Dewas KPK: Jeda Penetapan Tersangka dengan Penggeledahan Strategi Penyidik
Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menyebut, adanya jeda antara penetapan tersangka dengan penggeledahan dan penyitaan dalam dua kasus dugaan suap terakhir bukan karena Dewan Pengawas.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menegaskan tidak akan menghambat kerja penindakan komisi. Adanya jeda antara penetapan tersangka dengan penggeledahan dan penyitaan dalam dua kasus dugaan suap terakhir bukan karena Dewan Pengawas, melainkan strategi dari penyidik.
Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean menyampaikan, kehadiran Dewas dalam KPK tidak bermaksud mempersulit, melemahkan, atau menghalangi kinerja KPK. Keberadaan Dewas untuk memastikan yang dilakukan KPK tidak bertentangan dengan hukum.
”Kami komitmen berlima mendukung semua yang dilaksanakan oleh KPK. Namun, tentu harus berdasarkan ketentuan hukum yang ada,” ujar Tumpak, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (14/1/2020).
Pandangan serupa disampaikan oleh empat anggota Dewas lainnya, yakni Syamsuddin Haris, Harjono, Albertina Ho, dan Artidjo Alkostar. ”Keberadaan Dewas itu untuk memastikan dan meningkatkan akuntabilitas dari prosedur penindakan di KPK sudah berjalan sesuai hukum,” kata Syamsuddin.
Sesuai Undang-Undang (UU) KPK yang baru, UU Nomor 19 Tahun 2019, penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh KPK harus didahului izin dari Dewas KPK.
Sejak dilantik pada 20 Desember 2019, Dewas sudah memberikan izin penggeledahan dan penyitaan pada dua kasus dugaan korupsi. Kedua kasus itu adalah kasus yang menyeret Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan kasus yang melibatkan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan.
Penyidik punya strategi kapan harus menggeledah dan Dewas tidak bisa ikut campur di dalamnya.
Untuk kasus dugaan suap Bupati Sidoarjo, penggeledahan dilakukan pada Jumat (10/1/2020), dua hari setelah pimpinan KPK menetapkan para tersangka dalam perkara itu. Adapun untuk kasus dugaan suap komisioner KPU, penggeledahan dilakukan empat hari setelah penetapan tersangka, yaitu Senin (13/1/2020).
Strategi penyidik
Terkait adanya jeda waktu antara penetapan tersangka dengan penggeledahan dan penyitaan, Dewas menyebut hal itu merupakan strategi dari tim penyidik KPK. Penyidik, kata Tumpak, punya strategi kapan harus menggeledah dan Dewas tidak bisa ikut campur di dalamnya.
”Kami memberikan izin 1 x 24 jam sejak pengajuan permohonan. Kapan mereka mau menggeledah? Terserah mereka. Cuma, dalam izin kami sebut, izin ini hanya berlaku selama 30 hari untuk penggeledahan,” ucap Tumpak.
Tak hanya soal waktu, lokasi yang akan digeledah pun bukan informasi yang bersifat umum. Sebab, hal itu merupakan bagian dari strategi dalam menangani suatu perkara.
”Kalau saya sampaikan orang yang mau digeledah atau barang yang mau disita, kabur semua itu nanti. Saya tidak akan bisa ngomong itu karena itu adalah rahasia. Yang pasti, Dewas bukan untuk menghambat dan memperlama proses penanganan suatu kasus,” tutur Tumpak.
Konsep keliru
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, mengatakan, Pukat UGM tetap melihat bahwa kehadiran Dewas tidak tepat. Adanya Dewas justru menambah panjang proses penanganan suatu perkara. Selain itu, Dewas memiliki kewenangan penegakan hukum sekalipun statusnya tidak jelas, apakah sebagai penegak hukum atau bukan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo, pun melihat proses penegakan hukum menjadi lebih panjang karena kehadiran Dewas.
Untuk itu, UU No 19/2019 harus dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) demi menguatkan kembali lembaga antirasuah tersebut. ”Kita berharap di persidangan MK, itu yang diputuskan (pembatalan UU No 19/2019) oleh MK,” ucap Adnan.