Musibah banjir di Jakarta awal 2020 menuai beragam respons dari warga Ibu Kota. Terkait gugatan warga, ada tantangan pembuktian dalil di pengadilan.
Oleh
Aguido Adri/Nikolaus Harbowo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Musibah banjir yang melanda Jakarta awal 2020 menuai beragam respons dari sejumlah warga Ibu Kota. Massa pendukung kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta. Adapun massa pengkritik kebijakan Anies berunjuk rasa di sekitar Patung Kuda Arjuna Wijaya pada hari yang sama, Selasa (14/1/2020).
Sri Ratmawati (54), warga Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, peserta aksi Aliansi Suara Rakyat Bersatu Jakarta Begerak, mempersoalkan tidak adanya peringatan dini kepada warga sebelum banjir melanda permukiman warga. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kebangkitan Jawara dan Pengacara (Bang Japar) Bintang Mangkauk meminta Gubernur DKI diberi kesempatan menjalankan program mengatasi banjir di Jakarta.
Dua kelompok itu ditempatkan di dua lokasi berbeda agar tidak saling bentrok. Sebab, aksi kedua kelompok itu berlangsung di waktu hampir bersamaan. Massa pendukung kebijakan Anies yang sekitar 200 orang berkumpul di Balai Kota pukul 13.00. Adapun massa pengkritik kebijakan Anies berkumpul di sekitar Patung Kuda Arjuna Wijaya pukul 13.30. Jumlah mereka sekitar 100 orang. ”Secara umum tidak ada benturan, tidak ada korban, tidak ada pertikaian. Semua berjalan aman,” ujar Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Heru Novianto.
Tantangan pembuktian
Menurut pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, warga penggugat masalah banjir di Jakarta awal 2020 harus bisa membuktikan dalil gugatan terkait dugaan kelalaian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengatasi banjir. Tanpa pembuktian itu, majelis hakim bisa menolak gugatan tersebut.
”Seharusnya, yang digugat itu terkait kebijakan. Kebijakan pun juga harus detail, mana yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI dan mana pemerintah pusat. Kalau penggugat tidak bisa membuktikan kelalaian Gubernur DKI, pasti (gugatan) ditolak,” kata Abdul Fickar Hadjar di Jakarta, Selasa (14/1).
Senin (13/1), 243 warga menggugat Gubernur DKI ke PN Jakarta Pusat karena dianggap lalai mengantisipasi banjir di Jakarta awal 2020. Mereka tergabung dalam Tim Gugatan ”Class Action” Banjir DKI 2020. Sejumlah penggugat menyampaikan ketiadaan peringatan dini dari pemerintah kepada warga sebelum banjir sehingga membuat mereka merugi Rp 42,3 miliar.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menilai, warga berhak menggugat terkait bencana yang mereka alami. Merujuk Undang-Undang No 24/2007 Pasal 58 tentang Penanggulangan Bencana, penanggung jawab bencana adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah. ”Ini terkait kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi. Ini penting agar bencana tidak terjadi atau dapat diminimalkan dampaknya,” ucap Arif.
Kuasa hukum penggugat, Alvon Kurnia Palma, menjelaskan, penyebutan Gubernur DKI sebagai pihak tergugat karena banjir awal tahun ini termasuk banjir lokal. Pemprov DKI seharusnya memahami topografi daerah dan sigap memberikan peringatan dini kepada warga di kawasan rawan banjir. Namun, upaya pencegahan itu dinilai tidak pernah terjadi.
Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah menepis asumsi Pemprov DKI lamban menangani banjir. Para petugas sudah menjalankan tugas. ”Kami merespons bencana ini dengan waktu sangat singkat, cepat. Seluruh aktivitas perdagangan, transportasi, bisa berfungsi sesuai sediakala,” ujar Saefullah.