpi untuk mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada siswa, yang membuat siswa aktif belajar, sebenarnya sudah diimpikan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional.
Kebijakan pendidikan juga sudah dicanangkan hampir empat dekade lalu dengan dikumandangkannya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) tahun 1985 atau 1986. Uji coba sudah dilakukan terbatas, tetapi seperti diungkapkan dalam puisi Mendikbudristek, sekolah masih dirasakan sebagai ruang yang ”menyiksa” peserta didik.
Sekolah menjadi tempat yang tak menyenangkan untuk menyemai mimpi menjadi manusia merdeka, bahagia lahir batin, serta berkembang sesuai kodratnya. Sesuatu kondisi yang sudah dibayangkan Ki Hadjar Dewantara akan manusia Indonesia masa depan.
Ketika anak cinta terhadap belajar, anak tidak akan pernah mau berhenti belajar.
Lalu, tawaran perubahan kurikulum nasional sebagai rangkaian dari kebijakan Merdeka Belajar pun dilakukan pemerintah. Pada tahun ajaran 2024/2025, Indonesia resmi menjadikan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional, yang secara bertahap menggantikan Kurikulum 2013.
Ada ruang kemerdekaan atau fleksibilitas bagi siswa dan guru. Ada tawaran pembelajaran yang lebih bermakna karena bukan mengejar konten, tetapi kedalaman dan penguasaan kompetensi mata pelajaran. Lalu, ada fokus pada pendidikan karakter yang tidak sambil lalu, tetapi dilakukan lewat Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Tidak ada penyeragaman kurikulum. Hal ini karena sejatinya tiap sekolah punya kurikulum tingkat sekolah atau kurikulum operasional sekolah yang kontekstual dengan kebutuhan warga sekolah dan lingkungan sekitar.
Kini, guru dan sekolah sedang sibuk untuk mampu mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dengan baik. Keluh, kesah, dan pujian pada tuntutan cara belajar dan mengajar hingga cara penilaian, evaluasi, dan pengadministrasian silih berganti. Seperti pada masa lalu, tiap perubahan kurikulum membawa harapan sekaligus kecemasan pada guru sebagai eksekutor di ruang kelas dan sekolah.
Mengatasi kebuntuan
Ernisa Supiah, guru Bahasa Inggris SMA Luar Biasa di SLBN Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat, yang mengajar peserta didik tuli, merasa sesak di dada. Ketika masuk kelas dan hendak mulai belajar, para siswa dengan bahasa isyarat mengatakan lupa dengan pelajaran, bingung, atau tidak bisa. Padahal, Bahasa inggris menjadi salah satu hal penting untuk membuat mereka punya daya tawar tinggi.
Suatu saat, Ernisa menemukan ide untuk mengatasi kebuntuan cara mengajarnya yang tidak pas untuk para siswa tuli. Dia menemukan pantomim yang minim kata-kata dan mengutamakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi.
Baca juga: Sekolah Berjibaku Mengatasi Ketertinggalan
”Saya pun mulai membawa metode belajar dengan pantomim ke siswa untuk belajar kosakata dan frasa dalam bahasa Inggris. Ruang kelas yang tadinya terasa hampa kini antusias. Dengan pantomim, belajar jadi penuh ekspresi, gerakan, dan emosi. Siswa jadi aktif,” kisah Ernisa.
Menurut Ernise, Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi guru untuk fleksibel dan berinovasi. Dia pun tertantang untuk terus menemukan metode-metode pembelajaran yang relevan bagi siswa di kelasnya.
Perubahan suasana belajar yang memantik antusiasme peserta didik, kata Khairina Lubis, Wakil Kepala SMA Negeri 1 Meranti, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, saat dijalankan proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5), menjadi salah satu tawaran di Kurikulum Merdeka. Pembelajaran model proyek ini bisa dilakukan fleksibel dan kolaboratif lintas mata pelajaran.
Tujuan utamanya untuk menguatkan karakter siswa dengan profil pelajar Pancasila yang bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, kreatif, dan bernalar kritis.
