Agus Riyanto Membangunkan Bantengan dari Tidur Panjang
Agus Riyanto (55) membangkitkan kembali seni bantengan yang tertidur sejak 1980-an.
Tahun 2006 tebersit di benak Agus Riyanto (55) untuk membangkitkan kembali seni bantengan yang ”tertidur”sejak 1980-an. Upaya itu membuahkan hasil, sejak 2008 bantengan kembali menjadi tren di Malang Raya, Jawa Timur, sebelum akhirnya ”dipaksa”kembali rehat oleh pandemi Covid-19.
Setiap awal Agustus, puluhan-ratusan kelompok seni bantengan juga biasa memenuhi jalanan di Kota Batu dalam rangka Festival Bantengan Nuswantara. Waktu pelaksanaannya sejak pukul 09.00 sampai malam hari.
Bantengan sebenarnya hampir mirip dengan kuda lumping. Bedanya, di bantengan ada tiga binatang yang menjadi bintang, yakni banteng, macan, dan monyet. Kuda lumping dan bantengan sama-sama menggunakan iringan tabuhan alat musik tradisional dan mengandung unsur magis: pemain akan kesurupan atau trans.
”Selama pandemi tidak boleh pentas. Beberapa hari lalu di Malang ada yang ’pentas’ di jalan guna menggalang dana bagi korban erupsi Gunung Semeru. Itu pun dilakukan spontan,” ujar Agus di galeri batik tulis Banteng Agung milik anaknya di Dusun Binangun, Desa Bumiaji, Batu, Rabu (12/1/2022).
Menurut pria yang akrab disapa Agus ”Tubrun”itu, saat ini ada sekitar 250 grup seni bantengan di Malang Raya. Satu grup beranggotakan sekitar 40 orang, dari orang dewasa sampai anak muda. Ini merupakan kabar baik bahwa terjadi regenerasi pelaku seni tradisi di tengah gempuran zaman. Bahkan, anak-anak muda ini pula yang menyebarkan aktivitas berkesenian di dunia maya.
Sebelum 2008, Agus menyebut hampir tidak ada kegiatan bantengan. Grup bantengan sudah lama vakum, padahal properti pentas masih ada. ”Tak ada geliat. Mungkin faktor tempat berekspresi yang tidak ada menjadi penyebab. Yang jelas, bukan akibat gempuran budaya luar yang masuk ke Indonesia,” ucapnya.
Bagi Agus, bantengan bukan barang baru. Kesenian itu telah dia kenal sejak kecil karena kakeknya merupakan satu-satunya pendekar yang memiliki perguruan pencak silat dan bantengan di Kelurahan Ngaglik, Kota Batu. Dulu setiap kelompok pencak silat selalu memiliki properti kepala banteng dan hanya dimainkan oleh orang dewasa.
Namun, kala itu, Agus kecil belum terpikir untuk menggeluti kesenian ini. Begitu pula saat dia menapaki pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi, belum terpikir untuk meneruskan kesenian turun-temurun itu. Agus yang menuntut ilmu di jurusan sastra justru lebih erat dengan dunia seni rupa.
”Tahun 2006 baru saya berangan-angan untuk mengangkat kembali bantengan. Saya berusaha mencari sisa-sisa kelompok bantengan yang ada di desa-desa. Untungnya, banyak anak muda membantu saya dengan menunjukkan kelompok-kelompok bantengan yang mati suri. Saya ajak mereka bangkit lagi,”tuturnya.
Sejak saat itu Agus mulai terlibat dan turun langsung ke arena. Posisinya sebagai pendekar yang mengendalikan banteng, termasuk memulihkan pemain yang trans. ”Sebelumnya, saya tidak main meski sejak kecil telah mengenal kesenian ini dari kakek. Saat itu masih kosong begitu saja, tak terpikirkan ke arah sana,”tambahnya.
Perjuangan untuk membangkitkan kembali bantengan cukup berat. Setelah dua tahun, pada 2008 baru terlaksana festival bantengan dengan melibatkan lebih dari 67 kelompok di Malang Raya. Festival yang berlangsung di Batu itu menjadi harapan akan bangkitnya lagi bantengan.
”Festival dipilih karena skalanya besar dan bisa mengabarkan ke banyak orang bahwa kesenian rakyat ini masih eksis,”ujar Agus yang mengaku merogoh kocek sendiri untuk pelaksanaan festival itu.
Pada 2008 itu pula terbentuk komunitas Bantengan Nuswantara yang sekaligus membawahkan kelompok-kelompok bantengan yang ada. Agus bertindak sebagai inisiator sekaligus ketua.
Butuh dukungan
Menurut Agus, butuh dukungan dari semua pihak untuk melestarikan seni dan budaya tradisi. Tanpa dukungan mereka, berat bagi sebuah kesenian bisa bertahan di tengah gempuran modernisasi.
”Saya punya rasa takut jangan sampai seni ini tidur lagi. Saya berharap semua lini ikut mendukung. Pelaku, pemerintah juga harapannya,”katanya.
Agus sendiri mendapat dukungan penuh dari keluarga. Bahkan, satu dari tiga anaknya, Anjani Sekar Arum, punya inisiatif ikut melestarikan kesenian turun-temurun tersebut dengan membuat batik bermotif bantengan yang eksis hingga sekarang.
Langkah ini kemudian didukung dua anak Agus yang lain. Batik tulis Banteng Agung yang didirikan sejak enam tahun silam itu pun menjadi ciri khas Kota Batu. Batik ini juga pernah mendapat apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards.
”Latar belakang saya seni rupa, saya pelukis. Anak saya juga kuliah di seni rupa. Dia lulus, namun tidak melanjutkan melukis, tetapi lebih ke batik. Saya juga tidak mengarahkan anak untuk membuat desain. Dia sendiri yang punya gagasan motif bantengan. Mungkin dia ikuti orangtuanya melestarikan bantengan melalui batik,” tutur Agus yang kini juga melayani pembuatan kepala banteng dari bahan kayu dan tanduk kerbau maupun banteng.
Orang tua dan pendahulu, ketika ditanya asal-usul bantengan, hanya memberi jawaban seni itu sudah ada turun-temurun. Agus pun mencoba mencari tahu asal-muasal bantengan dengan caranya sendiri. Hasilnya, dia meyakini seni bantengan sudah ada sejak zaman Kerajaan Kanjuruhan pada abad ke-8.
Nilai yang lain, menurut Agus, bantengan adalah kesenian rakyat yang membumi. Beda dengan sebagian seni tradisi yang lain, di mana pemainnya dari kalangan tertentu dan dinikmati oleh masyarakat tertentu saja, bantengan bisa dimainkan oleh siapa saja. Bantengan merupakan kesenian yang sangat merakyat dan jauh dari materialistik.
”Seniman bantengan sebagian besar orang-orang ekonomi lemah. Mereka butuh berekspresi, berkesenian, butuh hiburan. Pilihan paling mudah, paling murah, ya, bantengan. Sangat merakyat. Siapa saja bisa memainkan,”ucap Agus yang mengaku akan terus memperhatikan bantengan sampai akhir hayat.
Agus Riyanto
Lahir : Batu, Jawa Timur, 23 Agustus 1967
Istri
Nanik Sulastri
Anak :
- Anjani Sekar Arum
- Anjuna Sekar Wangi
- Aruna S Sekar Melati
Pendidikan
- SD Sisir
- SMP Katolik Batu
- SMA Emanuel Batu
- Universitas Islam Malang