Tahun 2020 Menjadi Momentum Perbaikan Ekspor-Impor
Setelah kinerja ekspor dan impor menurun sepanjang 2019, momentum perbaikan kinerja neraca perdagangan Indonesia dapat terjadi pada tahun 2020. Momentum dipengaruhi sinyal tensi perang dagang yang mereda.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah kinerja ekspor dan impor menurun sepanjang 2019, momentum perbaikan kinerja neraca perdagangan Indonesia dapat terjadi pada tahun 2020. Momentum dipengaruhi sinyal tensi perang dagang yang mereda.
Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, memprediksi, kinerja neraca perdagangan cenderung membaik pada 2020. ”Kami memperkirakan, pertumbuhan ekspor mencapai 8,8 persen sepanjang 2020 dengan rata-rata nilai ekspor sebesar 15,19 miliar dollar AS per bulan,” kata Satria melalui laporan Bahanomics In-Depth yang diterima Kompas, Kamis (16/1/2020).
Secara kuantitatif, Badan Pusat Statistik mencatat, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan sebesar 3,19 miliar dollar AS sepanjang 2019. Sementara defisit neraca perdagangan tahun 2018 mencapai 8,56 miliar dollar AS.
Dari komponen pembentuk defisit itu, kinerja ekspor dan impor sepanjang 2019 menurun masing-masing 6,94 persen dan 9,53 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal, nilai ekspor dan impor sepanjang 2018 itu meningkat 6,65 persen dan 20,15 persen secara tahunan.
Satria menilai, momentum perbaikan kinerja neraca perdagangan disebabkan oleh potensi adanya titik balik perang dagang antara China dan AS. Titik balik itu ditandai dengan sinyal kesepakatan perdagangan kedua negara.
Meredanya tensi perang dagang tersebut, menurut Satria, akan memunculkan kepastian berusaha bagi pelaku usaha dan industri. Oleh sebab itu, pelaku usaha dan industri nasional akan meningkatkan ekspansi dan belanja modal untuk menyambut potensi kenaikan permintaan dari dunia.
Menurut Satria, keputusan ekspansi itu juga didorong dengan kebijakan moneter nasional yang secara tidak langsung menjadi insentif bagi pelaku usaha dan industri. ”Jika yield dan bunganya menarik, pelaku usaha dan industri untuk meminjam uang ke bank dan menerbitkan obligasi dalam rangka memperbesar belanja modal,” katanya.
Fondasi kuat
Indonesia juga berpotensi memanfaatkan momentum perbaikan sepanjang 2020 karena memiliki fondasi kuat. Fondasi itu tampak dari kinerja neraca perdagangan Indonesia di tengah perang dagang.
Indonesia juga berpotensi memanfaatkan momentum perbaikan sepanjang 2020 karena memiliki fondasi kuat.
Berdasarkan data yang dihimpun dan diolah oleh Bahana Sekuritas, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China pada 2019 menyempit menjadi 18,7 miliar dollar AS dari 20,8 miliar dollar AS pada tahun sebelumnya.
Sementara surplus Indonesia dengan AS meningkat dari 8,6 miliar dollar AS menjadi 9,6 miliar dollar AS. Surplus neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara ASEAN juga meningkat dari 3,9 miliar dollar AS menjadi 6,4 miliar dollar AS.
Dengan kata lain, kata Satria, perang dagang China-AS telah mengubah pola perdagangan di ASEAN. Indonesia mendapatkan keuntungan dari perubahan pola perdagangan tersebut, terutama dari ekspor sektor manufaktur.
Senada dengan Satria, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menyatakan, penyempitan defisit dengan China serta meningkatnya surplus dengan AS menjadi kinerja positif dalam neraca perdagangan Indonesia. Peningkatan sejumlah ekspor produk manufaktur di tengah situasi perdagangan global saat ini juga menjadi sorotan positif.
Berdasarkan data BPS, kelompok barang kendaraan dan bagiannya, besi dan baja, serta logam mulia dan perhiasan/permata mengalami kenaikan nilai ekspor sepanjang 2019. Peningkatan kelompok barang secara berturut-turut masing-masing sebesar 8,06 persen, 28,76 persen, dan 18,15 persen.
Pemulihan manufaktur
Satria mengatakan, sinyal perdagangan global yang membaik dan fondasi perdagangan Indonesia tersebut akan menarik aliran penanaman modal asing secara langsung (FDI). Aliran FDI ini dapat menjadi pendorong perbaikan manufaktur nasional.
Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), FDI yang masuk ke Indonesia sepanjang Januari-September 2019 mencapai Rp 317,8 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan aliran FDI sepanjang Januari-September 2018 yang mencapai Rp 293,7 triliun.
Satria memperkirakan, pertumbuhan FDI sepanjang 2020 dapat mencapai minimal 10 persen. Pertumbuhan aliran FDI ini berdampak pada pertumbuhan impor yang bersifat produktif bagi manufaktur.
Perlu ada upaya ekstra untuk membenahi struktur biaya produksi industri nasional, utamanya yang berorientasi substitusi impor.
Terkait hal itu, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani menyatakan, pemerintah perlu memastikan kegiatan perdagangan sepanjang 2020, khususnya impor, berdampak signifikan terhadap produktivitas nasional.
”Kinerja 2019 menunjukkan, defisit (neraca) perdagangan tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas sehingga ekonomi kita dapat dikatakan tidak berkembang,” katanya.
Di dalam negeri, Shinta berpendapat, perlu ada upaya ekstra untuk membenahi struktur biaya produksi industri nasional, utamanya yang berorientasi substitusi impor. Pembenahan ini berpotensi meningkatkan daya saing produk lokal yang dapat menjadi pasokan alternatif barang impor.