Dari hasil diskusi bersama peserta didik dan guru, dipilih tema bangunlah jiwa dan raganya dengan topik stop bullying. Tema dan topik ini dipilih ini karena santernya isu perundungan di kalangan siswa. Diharapkan siswa tahu mana yang bercanda dan mana yang masuk kategori perudungan.
Lihat juga: Pelajaran P5 di Pasar Jodog
”Yang diutamakan ini proses agar anak-anak bisa memahami dengan desain pembelajaran kontekstual. Lalu siswa memilih untuk mewujudkan proyek ini dengan tiga pilihan, yakni bisa seminar, poster/brosur kampanye, dan membuat drama stop bullying,” kata Khairina, yang juga guru Matematika serta Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Dampaknya siswa yang awal tidak berani bicara akhirnya berani bicara. Para siswa mulai berkolaborasi. Selain itu, orangtua juga merasa bangga karena melihat karya dan kemampuan anaknya.
Sementara itu, Anin, siswa kelas XI SMAN 24 Jakarta, mengaku tidak memahami soal kurikulum-kurikulum yang diterapkan sekolah. Dia memang menyebut, dua tahun ini sejak dia masuk SMA, sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka.
”Yang saya rasakan perbedaannya dari SMP, sekarang lebih banyak diskusi, lebih aktif. Yang seru juga bisa mengerjakan proyek bersama teman,” kata Anin.
Bukan kebutuhan
Meskipun perubahan kurikulum nasional keniscayaan agar relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pembangunan bangsa, hal ini tetap perlu dikritisi. Apakah perubahan kurikulum dibutuhkan dunia pendidikan dalam menjawab ketertinggalan pendidikan selama ini?
Direktur Eksekutif Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) Dhitta Puti Sarasvati mengatakan, pendidikan berkualitas memang harus terus diperjuangkan. Namun, yang diperlukan guru bukanlah perubahan kurikulum resmi. Hal yang mendesak adalah pendidikan guru yang lebih mudah diakses, terjangkau, dan berkualitas.
Baca juga: Mengubah Didikan ”Rotan” Menjadi Sekolah Menyenangkan
”Terlepas dari tidak idealnya kondisi ini, tidak berarti teman-teman guru tidak mau belajar. Para guru dari seluruh Indonesia bersemangat belajar, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Sama seperti halnya siswa, mereka juga menginginkan proses belajar yang bermakna,” kata Puti, yang juga dosen Universitas PGRI Jakarta.
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal mengatakan, mau kurikulum apa pun, bagi komunitas guru GSM tidak masalah karena itu hanyalah kerangka dasar. Dia menganalogikan kurikulum sebagai buku resep yang dipegang oleh chef atau juru masak. Bahkan, ketika buku resep hilang, juru masak bisa meramu sendiri resep barunya.
Rizal menekankan, prinsip dasar dalam melakukan tranformasi pendidikan adalah perlunya meyakinkan para pendidik agar membantu anak-anak untuk bisa menemukan versi terbaiknya, yaitu anak-anak itu bisa menemukan pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna bagi diri si anak.
”Bukan bermakna bagi gurunya atau kurikulumnya,” ucap Rizal, yang juga dosen Teknik Elektro dan Informatika Universitas Gadjah Mada.
Para guru terus didukung dengan komunitas belajar guru dari akar rumput untuk mengembangkan cara-cara menyenangkan guna membantu peserta didik memiliki makna dalam belajar. Dengan demikian, anak akan termotivasi dalam belajar dan akan kasmaran belajar.
Baca juga: Memimpikan Kurikulum Inklusif
”Ketika anak cinta terhadap belajar maka anak yang tidak akan pernah mau berhenti belajar,” kata Rizal.
Secara terpisah, pemerhati pendidikan Doni Koesoema mengatakan, pemerintah harus jujur mengakui segala usaha dan biaya untuk mengatasi kemandekan belajar belum cukup mampu membantu meningkatkan kualitas pendidikan kita. Tanpa berani mengakui telah gagal, kita tidak akan dapat menemukan jalan keluar yang obyektif dan mampu mengatasi krisis pembelajaran.
”Evaluasi total terhadap berbagai macam kebijakan Merdeka Belajar diperlukan,” ujar Doni.