Meski dari sisi potensi dimungkinkan tumbuh dua digit, dalam kenyataannya industri pangan menghadapi banyak kendala, baik di dalam negeri maupun di tingkat global.
Oleh
Adhi S Lukman
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Beragam produk pangan lokal dipamerkan dalam Gelar Pangan Nusantara yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (27/7/2018). Kerjasama peningkatan standar mutu nasional antara pemerintah dan pelaku industri pangan akan memperkuat daya saing produk pangan nasional. Pameran akan berlangsung hingga Minggu.
Angka 2045 bisa jadi angka keramat, tahun di mana Indonesia akan berusia satu abad, dan jadi bukti sejarah, apakah Indonesia bisa berdigdaya seperti yang direncanakan. Bappenas telah menyiapkan peta jalan menuju Indonesia 2045, di mana Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia ditargetkan 23.199 dollar AS (2018 sebesar 3.871 dollar AS), dan akan menjadi negara dengan PDB keempat terbesar dunia.
Industri pangan digadang-gadang jadi salah satu sektor industri terkemuka dan lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tentu hal ini tak salah, karena industri pangan menyumbang PDB cukup signifikan, dan kontribusinya terus tumbuh. Tahun 2018, kontribusi terhadap PDB industri nonmigas 35,45 persen, dan naik menjadi 36,49 persen triwulan III-2019.
Pertumbuhannya selalu di atas pertumbuhan ekonomi, yaitu 8,33 persen triwulan III-2019. Ekspornya (termasuk produk sawit dan turunan) sangat signifikan, sekitar 29,8 miliar dollar AS (2018), atau kalau tak termasuk sawit 7,3 miliar dollar AS.
Tak salah pemerintah (Kementerian Perindustrian) menetapkan industri pangan salah satu dari lima sektor industri yang diprioritaskan (empat lainnya tekstil dan garmen, otomotif, elektronik, kimia) dalam Making Indonesia 4.0 (penerapan Industri 4.0) yang dicanangkan 4 April 2018 oleh Presiden.
Industri pangan digadang-gadang jadi salah satu sektor industri terkemuka dan lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Indonesia beruntung karena kekayaan alam berlimpah dan konfigurasi demografi yang baik. Penduduk yang 268 juta lebih, lebih dari 67 persennya pada usia produktif dan konsumen aktif (14-62 tahun).
Kompas/Priyombodo
Pengunjung berbelanja bahan makanan di pusat perbelanjaan ritel di kawasan Serpong Utara, Tangerang Selatan, Banten, Senin (2/12/2019).
Pengeluaran penduduk untuk konsumsi pangan rata-rata per kapita 49,51 persen, di mana 16,82 persen disumbang produk pangan olahan (2018). Kondisi ini sangat potensial untuk industri pangan.
Industri pangan berkontribusi dalam ketahanan pangan di Indonesia, mulai dari ketersediaan sampai dengan pemenuhan gizi penduduk Indonesia. Jika dilihat dari banyaknya sumber daya alam (SDA) pangan yang bersifat musiman dan mudah rusak, maka industri pangan diharapkan bisa jadi solusi dalam memperpanjang masa simpan, memperluas distribusi dan ketersediaan, menjaga stabilitas harga pangan yang bersifat musiman serta tak kalah penting sebagai cadangan pangan bencana.
Apalagi dengan geografi Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau lebih, bisa dibayangkan rumitnya mendistribusikan pangan segar sampai ke seluruh pelosok. Ditambah lagi area produksi sering kali berjauhan dengan konsumsi.
Fakta di atas menjadi daya tarik bagi investor. Tahun 2018, investasi industri pangan Rp 68,8 triliun, naik dari Rp 64,8 triliun di 2017, menduduki peringkat keempat investasi di Indonesia. Meski dari sisi potensi dimungkinkan tumbuh dua digit, dalam kenyataannya industri pangan menghadapi banyak kendala, baik di dalam negeri maupun di tingkat global.
Industri pangan berkontribusi dalam ketahanan pangan di Indonesia, mulai dari ketersediaan sampai dengan pemenuhan gizi penduduk Indonesia.
Industri ini dihadapkan pada situasi “over regulated”, demi alasan ketahanan pangan, termasuk ketersediaan, perlindungan petani lokal, standar dan keamanan pangan, sehingga sering diatur melebihi yang seharusnya diatur.
Dari berbagai masalah yang dihadapi industri pangan, bisa diprioritaskan tiga yang utama, yakni ketersediaan bahan baku industri; sinkronisasi dan koordinasi kebijakan; dan semangat proteksi di pasar global dan negara tujuan ekspor.
