Wilayah Sungai Cimanuk dan Cisanggarung rusak berat. Lahan kritis, sampah, hingga galian pasir ilegal menjadi penyebabnya. Banjir pun mengintai daerah aliran sungai yang dihuni sekitar 9,8 juta jiwa tersebut.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Wilayah Sungai Cimanuk dan Cisanggarung rusak berat. Lahan kritis, sampah, hingga galian pasir ilegal menjadi penyebabnya. Banjir pun mengintai daerah aliran sungai yang dihuni sekitar 9,8 juta jiwa tersebut.
Hal itu terungkap dalam sosialisasi bertema “Preparation of Cimanuk-Cisanggarung River Basin Flood Management Project in West Java Province and Central Java Province ADB Loan” di Cirebon, Selasa (21/1/2020). Hadir Direktur Sungai dan Pantai Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jarot Widyoko serta perwakilan pemerintah daerah di DAS Cimanuk-Cisanggarung.
Dengan luas 7.657,9 kilometer persegi, DAS tersebut tersebar di tujuh daerah di Jabar dan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Sungai Cimanuk melintasi Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka, dan Indramayu. Adapun Sungai Cisanggarung berhulu di Kuningan, lalu melewati Kota Cirebon, Cirebon, dan Brebes.
Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung, saat ini terdapat 378 titik kritis di DAS tersebut. Titik kritis paling banyak berada di Cirebon bagian timur dan Brebes. “Tanda sungai kritis ketika musim hujan banjir tetapi kalau kemarau malah kekeringan, jadi lapangan sepak bola,” kata Jarot.
Kerusakan Cimanuk-Cisanggarung berlangsung dari hulu ke hilir. Di daerah hulu, tercatat 130.000 hektar lahan kritis. Tutupan lahan berupa hutan menjelma permukiman dan area pertanian.
Dalam pemaparannya, laju perubahan tutupan lahan DAS Cimanuk-Cisanggarung dari 1995 – 2015 mencapai 16,83 persen per tahun. Artinya, dalam 100 hektar lahan, lebih dari 16 hektar berubah peruntukannya setiap tahun.
Menurut dia, ketika tutupan lahan lestari, air yang masuk ke tanah mencapai 80 – 100 persen. Namun, saat terjadi perubahan tata guna lahan bersar-besaran, air yang masuk ke tanah paling besar hanya 20 persen. Sisanya, mengalir ke permukaan tanah yang berubah menjadi beton. “Sedangkan sungai semakin menyempit. Akhirnya, banjir,” ucap Jarot.
Ketika tutupan lahan lestari, air yang masuk ke tanah mencapai 80 – 100 persen. (Jarot Widyoko)
Sebagai gambaran, lebar Sungai Cimanuk lama di Indramayu yang dulunya mencapai 30 meter kini hanya 3 meter. Ketika daerah hulu hujan deras, Indramayu pun kebanjiran meskipun tidak ada hujan, seperti April lalu. Selain sedimentasi, okupansi bangunan liar di sempadan sungai juga memicu penyempitan aliran sungai.
Rp 30 miliar
Untuk itu, melalui pinjaman Asian Development Bank (ADB), BBWS Cimanuk-Cisanggarung bakal memetakan masalah DAS Cimanuk-Cisanggarung. Dalam waktu 18 bulan sejak November 2019, sejumlah konsultan menyiapkan masterplan manajemen risiko banjir, survei dampak sosial dan ekonomi, hingga detail engineering design jika dibutuhkan perbaikan konstruksi. “Besarnya (pinjaman) Rp 30 miliar. Kami harapkan, hasilnya bisa berlanjut ke pengerjaan fisik,” katanya.
Kepala BBWS Cimanuk-Cisanggarung Happy Mulya mengatakan, pihaknya tidak mampu untuk menanggulangi 378 titik kritis di DAS Cimanuk-Cisanggarung. “Ini butuh ratusan miliar rupiah. Yang mendesak ditangai adalah 178 titik,” ungkapnya.
Happy tidak menampik, DAS Cimanuk-Cisanggarung yang rusak berat memicu banjir di daerah dengan penduduk mencapai 9,8 juta jiwa tersebut. Pekan lalu, misalnya, sekitar 200 rumah di Kalijaga, Kota Cirebon, terendam banjir hingga ketinggian 1 meter akibat meluapnya Sungai Cikalong.
“Untuk antisipasi banjir saat ini, kami sudah membentuk tim reaksi cepat. Kalau ada tanggul jebol, misalnya, kami tangani sementara dengan bronjong,” lanjutnya.
Oleh karena itu, kolaborasi dengan pemerintah daerah diperlukan. Pemda, misalnya, bisa menyiapkan lahan untuk pembangunan embung, menertibkan bangunan liar di sempadan sungai, serta memperketat regulasi perubahan tata guna lahan.
Kami enggak kuat (melawan), mereka punya beking di pusat. Izinnya juga ada di pemprov. (Erwan Setiawan)
Wakil Bupati Sumedang Erwan Setiawan mengatakan, galian pasir turut merusak DAS Cimanuk di daerahnya. “Hampir semua atau sekitar 80 persen perusahaan galian pasir di kaki Gunung Tampomas tidak berizin. Sekitar 20 persen izinnya sudah kedaluwarsa. Kami enggak kuat (melawan), mereka punya beking di pusat. Izinnya juga ada di pemprov,” katanya.
Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati juga berkomitmen untuk menertibkan bangunan liar di sempadan sungai. Sungai Kedung Pane di perbatasan Kabupaten Cirebon, misalnya, diokupasi lebih dari 1.400 bangunan liar. “Kami butuh pembagian anggaran, apa yang ditangani pemkot, pemkab, dan BBWS Cimanuk-Cisanggarung,” ujarnya.