Kementerian Kelautan dan Perikanan membuka peluang pengisian Laut Natuna Utara untuk 2.500 kapal cantrang ukuran 60 gros ton. Namun, usulan itu menuai pro kontra, terutama terkait dampaknya bagi lingkungan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengkaji usulan soal pengisian Laut Natuna Utara oleh kapal cantrang. Menurut kajian, wilayah itu dimungkinkan diisi 2.500 kapal cantrang ukuran 60 gros ton. Namun, ide membuka lagi pemakaian cantrang menuai pro dan kontra.
Koordinator Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, di Jakarta, Selasa (21/1/2020), menyatakan, untuk mendorong kesejahteraan nelayan, tangkapan per kapal harus tinggi. Tangkapan tinggi hanya dimungkinkan jika ada alat tangkap modern.
Kementerian membentuk tim penasihat menteri untuk memperoleh masukan terkait kebijakan yang akan digulirkan. Menurut Menteri Kelautan Perikanan periode 2001-2004 itu, daya dukung atau tangkapan yang diperbolehkan untuk mendukung perikanan lestari berkisar 800.000 ton di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 Laut Natuna Utara.
”Pemakaian kapal cantrang di Laut Natuna Utara dihitung maksimum 8 bulan atau sesuai musim tangkapan ikan. Daya penangkapannya berkisar 320 ton per kapal ukuran 60 GT. Jadi, sekitar 2.500 kapal ukuran 60 GT bisa masuk ke Laut Natuna Utara,” katanya.
Menurut dia, negara maju juga tidak pernah melarang total penggunaan pukat harimau atau trawl. Pelarangan cantrang dilakukan secara selektif hanya di tempat tertentu atau musim tertentu.
Penggunaan kapal nelayan cantrang dimungkinkan sepanjang diatur zonasi dan waktu tangkapnya. Di pantai utara (pantura) Jawa, misalnya, kapal cantrang diatur maksimum berukuran 40 GT dan hanya boleh beroperasi di atas 5 mil.
Sementara kapal cantrang berukuran di atas 40 GT harus didorong ke Laut Natuna Utara dan wilayah lain di zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang rawan penangkapan ikan ilegal.
Saat ini, terdata sekitar 500 kapal nelayan cantrang dari pantura Jawa siap pindah ke Laut Natuna Utara.
Merusak
Sementara itu, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Yudi Nurul Ihsan mengemukakan, penentuan jumlah ikan yang boleh ditangkap sesuai potensi lestari (MSY) harus dihitung dengan benar menurut basis ilmiah. Basis ilmiah tersebut juga digunakan untuk menentukan jenis ikan yang boleh ditangkap dan area penangkapan.
Cantrang yang dimodifikasi menyerupai pukat harimau tak cocok digunakan di seluruh perairan Indonesia.
Ia menilai, uji petik larangan cantrang yang dilakukan pemerintah sangat bergantung pada data dan informasi yang dijadikan acuan. Prinsip keadilan, keseimbangan, ekologi, ekonomi, dan sosial harus diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan.
”Jika memungkinkan menggunakan alat tangkap cantrang dan tidak mengganggu ekosistem, ya, tidak masalah. Persoalannya, sebagian besar cantrang saat ini sudah dimodifikasi menyerupai trawl yang merusak ekosistem,” ucapnya.
Ia menambahkan, alat tangkap cantrang yang dimodifikasi menyerupai pukat harimau (trawl) tidak cocok digunakan di seluruh perairan Indonesia dan ZEE. Pukat harimau dan cantrang modifikasi selain merusak ekosistem, juga merusak keragaman hayati.
SKPT Natuna
Sementara itu, PT Perikanan Nusantara mengusulkan agar kapal-kapal besar milik BUMN tersebut yang selama ini mangkrak agar bisa dioperasikan ke ZEE Laut Natuna Utara.
Direktur Utama PT Perikanan Nusantara M Yana Aditya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR di Jakarta, Selasa, mengemukakan, pihaknya mendapat penugasan dari pemerintah untuk membangun gudang pendingin terpadu di Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna. Gudang pendingin itu direncanakan berkapasitas 250 ton.
Yana menambahkan, pihaknya meminta agar dapat mengoperasikan kembali tiga kapal KM Mina Jaya berukuran masing-masing 512 GT. Selama empat tahun terakhir, kapal-kapal itu mangkrak akibat aturan pembatasan ukuran kapal perikanan yang diterbitkan KKP yang membatasi ukuran kapal angkut maksimum 200 GT. Saat ini, kapal-kapal itu ditambatkan di Ambon, Makassar, dan Bacan.
”Kami sudah sampaikan ke Menteri Kelautan dan Perikanan apakah memungkinkan kapal ini bisa beroperasi di Natuna hingga laut lepas,” katanya.
Pihaknya juga mengusulkan pembangunan dermaga perikanan sepanjang 100 meter di Natuna untuk digunakan sebagai pelabuhan ekspor perikanan. Ekspor dari Natuna dinilai lebih efisien ke beberapa negara tujuan, seperti Vietnam, Thailand, dan Jepang.
Saat ini, Perum Perindo sudah beroperasi di SKPT Natuna. ”Tetapi, karena tidak ada pelabuhan ekspor disana, maka proses pengiriman tetap harus melalui Jakarta. Ongkos logistik perlu dipertimbangkan,” katanya.
Direktur Operasional dan Pemasaran PT Perinus Ronald Abraham Tanamal mengemukakan, kapal-kapal besar tersebut akan difungsikan sebagai kapal pendingin untuk mendinginkan tangkapan ikan yang dikumpulkan dari nelayan (floating cold storage).