Kompas
Menjemur Tepung Aci - Atta (57) menata nampan berisi tepung aci untuk dijemur di halaman pabrik tempat pembuatan tepung aci di Kampung Mekarwangi, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Senin (22/10/2012).
Program menuju 2045
Upaya pemerintah mengatasi tumpang tindih regulasi yang menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja melalui Omnibus Law (OL) yang direncanakan Januari 2020, diharapkan juga bisa mengatasi situasi over regulated yang dihadapi industri pangan ini. Di luar itu, perlu dilakukan berbagai upaya membenahi industri pangan.
Pertama, penguatan industri nasional sebagai basis penguatan daya saing dan mendorong pertumbuhan industri lebih tinggi. Industri pangan selama ini sangat tergantung bahan baku impor, meski sebenarnya kita kaya sumber daya alam.
Pembenahan di hulu dan industri-antara perlu disinkronkan dengan kebutuhan industri hilir, sehingga bisa mengurangi kebutuhan impor bahan baku.
Investasi hulu jauh lebih mahal dan pengembalian investasi lebih lama, sehingga perlu didorong dengan berbagai insentif, termasuk dukungan program pertanian, peternakan, kelautan yang searah dengan kebutuhan industri hilirnya.
Insentif super tax deduction”(PP No 45/2019) dan fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal (PP No 78/2019) perlu diberikan lebih besar ke sektor hulu yang menghasilkan nilai tambah dan mendukung industri hilirnya.
Penguatan industri nasional juga harus diikuti koordinasi kebijakan dan regulasi hulu ke hilir, pusat ke daerah. Tanpa ini, segala insentif yang diberikan akan sia-sia. Penguatan ini perlu dilandasi perpres yang menjadi payung hukum sinkronisasi, dalam rangka Making Indonesia 4.0 sehingga jelas bahwa industri sebagai lokomotif dan diikuti gerbong sektor pendukung lainnya dalam satu rel dan arah yang sama.
Dengan demikian hambatan pemenuhan bahan baku, baik lokal maupun impor, bisa dihilangkan dan industri akan semakin leluasa merencanakan produksinya.
Meski dari sisi potensi dimungkinkan tumbuh dua digit, dalam kenyataannya industri pangan menghadapi banyak kendala, baik di dalam negeri maupun di tingkat global.
Kedua, penguatan industri harus diikuti pembangunan SDM. Presiden Jokowi telah mencanangkan lima program, yang pertama dan utama adalah pembangunan SDM. SDM harus produktif dan mampu mengantisipasi persaingan ekonomi global saat ini yang telah memasuki era revolusi industri 4.0 dan mengubah tatanan lapangan pekerjaan.
KOMPAS/EDDY HASBY
Pegawai mengemas gula di pabrik gula Tersana Baru, Cirebon, Jawa Barat, Minggu (4/8/2019). Pabrik gula Tersana Baru berdiri tahun 1937 bernama “Nieuw Tersana” oleh perusahaan swasta NV. Landbouw Mij ini, hingga kini masih beroperasi menghasilkan gula putih.
Ketiga, pelaku usaha perlu terus berinovasi di segala bidang, bukan hanya produk, namun semua lini proses sampai ke logistik. Tentu perlu didukung akademisi dalam berinovasi yang bisa dimanfaatkan pelaku usaha. Industri pangan tanpa inovasi akan lambat pertumbuhannya dan kalah bersaing.
Keempat, percepatan ekspor dalam rangka memenangkan pasar global dan mengurangi defisit transaksi berjalan. Perang dagang dan meningkatnya proteksionisme global mempersulit peningkatan ekspor. Diperlukan upaya ekstra antara lain mengintensifkan perundingan bilateral dengan pendekatan lintas sektoral, misalnya penurunan tarif dibarter dengan permintaan sektor lainnya.
Selain itu, menjadikan perangkat pemerintah yang ada di luar negeri, seperti ITPC (Indonesian Trade Promotion Center), sebagai sales agent profesional dan pendekatan bisnis, bukan sekadar melayani kebutuhan promosi pelaku usaha; membuka help desk sehingga bisa cepat memberi bantuan bagi yang bermasalah di negara tujuan; melakukan market intelligent untuk informasi regulasi sampai kebutuhan pasar.
(Adhi S Lukman Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Ketua Komite Tetap Pengembangan Industri Pangan, Kadin Indonesia)