Kapal Ikan Besar Didorong Isi Kekosongan Zona Ekonomi Eksklusif
Pemerintah memastikan bakal mengizinkan kapal-kapal berukuran lebih dari 150 gros ton untuk mengisi perairan kosong di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas. Pembatasan ukuran kapal dinilai jadi penghambat.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong kapal-kapal penangkap ikan berukuran besar untuk memanfaatkan zona ekonomi eksklusif dan laut lepas serta menopang sistem logistik yang lebih efisien. Selama ini, pengoperasian kapal-kapal besar terhambat oleh regulasi.
Pembatasan ukuran kapal penangkapan dan pengangkut ikan diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 1234/DJPT/ 2015. Sesuai regulasi itu, ukuran kapal penangkap ikan dibatasi maksimal 150 gros ton (GT) dan kapal pengangkut ikan maksimal 200 GT.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, Zulficar Mochtar menyatakan, jumlah kapal di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia hingga saat ini belum optimal, yakni 1.623 kapal.
Pihaknya sedang merevisi aturan pembatasan ukuran kapal perikanan agar pemanfaatan potensi ZEE dan laut lepas bisa lebih optimal.
Akan tetapi, kepemilikan kapal besar diharapkan menggunakan modal dalam negeri. Kepala Divisi Hukum Asosiasi Tuna Indonesia Muhammad Billahmar, di Jakarta, Kamis (23/1/2019), berharap, pemanfaatan perairan dan laut lepas tetap mewajibkan 100 persen modal dalam negeri. Tujuannya, menutup celah pemodal asing masuk ke usaha perikanan tangkap dan memanfaatkan sumber daya ikan Indonesia.
Larangan investasi asing untuk kapal perikanan diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Dalam peraturan itu, kapal penangkap ikan di wilayah perairan dan ZEE Indonesia dikuasai sepenuhnya oleh modal dalam negeri. ”Kita sudah mampu kok memanfaatkan ZEE. Namun, hambatannya pungutan hasil perikanan,” katanya.
Ketentuan pungutan hasil perikanan untuk kapal ukuran 200 GT ke atas naik 10 kali lipat dan wajib dibayar di muka. Ia menambahkan, diperlukan insentif untuk kapal di atas 200 GT, berupa keringanan pungutan hasil perikanan (PHP).
Laut Natuna
Pengoperasian kapal besar, antara lain, didorong ke ZEE Laut Natuna Utara. Potensi ikan yang bisa dimanfaatkan di wilayah itu diperkirakan mencapai 55.000 ton dengan alokasi izin maksimum 305 kapal baru berkapasitas 100 GT.
Kapal dari 4 provinsi yang diprioritaskan mengisi Laut Natuna Utara, yakni Kepulauan Riau, Riau, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung. Menurut Zulficar, sejauh ini usulan kapal yang siap beralih, antara lain, adalah dari Kepulauan Riau, pantai utara Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Persoalan yang muncul, kapasitas gudang pendingin di Natuna tidak memadai, yakni baru 250 ton. Oleh karena itu, keberadaan kapal-kapal pengangkut besar dengan sistem gudang pendingin didorong untuk memudahkan logistik.
Selain Laut Natuna Utara, ada 6 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang berbatasan dengan ZEE Indonesia dan laut lepas yang butuh penguatan kapal besar, antara lain WPP 716 (Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera), WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik), dan WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur).
Selain itu, WPP 571 (Selat Malaka dan Laut Andaman), WPP 572 (Samudra Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda), serta WPP 573 (Samudra Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat).
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengemukakan, keberadaan kapal besar tidak akan meniadakan kapal-kapal ukuran kecil. ”Kapal yang besar dan kecil harus bersama-sama. Kalau hanya mengandalkan kapal besar, sedangkan (kapal) yang kecil ditinggalkan, maka akan timpang,” katanya.