Pengusaha Kritik Larangan Penggunaan Kantong Plastik
Larangan penggunaan kantong plastik per 1 Juli 2020 di Jakarta menuai kritik. Kebijakan ini dinilai tidak efektif mengatasi masalah sampah. Sebagian kalangan mendorong agar ada program pengelolaan sampah berkelanjutan.
Oleh
Ayu Pratiwi/Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai per 1 Juli 2020 di Jakarta menuai kritik karena dianggap tidak efektif mengatasi masalah sampah. Apabila bertujuan mengurangi sampah plastik, larangan itu seharusnya berlaku tidak hanya untuk kantong plastik sekali pakai, tetapi juga untuk plastik lain, seperti yang digunakan untuk mengemas makanan dan minuman serta produk kebutuhan sehari-hari lain.
Namun, hal itu tidak memungkinkan karena plastik masih sangat dibutuhkan. Jadi, solusi yang seharusnya menjadi fokus pemerintah adalah bagaimana mendidik masyarakat membuang dan memilah sampah pada tempatnya serta membangun sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Jutaan metrik ton sampah plastik yang terbuang di laut Indonesia bukan karena eksistensi plastik itu sendiri, tetapi karena manusia yang tidak buang sampah pada tempatnya.
Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asosiasi Industri Olefin, Plastik, dan Aromatik Indonesia (Inaplas) pada 2017, penasihat Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi), Agus Hartono, mengungkapkan, sebagian besar materi plastik yang diproduksi merupakan plastik kemasan produk (40 persen), plastik peralatan rumah tangga (20 persen), dan plastik bahan pembangunan (15 persen). Kantong plastik hanya mencakup 6,5 persen dari total materi plastik yang diproduksi.
”Kantong plastik hanya mencakup sebagian kecil sampah plastik. Semua produk di supermarket itu dikemas dengan plastik yang multilayer packaging (berlapis-lapis). Pemprov DKI hanya cari gampangnya (dalam mengatasi masalah sampah). Apakah mereka berani melarang perusahaan besar seperti Indofood dan Mayora Group menggunakan kemasan plastik?” ucap Agus Hartono kepada Kompas di Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Larangan penggunaan kantong plastik itu tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat. Aturan itu saat ini sedang disosialisasikan dan rencana diberlakukan mulai 1 Juli 2020.
Agus berpendapat, penggunaan plastik saat ini tidak bisa dilarang karena belum ada pengganti yang bisa menyainginya dari segi harga dan efisiensi. ”Apakah konsumen mau beli kapas yang dibungkus dengan daun pisang? Kan, enggak higienis. Semua alat medis pun dikemas dengan plastik yang steril. Plastik murah, efisien, dan sangat menolong kehidupan manusia,” ucap Agus.
Selain itu, sampah plastik juga memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibanding sampah lain karena bisa didaur ulang. Agus menyatakan, kantong plastik sekali pakai layak didaur ulang menjadi kantong plastik lagi. Botol plastik kemasan air minum, sabun, sampo, dan lainnya bisa didaur ulang menjadi kantong plastik.
”Kantong plastik sekali pakai atau keresek itu sebenarnya ramah lingkungan karena layak didaur ulang. Tanpa dikasih aditif apa pun, kantong plastik itu bisa didaur ulang dengan komposisi bahan yang disesuaikan menjadi wadah suatu tempat,” ujar Agus.
Selain Inaplas, ada juga Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta yang mengkritisi kebijakan DKI melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai. Ketuanya, Ellen Hidayat, menyatakan, larangan itu salah sasaran apabila sanksinya hanya dibebankan kepada pengelola pusat perbelanjaan. ”Pengelola mal hanya mengurus keamanan dan kebersihan. Jika sanksi dengan begitu mudahnya dibebankan kepada pengelola pusat perbelanjaan, tak masuk akal,” kata Ellen.
Dalam Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019, pengelola dikenai sanksi administratif berupa uang paksa maksimal Rp 25 juta hingga pencabutan izin. Para pedagang sementara itu hanya dikenai sanksi berupa teguran tertulis.
Terkait larangan pemakaian plastik, Linda (40), pedagang bahan pokok di Pasar Tanah Abang, menilai, aturan plastik tidak akan efektif karena belum banyak produsen yang membuat wadah berbahan kertas atau plastik ramah lingkungan.
”Kebijakan pemerintah tidak hanya sebatas pengurangan atau larangan penggunaan kantong plastik. Kebijakan harus disertai solusi pengganti plastik. Selain itu, kebutuhan belanja masyarakat yang menggunakan plastik juga sangat tinggi karena mereka tidak membawa kantong belanja sendiri,” kata Linda.
Linda juga mengkritik kebijakan tersebut karena sampah plastik tidak hanya berasal dari penggunaan kantong plastik. Ada banyak produk makanan atau minuman yang kemasannya menggunakan plastik. ”Jika kami yang disasar karena menggunakan kantong plastik untuk membungkus makanan atau belanjaan, rasanya tidak tepat dan tidak banyak merubah jumlah sampah plastik,” ucap Linda.
Lain halnya dengan Rizki (34), pedagang aksesori dan pakaian di Pasar Tanah Abang. Ia tidak mempermasalahkan dan setuju dengan aturan larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai. Namun, ia tidak setuju jika beban hukum diberatkan kepala pelaku usaha. Menurut dia, aturan seharusnya juga menyasar pada produsen plastik dan konsumen (pembeli).
”Jika mau mengurangi sampah plastik, seharusnya semua dikenai aturan. Contoh untuk konsumen, ya, harus bawa tempat belanja sendiri, dong. Nah, ini, sudah sadar belum mereka. Jangan menyasar pelaku usaha saja. Permintaan penggunaan plastik itu juga karena konsumen, kok. Peraturan juga menyasar ke pengusaha atau produsen yang mengunakan plastik sebagai wadah produk mereka,” kata Rizki.
Pekan lalu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih menjelaskan, larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai dalam rangka mengurangi timbunan sampah yang bersumber dari sampah kantong plastik. Berdasarkan catatannya, dari total 7.500 ton sampah yang masuk ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang setiap hari, 14 persen di antaranya merupakan sampah plastik. ”Paling banyak itu sampah plastik sekali pakai,” ujarnya.